Kamis, 13 Mei 2010

LINGKUNGAN PENDIDIKAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Manusia adalah “makhluk sosial”. Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang hal tersebut. Khalaqa al-insaana min ‘alaq bukan hanya diartikan sebagai “menciptakan manusia dari segumpal darah” atau “sesuatu yang berdempet di dinding rahim”, akan tetapi juga dapat dipahami sebagai “diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri”. Dari hal itu dapat dipahami bahwa manusia dengan seluruh perwatakan dan pertumbuhannya adalah hasil pencapaian dua faktor, yaitu faktor warisan dan faktor lingkungan. Faktor inilah yang mempengaruhi manusia dalam berinteraksi dengannya semenjak ia menjadi embrio hingga akhir hayat.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang kami gunakan melalui beberapa konsep pertanyaan, yaitu :
1. Apa pengertian Lingkungan itu sendiri yang sebenarnya?
2. Ada berapa macamkah lingkungankah dalam pendidikan Islam?

C. Tujuan Masalah
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk membuka kembali pemikiran yang benar dan riil tentang bagaimana konsep Islam dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang Islami untuk mencapai masyarakat madani yang berpendidikan tinggi dan luhur dengan disertai nilai-nilai Islam yang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sehingga kita selaku pribadi dan umat Islam itu sendiri memiliki daya saing dan harga diri yang tinggi serta bisa dibanggakan untuk bisa hidup berdampingan secara baik dan benar dengan berbagai elemen masyarakat yang notabene tidak hanya terdiri dari muslim saja , namun banyak pula yang non muslim.

BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN LINGKUNGAN
Yang dimaksud lingkungan ialah sesuatu yang berada di luar diri anak dan mempengaruhi perkembangannya. Menurut Sartain (seorang ahli psikologi Amerika) mengatakan bahwa yang dimaksud lingkungan sekitar ialah meliputi semua kondisi dalam dunia ini yang dengan cara-cara tertentu mempen­garuhi tingkah laku manusia, pertumbuhan, perkembangan kecuali gen-gen. Dan bahkan gen-gen dapat pula dipandang sebagai menyiapkan lingkungan bagi gen yang lain.

Pendapat lain mengatakan bahwa di dalam lingkungan itu tidak hanya terdapat sejumlah faktor pada suatu saat, melainkan terdapat pula faktor-faktor lain yang banyak jumlahnya, yang secara potensial dapat mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku anak. Tetapi secara aktual hanya faktor-faktor yang ada dise-keliling anak tersebut yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan dan tingkah laku anak.

Alam sekitar merupakan salah satu faktor dari faktor-faktor pendidikan yang ada. Dengan demikian alam sekitar merupakan faktor penting pula bagi pelaksanaan pendidikan. Namun demikian faktor alam sekitar jelas berbeda apabila dibandingkan dengan fak­tor pendidikan. Kedua faktor pendidikan ini diakui ada persamaannya yaitu keduanya mempunyai pengaruh kepada pertumbuhan, perkembangan dan tingkah laku anak. Di samping ini diakui pula ada perbedaannya. Pengaruh alam sekitarnya merupakan pengaruh belaka, tidak tersimpul unsur tanggung jawab di dalamnya. Anak didik akan untung apabila kebetulan mendapat pengaruh yang baik, sebaliknya anak didik akan rugi apabila kebetulan mendapat pengaruh yang kurang baik.

Memang alam sekitar berpengaruh besar kepada anak didik.meliputi alam sekitar yang baik atau yang tidak baik. Lebih-lebih alam sekitar yang kurang baik mudah mempengaruhi anak didik, mengingat anak didik. maka sudah sepantasnyalah jika pendidik bersikap bijaksana dalam bersikap dan menghadapi alam sekitar tersebut.
Mengingat adanya perbedaan tanggung jawab pengaruh pen­didikan terhadap anak didik tersebut maka para ahli didik umumnya memisahkan dalam membahas pendidik dan alam sekitar sebagai faktor pendidikan. Namun demikian kelima faktor pendidikan terse­but saling berhubungan dan sal ing berpengaruh. Karena itu tidak -mungkinlah tiap-tiap faktor itu berdiri sendiri. Seolah-olah faktor pendidikan tersebut merupakan suatu "gestalt". Ialah suatu keseluruhan yang berarti, dan apabila salah satu bagian dari keseluruhan itu dihilangkan, maka akan tidak berarti bagian-bagian tersebut.

2. MACAM-MACAM LINGKUNGAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Menurut Drs. Abdurrahman Saleh ada tiga macarn pengaruh lingkungan pendidikan terhadap keberagaman anak, yaitu :
Lingkungan yang acuh tak acuh terhadap agama.
Lingkungan semacam ini adakalanya berkeberatan terhadap pendidikan agama, dan adakalanya pula agar sedikit tahu tentang hal itu.
Lingkungan yang berpegang kepada tradisi agama tetapi tanpa keinsyafan batin : biasanya lingkungan demikian menghasilkan anak-anak beragama yang secara tradisional tanpa kritik atau beragama secara kebetulan.
Lingkungan yang memiliki tradisi agama dengan sadar dan hidup dalam kehidupan agama : Lingkungan ini memberikan motivasi (dorongan) yang kuat kepada anak untuk memeluk dan mengikuti pendidikan agama yang ada. Apabila lingkungan ini ditunjang oleh pimpinan yang baik dan kesempatan yang memadai, maka kemungkinan besar hasilnya pun paling baik ).

Dari uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa lingkungan pendidikan itu dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
pengaruh lingkungan positif.
Pengaruh lingkungan negatif.
Pengaruh netral.

Pengaruh lingkungan positif yaitu lingkungan yang memberi­kan dorongan atau memberikan motivasi dan rangsangan kepada anak untuk menerima, memahami, meyakini serta mengamalkan ajaran Islam. Sedangkan pengaruh lingkungan negatif yaitu lingkungan yang menghalangi atau kurang menunjang kepada anak un­tuk menerima. memahami, meyakini dan mengamalkan ajaran Islam. Mengenai lingkungan netral adalah lingkungan yang tidak memberikan dorongan untuk meyakini atau mengamalkan agama, demikian pula tidak melarang atau menghalangi anak-anak untuk meyakini dan mengamalkan ajaran Islam. Lingkungan ini apatis, masa bodoh terhadap keberagamaan anak-anak. Lingkungan itu nampak ada dalam kehidupan berrnasyarakat.

Selanjutnya di bawah ini akan dibahas beberapa lembaga yang tumbuh di dalam mnasyarakat serta mempunyai pengaruh luas bagi kehidupan agama anak, yaitu sebagai berikut :
Keluarga
Keluarga adalah ikatan laki-laki dengan wanita berdasarkan hukum atau undang-undang perkawinan yang sah. Di dalam keluarga ini lahirlah anak-anak. Di sinilah terjadi interaksi pendidi­kan. Para ahli didik umumnya menyatakan pendidikan di lembaga ini merupakan pendidikan pertama dan utama. Dikatakan demikian karena di lembaga inilah anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya. Di samping itu pen­didikan di sini mempunyai pengaruh dalam terhadap kehidupan peserta didik di kelak kemudian hari.

Pada tahun-tahun pertama, orang tua memegang peranan utama dan memikul tanggung jawab pendidikan anak. Pada saat ini pemeliharaan dan pernbiasaan sangat penting dalam pelak-sanaan pendidikan. Kasih sayang orang tua yang tumbuh akibat dari hubungan darah dan diberikan kepada anak secara wajar atau sesuai dengan kebutuhan, mempunyai arti sangat penting bagi pertumbuhannya. Kekurangan belaian kasih sayang orang tua menjadikan anak keras kepala, sulit diatur, mudah inem-berontak dan lain-lain, tetapi sebaliknya kasih sayang yang berlebihan menjadikan anak manja, penakut, tidak cepat untuk dapat hidup mandiri. Karena itu harus pandai dan tepat memberikan kasih sayang kepada anaknya jangan kurang dan jangan pula berkebihan. . Allah berfirman :
( التحريم: 6)
Artinya : "Peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksaan api neraka”. ( QS. At-Tahrim : 6)

Kalau orang tua tidak pandai mendidik dan memelihara anak, akhirnya anak tersebut terjerumus ke lembah kenistaan, maka akibatnya orang tua akan menerima akibatnya baik ke­hidupan di dunia apalagi di akhirat. Keluarga yang ideal ialah keluarga yang mau memberikan dorongan kuat kepada anaknya untuk mendapatkan pendidikan agama. Jika mereka mampu dan berkesempatan, maka mereka lakukan sendiri pendidikan agama ini, tetapi apabila tidak mampu atau tidak berkesempatan, maka mereka datangkan guru agama untuk memberikan pelajaran privat kepada anak-anak mereka. Di samping itu mereka masih memberikan perhatian dan fasilitas-fasilitas lain yang diperlukan. Mereka merasa kecewa dan merasa berdosa kepada Tuhan apabila tidak memberi­kan perhatian pendidikan agama ini. Keluarga demikianlah yang melahirkan anak-anak taat menjalankan agama.

Adapun keluarga yang acuh atau tidak taat menjalankan agama atau bahkan membenci kepada ajaran agama, keluarga ini tidak akan memberikan dorongan kepada anakaya untuk mempelajari agama. Malahan boleh jadi mereka bersikeras melarang anaknya mempelajari agama. Karena mereka berkeyakinan bahwa agama itu justru menghambat perkembangan dan kehidupan anaknya. Keluarga yang.demikianlah yang meluhurkan anak-anaknya bersikap apatis terhadap agama bahkan mungkin men-jadi ingkar terhadap kebenaran agama. Setelah anak memasuki masa kanak-kanak (estetis), lingkungannya sudah makin luas.

Selain dari ayah bundanya, keluarga-keluarga lain pun telah memegang peranan. Hubungan dengan keluarga selain ibu ba-pak, membawa akibat-akibat baru terhadap anak-anak itu. Kasih sayang seperti yang diterimanya dari ibu bapak, tidak akan diperolehnya dari keluarga-keluarga lain itu. Kasih sayang mereka itu, biasanya lepas dari soal-soal memanjakan si terdidik, sehingga tidak selalu keinginan si anak itu dipenuhi oleh mereka. Jika terjadi demikian. maka hal itu akan banyak membantu anak-anak ke arah berdiri sendiri. dan mengenal lingkungannya dengan baik. Orang tua yang bijaksana akan memberi kesempatan secukupnya kepada anak-anaknya untuk bergaul dengan keluarga-keluarganya itu, dengan tetangga-tetangga yang dekat dan sebagainya.
b. Sekolah
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang sangat pentin seudah keluarga. Pada waktu anak-anak menginjak umur 6 atau 7 tahun perkembangan intelek, daya pikir telah meningkat sedemikian rupa, karena itu pada masa ini disebut masa keserasian-bersekolah. Pada saat ini anak telah cukup matang belajar di. sekolah. la telah mampu mempelajari iimu-ilmu yang diajarkan di sekolah seperti Matematika, Ilmu Pengetahuan Sosial, Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa, Olahraga, Keterampilan, agama dan lain sebagainya. Keluarga umumnya tidak berkesempatan atau bahkan banyak yang tidak berkemampuan mengajar ilmu-ilmu tersebut. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah mereka menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada sekolah. Dan memang sekolah yang telah diatur dan dipersiapkar sedemikian rupa. mampu melaksanakan tugas-tugas di atas, tugas guru dan pemimpin-pemimpin di sekolah di samping memberikan pendidikan dasar-dasar keilmuan juga pendidikan budi pekerti dan agama ini seharusnya merupakan lanjutan atau setidak-tidaknya tidak bertentangan dengan yang diberikan di dalam keluarga.

Apabila ada perbedaan atau bahkan pertentangan dari keduanya akan mengakibatkan kebingungan pada anak atau mungkin ketidakpercayaan anak kepada kedua lembaga tersebut. Karena itu pendidikan di sekolah mestinya searah dengan diberikan di dalam keluarga. Syukur kalau mungkin diadakan kerja sama di antara keduanya. Hal yang demikian ini berpengaruh positif bagi pembentukan kepribadian anak. Selain dari pada itu, setiap kerjasama antara sekolah dengan keluarga dalam bidang apapun akan membantu meniadakan konflik-konflik bat­in yang mungkin timbul karena perbedaan pandangan antara keduanya.

Di samping itu telah diakui oleh berbagai pihak tentang peran sekolah bagi pembentukan kepribadian anak sangat besar. Sekolah telah membina anak tentang kecerdasan. sikap. rninat dan lain sebagainya dengan gaya dan caranya sendiri sehingga anak mentaatinya. Karena itu dapatlah dikatakan sekolah berpengaruh besar bagi jiwa dan keberagamaan anak. Lingkungan sekolah yang positif terhadap pendidikan Islam yaitu lingkungan sekolah yang memberikan fasilitas dan motivasi untuk berlangsungnya. pendidikan agama ini. Apalagi kalau sekolah ini memberikan sarana dan prasarana yang memadai untuk penyelenggaraan pendidikan agama, maka dibuatkan pula tempat wudhu, tempat ibadah, diadakan buku-buku ke-lslaman di dalam perpustakaan sekolah dan diberikan kesempatan yang luas untuk penyelenggaraan praktek-praktek ibadah dan peringatan hari-hari besar Islam dan lain-lain, Lingkungan sekolah demikian inilah yang mampu membina anak rajin beribadah, berpandangan luas dan daya nalar kreatif.

Sedangkan lingkungan sekolah yang netral dan kurang menumbuhkan jiwa anak untuk gemar beramal, justru menjadikan anak jumud, picik, berwawasan sempit. Sifat dan sikap ini menghambat pertumbuhan anak.

Lingkungan sekolah yang negatif terhadap pendidikan agama yaitu lingkungan sekolah yang berusaha keras untuk meni­adakan kepercayaan agama di kalangan anak didik. Di zaman ORLA didapati cerita adanya guru-guru taman kanak-kanak yang membenci dan berusaha untuk menghilangkan kepercayaan agama anak-anak. Diceritakan ada seorang guru TK yang berusaha menghilangkan kepercayaan agama anak didiknya. la berkata : "Hai anak-anak tutuplah matamu dan mintalah permen kepada Tuhan. Ternyata engkau tidak mendapatkan permen bukan? Sebab Tuhan memang tidak ada. Kemudian tutuplah matamu dan mintalah permen kepada ibu gurumu". Lantas ibu guru tersebut mermasukkan permen ke dalam mulut anak didiknya, selanjutnya ia berkata : "Sekarang anak-anak rnemperoleh permen karena diberi oleh orang yang ada yaitu ibu guru". Lingkungan sekolah ini tidak menguntungkan, yaitu menghilangkan kepercayaan anak terhadap agama. Lingkungan yang demikian inilah yang dapat membina anak bersifat atheis artinya tidak percaya kepada Tuhan bahkan anti Tuhan. Mereka berpandangan materialistis dan hanya mempercayai segala sesuatu yang nampak oleh mata. Sebaliknya segala sesuatu yang tidak dapat ditangkap dan dihayati oleh mata adalah tidak ada. Orang-orang yang berpandangan demikian inilah umumnya berpendirian agama adalah candu masyarakat.

c. Tempat Ibadah
Yang dimaksud tempat ibadah di sini yaitu mushala, mesjid dan lain-lain. Oleh umat Islam tempat ini digunakan untuk pendidikan dasar-dasar ke-Islaman. Pendidikan ini merupakan kelanjutan dari pendidikan di dalam keluarga. Di tempat ini biasanya diadakan pendidikan dan pengajaran Islam baik individu atau klasikal (dalam bentuk madrasah diniyah), rutin maupun berkala. Di samping itu seringkali diadakan pengajian-pengajian umum seperti pengajian untuk peringatan hari-hari besar Islam, tablig akbar, diskusi dan seminar.

Mengenai pendidikan anak-anak (Madrasah Diniyah) kurikulum dan penyelenggaraannya ada yang diatur oleh sekolah sendiri, tetapi banyak yang mengikuti petunjuk aturan yang ditetapkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Tempat ibadah demikianlah yang mampu menumbuhkan anak gemar beribadat, suka beramal, rajin berjamaah serta senang kepada amal jariyah.

Di samping itu ada pula tempat ibadah yang didirikan hanya untuk sembahyang jamaah saja atau bahkan ada masjid yang hanya dipakai untuk sembahyang jumat, kalaupun ada salat jamaah sembahyang fardu jamaahnya jumlahnya sangat terbatas. Tempat ibadah ini dapat menyuburkan kehidupan beragama di kalangan anak-anak sekalipun tidak sekuat dengan pengaruh tempat ibadah yang pertama.

Ada lagi tempat ibadah yang didirikan tidak digunakan un­tuk tujuan-tujuan syiar Islam sebaliknya justru untuk menghancurkan Islam sebagaimana Mesjid Dhirar yang didirikan sewaktu Nabi Muhammad SAW masih hidup, mesjid ini akhirnya diperintah-kan Nabi untuk dihancurkan saja. Lingkungan masjid ini membawa pengaruh searah dengan tujuan pembangunan masjid tersebut yaitu membenci kepada Islam.

d. Masyarakat
Organisasi-organisasi yang tumbuh di dalam masyarakat itu banyak, antara lain :
a. Kependudukan
b. Perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti perkumpulan mahasiswa, perkumpulan pelajar, (HMl, PMII, PII, IPN, IPNU, GP.ANSHOR dan sebagainya)
c. Perkumpulan-perkumpulan olah raga dan kesenian.
d. Perkumpulan-perkumpulan sementara Panitia penolong korban bencana alam.
e. Perkumpulan (club-club) pengajian atau diskusi.
f. Perkumpulan koperasi dan lain-lain.
Organisasi-organisasi seperti tersebut di atas yang tetap mendasarkan diri pada agama, mempunyai pengaruh positif bagi kehidupan keagamaan. Tidak kalah pentingnya dengan Organisasi-organisasi terse­but di atas yaitu persekutuan hidup di dalam masyarakat vang memanifestasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, kesemuanva itu ikut mempengaruhi keagamaan anak-anak.

Perkumpulan dan persekutuan hidup masyarakat vang memberikan anak untuk hidup dan mempraktekkan ajaran Islam; rajin beramal, cinta damai, toleransi, dan suka menyambung Ukhuwah Islamiah, sebaliknya lingkungan vang tidak menghargai ajaran Islam maka dapat menjadikan anak apatis atau masa bodoh kepada agama Islam. Apalagi masyarakat yang membenci kepada Islam, maka akhirnya anaknya pun akan membenci kepada Islam.


















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lingkungan pendidikan sangat berperan penting dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Sebab, lingkungan yang juga dikenal dengan institusi itu merupakan tempat terjadinya proses pendidikan, yang secara umum lingkungan tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga sangat diperlukan pembentukannya sehingga ia mampu mendidik anak-anaknya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Kemudian, orang tua harus menyadari pentingnya sekolah dalam mendidik anaknya secara profesional sehingga orang tua harus memilih pula sekolah yang baik dan turut berpartisipasi dalam peningkatan sekolah tersebut. Sementara itu, sekolah atau madrasah juga berperan penting dalam proses pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, yang pada hakikatnya sebagai institusi yang menyandang amanah dari orang tua dan masyarakat, harus menyelenggarakan pendidikan yang profesional sesuai dengan prinsip-prinsip dan karakteristik pendidikan Islam. Sekolah harus mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian bagi peserta didiknya sesuai dengan kemampuan peserta didik itu sendiri. Begitu pula, masyarakat dituntut perannya dalam menciptakan tatanan masyarakat yang nyaman dan peduli terhadap pendidikan. Masyarakat diharapkan terlibat aktif dalam peningkatan kualitas pendidikan yang ada di sekitarnya. Kemudian, ketiga lingkungan pendidikan tersebut harus saling bekerja sama secara harmonis sehingga terbentuklah pendidikan terpadu yang diikat dengan ajaran Islam. Dengan keterpaduan seperti itu, diharapkan amar ma’ruf nahi mungkar dalam komunitas masyarakat tersebut dapat ditegakkan sehingga terwujudlah masyarakat yang diberkahi dan tatanan masyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun gafuur.
A. Saran
Dalam penyusunan makalah ini tentu terdapat berbagai kekeliruan dan kekurangan sebagaimana fitrah kami sebagai manusia, sebagai tempat salah dan lupa.
Oleh karena itu, dengan setulus hati kami mengharapkan apresiasi pembaca sekalian untuk menyampaikan saran dan kritik demi perbaikan di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmadi, Abu dan Hj. Nur Uhbiati. 1995. Ilmu Pendidikan Islam I (IPI). Jakarta: Pustaka Setia.
2. Saleh, Abdurrahman. 1980. Didaktik Pendidikan Agama. Jakarta: Bulan Bintang.

3. http://annisahidayat.wordpress.com/2010/05/05/peran-lingkungan-dalam-
penyelenggaraan-pendidikan-islam-2/.
CERPEN: DO’A AYAH BUNDA
By:Nurkholis

“Wan cepat kemas-kemas ya...semua pakaianmu kita akan pergi sore atau malam ini ke sebuah pondok pesantren di Bogor...!! Teriak kakak sulungku sambil menunjuk-nunjuk jari tangannya kepadaku, serasa terdengar oleh telingaku bagaikan petir di siang bolong ucapan kakakku itu yang tiba-tiba saja menghampiriku, yang memang begitulah tabiat asli saudara tertuaku itu acap kali kalau dia berbicara agak keras sambil menggerak-gerakkan tangannya itu. Aku kaget bukan kepalang mendengar ucapannya itu, tak sedikitpun terlintas dipikiranku kalau aku akan belajar di sebuah pondok pesantren, tahu pun tidak tentang profil pondok itu. Soalnya selepas Sekolah Menengah Pertama itu terus terang aku berniat akan mendaftarkan diri masuk ke sebuah SMU swasta favorit di kampungku. Sebenarnya hatiku berontak tidak mau mengikuti kemauan kakakku itu. Dan aku hanya bisa melampiaskan kekecewaanku ini pada ibundaku tercinta saja, sedangkan ayahandaku hanya idem saja dengan kakakku itu.

“Bu aku tak mau mondok...!! lagi pula kan besok iwan mau daftar bareng teman-teman di SMU “Daan Mogot”...!!” seruku pada ibuku. SMU swasta itu terletak di sebuah wilayah yang masuk dengan Desaku yang bernama Jatiuwung, sebuah kawasan industri di Tangerang, kota kebanggaanku ini. “Daan Mogot” diambil dari nama seorang pahlawan di tangerang. “Ya...mau bagaimana lagi wan...anakku sayang...itu kan sudah menjadi kemauan keras kakak sulungmu itu, ayahmu itu kan sudah tidak mampu membiayai sekolahmu lagi, semua urusan sekolah kamu dan saudara-saudaramu itu semuanya sudah kita serahkan pada kakakmu itu, dan lagi pula kamu kan di pondok itu sambil sekolah juga di Madrasah Aliyah-nya disana...! jawab ibuku sambil menahan keharuannya, yang memang beliau pun begitu berat kelihatannya jika benar-benar mau jadi berpisah denganku ini, anak laki-lakinya yang paling dekat dengan beliau, dibandingkan dengan anak-anak ibuku yang lainnya.

Akhirnya dengan terpaksa sambil menangis seraya memeluk dan mencium tangan ibuku yang walaupun sebelumnya aku sempat merayu ibundaku itu agar bisa membujuk kakakku untuk membatalkan rencananya tadi, ya...akhirnya aku turuti juga kemauan ayah dan kakakku itu berangkat dengan sebuah mobil kijang kakakku itu pada sore hari menjelang malamnya menuju sebuah pondok yaitu pondok pesantren Darut-Tafsir di sebuah wilayah kabupaten Bogor yang terkenal dengan “kota hujan”nya. “Pokoknya kalau iwan tidak betah di pondok...kabur ya bu..? mau jualan Koran saja di kota bogor...!!” sungutku pada ibuku, dengan sedikit rasa kecewa di dadaku ini akibat paksaan kakakku tadi siang itu, walaupun aku sadari ucapanku tadi itu pada ibuku terdengarnya agak kasar, padahal ibu adalah seorang manusia yang begitu mulia kedudukannya di sisi sang Khaliknya yang untuk berbicara ”ah”...saja dilarang oleh-Nya, pikirku dalam hati dengan perasaan agak menyesal, dengan ucapanku tadi itu. “Jangan bertindak seperti itu wan, tidak baik...jalani saja dulu apa adanya insya Allah kamu ibu doakan sukses dan berhasil...” jawab ibuku dengan lembut.

Di perjalanan dalam kendaraan aku hanya diam membisu bercampur dengan perasaan sedih dan haru biru mataku meninggalkan semua yang aku cintai, teman-teman dan handai taulanku, saudara-saudaraku serta tentunya ayah ibuku sendiri. “Sudahlah wan anakku sayang pasrahkan saja semuanya ini pada Yang Maha Kuasa, ibu yakin semua ini sudah takdir-Nya dan dibalik semua ini pasti ada hikmah-Nya” ucap ibuku yang duduk di sampingku sambil sesekali menghiburku ini, seraya menepuk-nepuk pundakku. “Dengar...tuh...benar kan kata ibumu...,dan jangan khawatir insya Allah kakak juga akan selalu membantu segala keperluanmu selama di Pondok...” timpal kakakku yang duduk di depan sambil menyetir mobil, sesekali mendengarkan juga pembicaraanku barusan itu. Kakakku itu kebetulan jadi supir untuk sementara waktu, karena pak wahyu supir pribadinya lagi cuti pulang kampung. “Dan pasti ayah juga insya Allah akan selalu menjengukmu bersama ibumu...dan kami akan selalu mendoakanmu agar menjadi anak shaleh dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat serta diamalkan..bukan begitu wan...? sambung ayahku sambil bertanya padaku tiba-tiba. Tidak biasanya ayahku banyak bicara seperti waktu ini. Yang aku tahu Ayahku memang tipe seorang pendiam tak banyak omong kecuali yang dirasa perlu saja olehnya. Aku tetap diam membisu tak menjawab sepatah kata pun walaupun diam-diam dalam hatiku aku ucapkan “amin’ dan aku bersyukur sekali dan gembira atas perhatian dan dukungan moril keluargaku.

Tak lama berselang sekitar kurang lebih 3 jam kendaraan kami sampailah di tempat yang dituju, karena kami melalui jalan tol supaya cepat sampainya. “Wah...bagus juga ya.. wan...?! pondok ini...kata ayahku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tanda kagum. “Ya...memang tempat ini begitu indah dan bagus sekali..!!” seru ibu dan kakakku secara bersamaan. Dan sambil jalan lihat kiri kanan mataku tak henti-hentinya menatap dengan takjub seraya mengucapkan “subhanallah” karena disekililing pondok itu banyak pohon-pohon rindang nan hijau hampir memenuhi semua area pondok, dan dari kejauhan terlihat pegunungan memanjang dan sawah-sawah menghampar bak permadani berkilauan.”Ya Allah betapa indahnya Engkau menciptakan negeriku ini negeri khatulistiwa” pujiku pada Tuhan semesta alam. Dan tak terasa semua pemandangan indah ini membuat aku lupa akan kesedihanku semula karena aku sempat membayangkan pondok pesantren itu seperti penjara saja layaknya dan ternyata semua itu tak benar sama sekali bahkan sepertinya aku mulai merasakan ada ketentraman dan kedamaian dalam hatiku. “Ya Allah semoga saja ini awal pertanda baik buatku dan bisa membuat aku betah dan kerasan di pondok ini” pikirku dalam hati.

Setelah selesai berbincang-bincang sekaligus bersilaturahmi dengan Pak kiyai pimpinan pondok dan keluarga besarnya, akhirnya keluargaku pun pamitan, meninggalkan aku menuju pulang kembali ke Tangerang. Dan aku mulai dengan kehidupan baruku menyesuaikan diri dengan suasana dan ruang lingkup kehidupan pondok pesantren yang memang lain sekali dan berbeda dengan kehidupan di luar sana. Kebetulan di sekitar pondokku ada sungai cihideung namanya, yang membuat aku mulai merasa betah dan kerasan karena aku dan teman-temanku lainnya di pondok diizinkan untuk mandi dan mencuci serta bersenang-senang di sungai itu walaupun tetap harus dalam batas-batas tertentu yang telah diinstruksikan oleh pondok. “Ayo wan kita mandi di sungai yu...bersih tuh airnya, sekarang kan belum belajar penuh masih suasana baru...!! teriak haikal teman baruku sambil menggenggam tanganku dan bergegas ke sungai bersamaku.

“Coba nak iwan tolong dibaca mushaf al-Qurannya juz ‘amma surat An-Naba’ dan nanti besok disetor ya...hafalannya semampu kamu dulu sampai mana...dan hari berikutnya begitu juga...” kata Pak Ustadz Yani padaku dengan penuh bijaksana sore itu. Ya memang demikianlah salah satu kegiatanku di dalam pondok itu sehari-hari, menyenangkan juga dan dapat menghiburku untuk melupakan sementara kerinduanku pada keluargaku dan kampung halamanku.Dan aku di pondok itu juga di samping belajar Al-Quran tentunya, juga mempelajari kitab-kitab kuning yang sebelumnya aku tak membayangkan sedikitpun akan hal ini.Aku juga bersyukur sekali dapat belajar lebih jauh lagi bahasa arab dengan grammarnya atau istilahnya Nahwu dan Sharafnya, sehingga membuat ilmuku bertambah lagi.

Tak terasa aku sudah 3 tahun di pondok sampai aku tammat juga sekaligus mendapatkan ijazah Madrasah Aliyahnya.Aku bahagia sekali ternyata tidak sia-sia sama sekali aku tinggal di pondok malah aku lebih beruntung dibandingkan teaman-temanku yang hanya sekolah SMU saja tanpa mondok, karena aku juga mendapatkan bekal agama yang memadai untuk kehidupanku di dunia dan akherat kelak. ”Terimakasih ya Allah Engkau telah menganugrahkan semua ini padaku...” pujiku pada Tuhanku dalam hati. Dan do’a ayah dan ibuku akhirnya terkabulkan juga.
BERFIKIR POSITIF
Oleh:Nurkholis






Banyak cara yang bisa dilakukan oleh setiap orang untuk bisa sukses dan maju. diantaranya adalah dengan selalu berfikir positif. Sepertinya hal ini sepele, tapi sebenarnya tidak juga bahkan berfikir positif itu bisa mempengaruhi cara berfikir seseorang untuk maju. Seperti kata seorang pemikir barat pernah mengatakan:”hidup kita ini dipengaruhi cara berpikir kita, kalau kita berfikir positif maka hidup ini akan positif, sebaliknya kalau kita berfikir negatif maka begitulah hidup ini akan negatif.” Bukan berarti pepatah ini kita telan bulat-bulat, tapi hal ini ada benarnya karena terkadang bahkan seringkali kita memilki cara berpikir negatif yang picik dan sempit yang dengan sendirinya hal ini mempengaruhi cara pandang dan berpikir kita terhadap hidup dan implikasinya dapat dirasakan sendiri oleh kita sendiri.

Dalam Islam pun hal ini ada hubungannya dengan berfikir positif ini. Dalam sebuah hadits Qudsi Allah SWT menyuruh para hamba-Nya untuk selalu berprasangka baik terhadap-Nya karena hal itu akan berakibat baik juga terhadap mereka, demikian juga sebaliknya bila kita semua berprasangka buruk kepada-Nya maka akibat buruklah yang akan didapatkan. Bunyi Hadits Qudsinya yaitu :

اَناَ عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ
Artinya : Aku tergantung persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.

Demikian juga dalam berhubungan dengan sesama kita harus saling berfikir positif, jauhi berbagai pikiran negatif, kotor dan berbagai prasangka buruk diantara kita yang hanya akan berakibat tak adanya keharmonisan hubungan timbal balik yang lebih baik dan lebih menguntungkan. Karena keharmonisan dan kesinambungan dalam hidup ini sangat diperlukan untuk menjaga ekosistem yang ada menjadi lebih kuat, teratur, rapih dan bersih. Semua itu demi menjaga mata rantai kehidupan dan silaturahmi diantara kita khususnya sesama muslim supaya jangan terputus, sebab Allah SWT tidak menyukai umatnya yang suka memutuskan silaturahmi.

Demikianlah tulisan ini adanya, semoga bermanfaat dan marilah kita coba aplikasikan dalam praktek nyata amal ibadah kita, supaya kita bisa menjadi insan dan pribadi yang selalu berguna bagi bangsa, negara, agama dan tentunya sesama kita. Dan mudah-mudahan kualitas hidup kita sekarang lebih baik dari kemarin, dan terus menjadi lebih baik lagi di kemudian hari. Always be Positive Thinking !!
Amin.!!

Sabtu, 08 Mei 2010

WAKAF Oleh: NURKHOLIS

MUQADDIMAH


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

¬¬¬¬¬إنَّ الْحَمدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيِّئَا تِ أعْمَا لِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضَِلّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَا دِيَ لَهُ، وَأشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إلاَ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِ يْكَ لَهُ، وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْ لُهُ، أمَا بَعْدُ.......

S
egala puji bagi Allah SWT, atas segala limpahan Rahmat, Hidayah dan Inayah-Nya kepada kita sekalian, termasuk juga kesehatan sehingganya kita semua khususnya saya pribadi masih bisa melaksanakan aktivitas sehari-hari termasuk didalamnya adalah menyusun atau menulis skripsi ini.

Kedua kalinya Shalawat serta Salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad r, keluarganya, sahabat-sahabat, tabiin, tabi’ut tabiin dan semua penganutnya hingga akhir zaman. Keberadaan Nabi Muhammad r adalah sebagai pelita bagi umat manusia semuanya, karena berkat jasa dan usaha beliau yang merubah jaman jahiliyah menuju ke zaman yang Islamiyah yaitu zaman terang benderang, sampai di zaman kita ini sekarang. Amin ya Rabbal ‘Aalamin !.

Saya tertarik sekali untuk membahas masalah ini yaitu masalah wakaf karena wakaf acap kali diabaikan oleh kebanyakan manusia yang hanya mementingkan urusan pribadinya saja, tanpa mau mementingkan urusan orang lain khususnya umat Islam, yang mana hal ini semata-mata demi kemaslahatan bersama dan demi tegaknya rasa keadilan diantara sesama umat Islam itu sendiri khususnya maupun diantara umat-umat lainnya.

Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk manusia seluruhnya, adalah satu cara hidup yang sempurna yang dapat memenuhi seluruh keperluan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Al-Quran dan As-Sunnah adalah dua sumber asasi yang dapat menterjemahkan semua keperluan hidup manusia. Selagi mana manusia berpegang kepada kedua-duanya itu, selagi itulah mereka akan menikmati kehidupan yang cemerlang lagi sempurna. Ini adalah berdasarkan kepada firman Allah SWT :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا .

Artinya : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan
telah Ku-cukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Q.S. Al-Maa-idah : 3 )

Begitu juga dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:

مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ.

Artinya : “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab”.(Q.S.Al-An’aam: 38).

Dengan kata lain, semua keperluan hidup manusia telah ditentukan di dalam Al-Quran. Ini bukanlah bermaksud manusia boleh melakukan apa saja mengikuti sesuka hatinya. Sebaliknya Al-Quran merupakan garis panduan kehidupan yang sempurna yang perlu dipatuhi oleh semua makhluk Allah SWT di mana manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Oleh sebab itu Islam ialah semulia-mulia cara hidup yang tidak ada lagi cara hidup lain yang dapat memenuhi keperluan manusia, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW :
اَلإسْلامُ يَِعْلُو وَلاَِيُعْلىَ عَليْهِ.(رواه البيهقى والدارقطنى).

Artinya : “Islam itu tinggi (amat mulia) dan tiada lagi yang dapat mengatasinya”.(H.R.BAIHAQI DAN DARUQUTNI).

Ekonomi adalah salah satu aspek penting dalam Islam yang merupakan lapangan pengembangan rezeki manusia. Aspek ekonomi meliputi banyak perkara seperti infaq, zakat, harta waris dan wakaf. Wakaf merupakan institusi ekonomi umat Islam yang tidak kurang pentingnya. Ia perlu dikembangkan dengan cara yang terbaik dan hati-hati serta cermat demi memaksimalkan manfaatnya kepada umat Islam khususnya dan manusia seluruhnya.

Untuk itu saya, mengangkat masalah Wakaf ini kepermukaan dan menuliskannya kedalam suatu bentuk tulisan ilmiah sebagai tugas akhir semester lima, yang merupakan syarat kelulusan program Daurah ilmu-ilmu syar’i yang diadakan oleh Maktab Jaliyat atau Islamic Propagation Office in Rabwah.

Tak kalah pentingnya juga, mudah-mudahan hasil tulisan saya ini bisa dijadikan bacaan untuk menambah ilmu-ilmu syar’i bagi masyarakat pada umumnya dan bagi diri saya pribadi pada khususnya juga bermanfaat buat semuanya.

Terakhir kalinya, saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Ibuku tercinta atas Do’anya. Jazaakumullahu khairal jazaa untuk semua Asaatidz, khususnya Al-Mukarram Al-Fadhil Ust. Munir Fu’adi, MA. Yang telah mendidik dan mengajarkan ilmunya kepada saya secara terus menerus, hingga tak bosan-bosannya beliau selalu membina kami untuk lebih dalam lagi mengenal agama yang haq yaitu agama Islam. Tak lupa juga saya sampaikan terima kasih kepada semua Ikhwah sekalian senasib sepenangungan atas bantuan yang diberikan kepada saya, baik berupa spirit (dorongan) atau sarana-sarana yang dapat menunjang terselesaikanya penulisan ini, seperti buku, dll. Yang dapat saya jadikan referensi dalam membahas masalah Wakaf ini.

Akhirnya saya sangat berharap sekali kepada Ust. Munir Fu’adi, MA. Beliau selaku pembimbing penulisan ini dan juga para pembaca yang budiman untuk memberikan saran ataupun kritik terhadap penulisan ini agar penulisan kedepan lebih sempurna dan lebih baik lagi. Saya sebagai manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa, jika ada kesalahan itu semata-mata dari diri saya pribadi dan jika ada kebenaran maka kebenaran itu mutlak hanya milik Allah SWT.

وَالسَّلا مُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَ كاَ تُهُ


RIYADH, 17 MUHARRAM 1428 H
05 FEBRUARI 2007 M

Penyusun

Nurkholis

BAB I

PENGERTIAN WAKAF



A. Menurut Bahasa.

Menurut Bahasa Wakaf berasal dari kata Waqf ( وقف ) didalam Bahasa Arab berarti Habs حبس ) ) yang artinya menahan.
Dikatakan waqafa-yaqifu-waqfan (وَقَفَ- يَقِفُ- وَقْْْفًا ) artinya habasa-yahbisu-habsan (حَبَسَ- يَحْبِسُ- حَبْسًا ).

B. Menurut Istilah.

Menurut istilah Syara’, Wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah swt. Dalam istilah yang lainnya Wakaf juga berarti menahan suatu benda yang kekal zatnya, yang dapat diambil manfaatnya guna diberikan dijalan kebaikan .

Ada pula yang mengartikan bahwa Wakaf adalah penahanan harta sehingga tidak bisa diwarisi, atau dijual, atau dihibahkan, dan mendermakan hasilnya kepada penerima Wakaf . Sedangkan Wakaf menurut istilah Syekh DR.Soleh Al-fauzan hampir sama pengertiannya dengan pendapat pertama diatas yaitu adalah menahan harta dan memanfaatkannya dijalan kebaikan atau di jalan Allah swt .

Dari beberapa pengertian Wakaf yang ada, dapat diambil satu pengertian Wakaf yang baku menurut istilah, yaitu : menahan harta/benda yang kekal zatnya guna diambil manfaatnya dijalan Allah swt/jalan kebaikan, yang mana Wakaf itu tidak bisa diwarisi, dijual, atau dihibahkan, dan mendermakan hasilnya kepada penerima wakaf.
BAB II

HUKUM WAKAF



Allah SWT telah mensyariatkan Wakaf , menganjurkannya dan menjadikannya sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan kata lain berarti wakaf dalam Islam itu hukumnya disyariatkan/dianjurkan .

Dan ada pula yang menyebutkan bahwa hukum wakaf itu disunnahkan dan dianjurkan . Adapun menurut DR.Syekh Soleh Al-fauzan hukum wakaf itu adalah suatu ibadah yang disukai/disunnahkan .

Dan dari ketiga pendapat diatas dapat diambil benang merah bahwa hukum Wakaf itu adalah suatu bentuk ibadah/pendekatan diri kepada Allah swt yang disyariatkan/dianjurkan/disukai atau disunnahkan.

Dalilnya tersebut adalah berdasarkan firman Allah swt Q.S.AL-HAJJ:77 dan Q.S.Al-Ahzab:6
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ :الحج :55
Artinya:“perbuatlah oleh kamu kebaikan, semoga kamu dapat kemenangan.”

إِلَّا أَن تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُم مَّعْرُوفًا : الأحزاب : 4
Artinya:“kecuali kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara kalian (seagama)”.

Hubungannya kedua ayat Al-quran diatas dengan Wakaf yaitu: ayat yang pertama tentang kebaikan, maksudnya wakaf itu sendiri termasuk salah satu dari perbuatan-perbuatan baik yang memang dianjurkan oleh Allah SWT kepada manusia.

Sedangkan ayat yang kedua yaitu dianjurkannya berbuat baik terhadap saudara kita yang seagama, karena Wakaf itu sendiri dalam Islam ditujukan untuk kaum muslimin demi kemaslahatan mereka sendiri, bukan yang lain.
Dan pula berdasarkan dalil Hadits Nabi SAW .

عَنْ أبِى هُرَيْرَةَ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ  قاَ لَ : إ ذا مَا تَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَ ثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ, أوْعِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ, أوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda : “Apabila mati anak Adam, putuslah amalnya, kecuali tiga (perkara): shadaqah jariyah, atau ilmu yang dimanfatkannya, atau anak shalih yang mendoakannya”. HR.Muslim.

Hubungannya hadits diatas dengan wakaf yaitu tentang shadaqah jariyah. Diantara shadaqah jariyah ialah mewakafkan rumah, tanah, mesjid, dan lain sebagainya.



















BAB III

KEUTAMAAN WAKAF



Wakaf adalah juga salah satu perbuatan atau amal ibadah yang dianjurkan oleh Allah SWT selain ibadah-ibadah yang lainnya.Walaupun pada mulanya pada masa jahiliyah sebelum Islam datang, orang-orang jahiliyah tidak mengenal wakaf; akan tetapi wakaf itu diciptakan dan diserukan oleh Rasulullah saw karena kecintaan beliau kepada orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan.

Selain itu pula Wakaf memiliki nilai positif yang lebih tinggi atau memiliki keutamaan yang besar dibanding yang lainnya. Karena Wakaf bukan sekedar seperti berderma (sedekah) biasa, tapi lebih besar ganjaran dan manfaatnnya terhadap diri yang berwakaf sendiri, karena ganjaran wakaf itu terus menerus selama barang wakaf itu masih berguna. Sebagaimana sabda Nabi saw yang berbunyi :

عَنْ أبِى هُرَيْرَةَ أنَّ النّبِيَّ  , قاَ لَ : إذا مَا تَ اْلإنْساَ نُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَ ثَةِ أشْيَاءَ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ, أوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, أوْوَلَدٍ صَا لِحٍ يَدْعُو لَهُ. ( رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلاَّ الْبُخَارِيُّ وَا بْنُ مَا جَهٍ ).

Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Apa bila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal, yaitu: shadaqah jariyah,ilmu yang dapat dimanfaatkannya atau anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).

Dengan hadits tersebut teranglah bagi kita bahwa wakaf adalah termasuk dari shadaqah jariyah yang mana pahalanya tidak akan terputus, mengalir terus menerus bagi orang yang berwakaf tersebut sampai hari kiamat nanti. Juga terhadap masyarakat dapat menjadi jalan untuk kemajuan yang seluas-luasnya dan dapat menghambat arus kerusakan. Lihatlah negeri-negeri Islam zaman dulu, seperti zaman keemasan Islam di Baghdad Irak atau di Cordoba Spanyol, karena adanya Wakaf, umat Islam dapat maju dan berkembang pesat. Malahan sampai sekarang telah beratus-ratus bahkan beribu tahun masih juga kekal buah wakaf mereka itu. Kita di zaman serba tercecer ini masih dapat merasakan manis dan lezatnya buah wakaf mereka dahulu itu. Bahkan buah wakaf nenek-moyang kita dahulu itulah yang ada, juga dapat menghambat terus-menerus kemunduran umat Islam. Maka kalau sekiranya kaum muslimin yang kaya sekarang sanggup mewakafkan harta mereka seperti orang-orang Islam dahulu, kita percaya bahwa mereka berarti telah membuka satu jalan untuk kemajuan pembangunan, anak-anak cucu kita sedikit hari lagi akan memetik buahnya yang lezat.





























BAB IV

RUKUN DAN SYARAT WAKAF



WAKAF juga memiliki beberapa Rukun dan Syarat, yaitu sebagai berikut :

RUKUN WAKAF:

1. Orang yang berwakaf, syaratnya:
a) Berhak berbuat kebaikan walau bukan Islam sekalipun.
b) Kehendak sendiri, tidak sah karena dipaksa.

2. Sesuatu yang diwakafkan, syaratnya:
a) Kekal zatnya; berarti bila diambil manfaatnya, zat barang tidak rusak.
b) Kepunyaan yang mewakafkan walaupun musya’(bercampur dan tidak dapat dipisahkan dari yang lain).

Sabda Rasulullah saw :

قاَ لَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ r إنَّ الْمِائَةَ السَّهْمَ الَّتِىْ لِيْ بِخَيْبَرَلَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ اَعْجَبَ إلَيَّ مِنْهَا قَدْ اَرَدْتُ اَنْ تَصَدَّقَ مِنْهَا فَقاَ لَ النَّبِيُّ r إحْبِسْ اَصْلَهَا وَسَبِّلْ ثَمْرَتَهَا. رواه النساء وابن ما جه.

Artinya: telah berkata ‘umar kepada Nabi saw : “Sesungguhnya saya mempunyai seratus saham di Khaibar, belum pernah saya mempunyai harta yang lebih saya kasihi daripada itu. Sesungguhnya saya bermaksud menyedekahkannya.”Jawab Nabi saw : “Engkau tahan asalnya, dan sedekahkanlah buahnya”.(HR.Nasai dan Ibnu Majah).

Seratus saham kepunyaan ‘Umar yang dalam hadits adalah musya’ , oleh karenanya hadits ini menjadi dalil sahnya Wakaf musya’.
3. Tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu).
Kalau berwakaf kepada orang yang tertentu, disyaratkan orang yang berhak menerima hasil waaf itu adalah orang yang berhak memilih sesuatu. Maka tidak sah berwakaf kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya, begitu juga kepada hamba sahaya.
Wakaf kepada umum :
Berwakaf kepada umum di jalan kebaikan adalah sah, malahan inilah yang lebih penting, seperti kepada fakir miskin, kepada Ulama, murid-murid, mesjid-mesjid, sekolah-sekolah, untuk membuat jalan, jembatan, benteng, dan lain-lain untuk kemaslahatan umum.

4. Lapaz, seperti saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin, atau saya wakafkan ini untuk membuat benteng, dan sebagainya. Kalau pada yang tertentu hendaklah ada qabul (jawab), tetapi wakaf untuk umum tidak disyaratkan qabul.

Catatan :
Rupa-rupa wakaf :
Wakaf yang terang sahnya, yaitu kepada orang yang telah ada dan terus-menerus tidak putus-putusnya. Adapun beberapa rupa walaf yang dibawah ini yaitu menjadi perselisihan antara beberapa ulama tentang sah atau tudaknya:
1. Putus awalnya; seperti kata seorang: “Saya wakafkan ini kepada anak-anak saya, kemudian kepada fakir mskin,” sedangkan dia tidak mempunyai anak. Ini tidak sah karena tidak diberikan sekarang.
2. Putus di tengah; umpamanya seorang berkata: “Saya wakafkan ini kepada anak-anakku, kepada seseorang dengan tidak ditentukan, kemudian kepada orang-orang miskin.” Ini atas kata yang kuat, sah. Diberikannya wakaf sesudah tingkatan pertama kepada tingkatan ketiga.
3. Putus akhirnya; umpamanya dia berkata: “Saya wakafkan ini kepada beberapa anak A,” dengan tidak diterangkan kepada siapa. Semacam ini sah juga menurut kata yang muktamad, sesudah habis anak dari A. Sebagian Ulama berpendapat diberikan buah wakaf kepada sehampir-hampir orang kepada yang berwakaf, karena sedekah kepada famili lebih utama, tetapi pendapat sebagian Ulama yang lain diberikan kepada fakir miskin.


SYARAT WAKAF :

1. Selama-lamanya, berarti tidak dibatasi dengan waktu. Maka jika seseorang berkata : “Saya wakafkan ini kepada fakir miskin dalam masa satu tahun”, wakaf semacam itu tidak sah karena tidak selamanya.
2. Tunai dan tidak ada khiyar syarat, karena wakaf berarti memindahkan milik pada waktu itu. Jika disyaratkan khiyar atau dia berkata : “Kalau si A datang, saya wakafkan ini kepada murid-murid”, wakaf semacam ini tidak sah karena tidak tunai. Kecuali itu kalau dihubungkan dengan mati, umpamanya dia berkata :”Saya wakafkan sawah saya sesudah saya mati kepada Ulama Jakarta”, lafaz ini sah menjadi wasiat bukan wakaf.
3. Hendaklah terang kepada siapa diwakafkan. Kalau dia berkata :”Saya wakafkan rumah ini”, tidak sah karena tidak terang kepada siapa diwakafkannya. Jika penerima wakaf telah ditentukan, maka harus orang yang berhak memiliki.Jadi tidak sah mewakafkan sesuatu kepada janin di kandungan, atau kepada budak. Jika penerima wakaf belum ditentukan maka pihak penerima wakaf harus bisa dijadikan sebagai tempat ibadah. Jadi tidak boleh mewakafkan sesuatu kepada gereja, atau sesuatu yang diharamkan.
4. Pewakaf harus mampu berderma, dalam arti ia berakal sempurna dan memiliki sesuatu yang akan diwakafkan.
5. Proses pewakafan harus dengan teks yang jelas sebagaimana layaknya wakaf.
6. Sesuatu yang diwakafkan harus merupakan sesuatu yang tetap ada setelah diambil hasilnya, misalnya rumah, tanah, dan lain sebagainya. Jika sesuatu tersebut habis dalam arti hanya bisa dimanfaatkan seperti makanan, parfum, dan lain sebagainya, maka tidak boleh diwakafkan dan tidak dinamakan wakaf, namun dinamakan sedekah.

Beberapa syarat dari orang yang berwakaf :

Apa bila wakaf sah, tempat berwakaf berhak mengambil hasilnya, baik manfaat seperti mendiami rumah, zat seperti buah pohon yang diwakafkan, atau susu hewan yang diwakafkan, sewa wakaf, dan sebagainya. Sungguhpun begitu, hendaklah diatur menurut aturan (syarat-syarat) dari yang berwakaf, sama atau tidaknya, yang terdahulu dan yang terkemudian. Umpamanya dia berkata :“Saya wakafkan ini kepada anak-anak saya untuk laki-laki dua kali bagian perempuan, penghasilan tahun yang pertama untuk perempuan dan penghasilan tahun yang kedua untuk laki-laki, anak saya yang miskin, atau yang sekolah tinggi, dan sebagainya”. Semua syarat itu wajib dijalankan. Umpamanya dia berkata :”Saya wakafkan ini kepada pengurus Muhammadiyah, kemudian kepada murid-murid”, wakaf diberikan kepada pengurus Muhammadiyah selama pengurus masih ada. Murid-murid tidak mendapatnya. Pendek kata, aturan yang berwakaf wajib dijalankan selama tidak melanggar hukum syara’.

Kalau tidak ada aturan (syarat) dari yang berwakaf atau tidak diketahui, hendaklah dibagi dengan seadil-adilnya, atau dengan perembukan antara beberapa orang yang berhak.

Contoh Teks Wakaf

Setelah basmalah dan memuji Allah swt;
“Si A bersaksi kepada si B bahwa si A mewakafkan sesuatu yang akan disebutkan nanti kepada si B, kemudian sesuatu tersebut menjadi milik si B,berada dalam pengelolaannya, dan kepemilikannya sejak tanggal keluarnya wakaf ini berdasarkan keputusan nomer sekian dan ia mendapatkan sesuatu tersebut dari warisan orang tuanya. Sesuatu yang diwakafkan tersebut ialah semua yang ada di tempat ini (tempatnya disebutkan) sebagai sebuah wakaf yang benar, syari’ dan terlindungi dalam arti tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan,tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh digadaikan, tidak boleh dimiliki, dan tidak boleh diganti kecuali dengan sesuatu yang sama dengannya jika manfaatnya telah habis dalam rangka mencari keridhaan Allah swt dan mengagungkan kehorkehormatan Allah swt. Wakaf tersebut tidak bisa dibatalkan oleh pergantian tahun justru menguatkannya dan pergantian abad itu juga meperkokohnya.
Pewakaf yaitu si Fulan –semoga Allah swt menjalankan kebaikan dengan kedua tangannya– mensyaratkan dalam wakafnya yaitu hendaknya pengolalanya memakmurkan seperempat wakaf, mengurusnya, dan memperbaikinya agar harta wakaf tetap utuh, keinginan pewakaf tercapai, hasilnya meningkat, dan sisanya untuk kemaslahatan-kemaslahatan lainnya yaitu ini dan itu (disebutkan dengan rinci). Ini berlaku sepanjang zamzn hingga Allah swt mewarisi bumi beserta segala isinya, karena Allah swt pewaris terbaik.

Jika pihak penerima harta wakaf ini tidak bisa mengambil hasilnya, maka diserahkan kepada orang-orang fakir, dan orang-orang miskin dari umat Nabi Muhammad saw.

Pewakaf yang namanya tersebut diatas mensyaratkan bahwa ia berhak mengawasi wakafnya dan mengelolanya sepanjang hidupnya. Ia sendirian mengelolanya tanpa siapapun, tidak ditentang siapapun, berhak memberi wasiat kepada seseorang untuk mengurusnya, menyerahkannya kepada siapa saja yang dikehendakinya misalnya anaknya yaitu si Fulan, atau orang yang paling pandai diantara anak-anaknya, atau cucu-cucunya, atau anak keturunannya. Jika mereka semua telah meninggal dunia dan tidak tersisa seorangpun maka pengurusannya diserahkan kepada si Fulan (namanya disebutkan).

Pewakaf yang namanya disebutkan diatas mensyaratkan bahwa harta wakafnya atau apa saja yang ada di dalamnya tidak boleh disewakan lebih dari setahun dan hendaknya penyewa tidak memasukkan satu akad ke dalam akad berikutnya(membuat akad baru padahal akad sebelumnya masih berlaku) hingga masa akad pertama habis dan sesuatu yang disewakan kembali kepada pengurus wakaf.

Pewakaf mengeluarkan wakafnya dari asset dan hartanya, kemudian menjadikan sebagai sedekah murni, abadi, dan berlangsung berdasarkan hukum yang dijelaskan sebelumnya.

Wakaf ini telah sah, hukumnya harus dilaksanakan, dan menjadi salah satu dari wakaf kaum muslimin. Jadi siapa pun tidak diperbolehkan membatalkan, mengubah, merusak atau meniadakannya baik itu dengan perintah, fatwa, pertimbangan, atau dengan tipu-muslihat. Pewakaf meminta bantuan Allah SWT terhadap orang yang bermaksud merusak atau mezhalimi wakafnya dan melawannya di sisi-Nya pada hari kemiskinan dan kehinaannya, yaitu hari dimana alas an tidak lagi berguna bagi orang-orang yang zhalim, mereka mendapatkan laknat, dan mendapatkan tempat kembali yang sangat buruk.

Pewakaf menerima ini semua dengan penerimaan yang syari’ dan bersaksi atas dirinya yang mulia dalam keadaan sehat, sukarela, dan tindakannya dibenarkan oleh syariat. Ini ditetapkan pada tanggal sekian.”














BAB V

MACAM-MACAM YANG MENERIMA WAKAF



Wakaf itu adakalanya untuk anak cucu atau kaum kerabat dan kemudian sesudah mereka itu untuk orang-orang fakir. Wakaf yang demikian ini dinamakan wakaf ahli atau wakaf dzurri(keluarga). Dan terkadang pada wakaf itu diperuntukkan bagi kebaikan semata-mata. Wakaf yang demikian itu dinamakan wakaf khairi(kebaikan).

Adapun macam-macam yang menerima wakaf yaitu:

1. Wakaf kepada Anak; termasuk di dalamnya wakaf terhadap anak-anak dari si anak.Barang siapa wakaf kepada anak-anaknya, maka termasuk ke dalamnya wakaf terhadap anak-anak dari anak-anaknya bila mereka berketururunan.Demikian pula terhadap anak-anak dari anak-anak perempuan.Dalilnya Hadits Nabi SAW:

عَنْ اَبِي مُوْسَى اْلاَشْعَرِيِِّّ قاَ لَ : قَا لَ رَسُوْلُ اللهِ  : إبْنُ اُخْتِ الْقَوْمِ مِنْهُمْ.

Artinya : Dari Abu Musa Al-Asy’ari dia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw : ”Anak dari saudara perempuan suatu kaum itu termasuk kaum itu sendiri.”

2. Wakaf terhadap Ahli Dzimmah.
Diperbolehkan wakaf terhadap Ahli Dzimmah, seperti orang-orang Nasrani; sebagaimana diperbolehkannya sedekah kepada mereka.
Syafiyah binti Huyyi isteri Nabi saw, telah mewakafkan kepada saudaranya yang yahudi.

3. Wakaf untuk Umum.
Diperbolehkan wakaf untuk umum, sebab ‘Umar r.a. telah mewakafkan seratus anak panah di khaibar, sedang anak panah itu tidak dibagi-bagi. Yang demikian ini diriwayatkan di dalam kitab Al-Bahr dari Al-Hadi, Al-Qasim, Asy-Syafi’i, Abu Yusuf dan Malik.
Sebagian Ulama ada yang berpendapat tidak sahnya wakaf umum, karena diantara syarat wakaf itu adalah tertentu. Dan inilah pendapat Muhammad ibnul Hasan.

4. Wakaf kepada diri sendiri.
Diantara para Ulama ada yang berpendapat sahnya wakaf kepada diri sendiri, dengan alasan ucapan Rasulullah saw terhadap orang yang berkata :
عِنْدِيْ دِيْناَ رٌ. فَقاَ لَ لَهُ : تَصَدَّ قْ عَلىَ نَفْسِكَ.

Artinya : “Sesungguhnya aku mempunyai satu dinar. Maka kata Rasulullah SAW kepadanya : “Sedekahkanlah kepada diri sendiri.”1

Dan oleh sebab dari maksud wakaf itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Alah, sedang bertasharruf(menafkahi) kepada diri sendiri itu juga merupakan pendekatan kepada Allah SWT. Inilah pendapat Abu Hanifah, Ibnu Abu Laila, Abu Yusuf dan Ahmad di dalam pendapat yang terkuatnya, Ibnu Syaiban dari mazhab Syafi’i Ibnu Syabramah, Ibnu Shaba’ dan Al-Itrah. Bahkan sebagian mereka memperbolehkan wakaf orang yang dibatasi haknya karena dungunya bila dia berwakaf untuk dirinya kemudian untuk anak-anaknya; sebab pembatasan itu tidak lain untuk memelihara hartanya, dan wakafnya dengan cara yang demikian berarti mewujudkan pemeliharaan ini. Di antara mereka juga ada yang tidak memperbolehkan hal itu, sebab wakaf terhadap diri sendiri berarti pemilikan, sedang pemilikan wakaf dari dirinya untuk dirinya itu tidaklah sah, seperti halnya jual beli dan hibah dari dirinya untuk dirinya. Dan juga karena ucapan Rasulullah SAW :
سَبِّلِ الثَّمْرَةَ.
Artinya ;”Dan berikanlah buahnya kepada orang lain."2

Pengertian memberikan buah tersebut kepada orang lain berarti menyerahkan pemilikan kepadanya. Inilah pendapat Asy-Syafi’i, jumhur Maliki dan Hambali, Muhammad dan An-Nashir.
5. Wakaf mutlak. Bila orang mewakafkan dengan wakaf mutlak, dan tidak menentukan bagi siapa wakaf itu, seperti dia katakan:”rumah untuk wakaf“, yang demikian ini sah menurut Malik.

6. Wakaf pada waktu sakit yang mematikan.
Bila seorang yang menderita sakit yang mematikan berwakaf kepada seorang yang lain, maka wakafnya itu dianggap sepertiga hartanya seperti halnya wasiat, dan tidak tergantung kepada kerelaan ahli waris kcuali bila lebih dari sepertiga. Wakafnya yang melebihi sepertiga itu tidak sah kecuali atas izin ahli waris itu.

7. Wakaf di waktu sakit terhadap sebagian ahli waris.
Adapun wakaf kepada sebagian ahli waris di waktu sakit yang mematikan, maka : Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayatnya berpendapat bahwa wakaf terhadap sebagian ahli waris di waktu dalam keadaan sakit, tidak diperbolehkan. Selain Asy-Syafi’i dan riwayat dari Ahmad, berpendapat diperbolehkannya wakaf terhadap orang lain. Ketika ditanyakan kepada Imam Ahmad: Tidakkah engkau berpendapat bahwa tidak ada wasiat terhadap ahli waris? Maka Ahmad menjawab : ya. Sedang wakaf itu bukan wasiat, sebab wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan dan bukan menjadi milik bagi ahli waris yang memanfaatkannya.

Wakaf adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Apa bila pewakaf mensyaratkan apa yang tidak merupakan pendekatan kepada-Nya, seperti dia mensyaratkan bahwa wakafnya itu tidak akan diberikan kecuali kepada orang yang kaya, maka dalam hal ini para Ulama berselisih pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat diperbolehkan wakaf yang demikian itu, karena bukan perbuatan maksiat.

Di antara mereka ada pula yang melarangnya sebab syarat itu adalah syarat yang batil, karena diberikan kepada yang tidak bermanfaat bagi pewakaf dalam urusan dunianya atau agamanya. Ibnu Taimiyah memperkuat pendapat ini; katanya:”wakaf yang demikian ini termasuk berlebihan dan perbuatan mubazir yang dilarang.”
Dan karena Allah swt tidak suka bila harta itu hanya beredar di antara orang-orang kaya saja.


Firman Allah SWT :
كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأَغْنِيَاء مِنكُم.

Artinya : “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. (Q.S. AL-HASYR: 7).

Maka barang siapa yang mensyaratkan di dalam wakaf atau wasiatnya agar harta itu beredar hanya di kalangan orang-orang kaya, berarti dia mensyaratkann syarat yang bertentangan dengan kitab Allah swt. Dan barang siapa mensyaratkan syarat yang bertentangan dengan kitab Allah swt, maka syarat itu batil.Sekalipun ia mensyaratakan seratus syarat, maka kitab Allah swt lebih berhak syarat Allah swt itu lebih kuat.

Dan termasuk ke dalam bab ini, bila pewakaf atau pemberi wasiat mensyaratkan perbuatan-perbuatan yang tidak terdapat di dalam syariat, tidak wajib dan tidak pula sunat; maka syarat-syarat ini adalah syarat-syarat yang batil dan bertentangan dengan kitab Allah swt, sebab penetapan dari seorang manusia terhadap manusia lain mengenai apa yang bukan wajib dan bukan sunat lagi tidak bermanfaat baginya dalam itu; maka yang demikian ini adalah perbuatan yang dungu dan mubazir yang dilarang.

8. Wakaf Bukan Islam .
Wakaf Bukan Islam melibatkan isu pewakaf adalah bukan Islam di samping isu wakaf ditujukan kepada bukan Islam.
Secara umumnya mazhab fiqh yang empat mengharuskan wakaf daripada bukan Islam, karena orang Islam dan bukan Islam perlu melaksanakan hukum-hukum berkaitan dengan muamalat yang sama di dalam negara Islam, kecuali di dalam masalah tertentu di kalangan sebagian mazhab seperti hukum meminum arak dan memakan daging babi. Begitu juga wakaf kepada bukan Islam, mazhab fiqh yang empat mengharuskannya. Ini terutamanya berdasarkan dalil-dalil yang mengharuskan wakaf, telah diturunkan secara umum. Berdasarkan kaedah Usul Fiqh, nas yang umum harus dikekalkan di dalam keadaannya yang asal, kecuali ada dalil yang mengkhususkannya. Begitu juga bagi kebanyakan Ulama masa kini, mereka cenderung untuk mengharuskan wakaf kepada bukan Islam, terutama untuk tujuan dakwah bagi mendekatkan mereka kepada Islam. Ini sebenarnya maksud utama diturunkan Syariah itu sendiri yaitu memelihara agama. Oleh karena itu wakaf yang bersifat umum seperti rumah sakit, sekolah, rumah jompo dan yang seumpama dengannya boleh dimanfaatkan bukan saja oleh orang Islam tetapi oleh orang bukan Islam juga, dan ia tidak bertentangan dengan maqasid syariah.

Adapun jenis-jenis wakaf lainnya yang telah diketahui di antaranya ialah:

1. Ilmu yang disebarkannya.
2. Do’a anak shaleh yang ditinggalkannya/dididiknya.
3. Pohon kurma yang ditanamnya.
4. Shadaqah Jariyahnya.
5. Mushaf yang diwariskannya.
6. Tempat berlindung yang dibangunnya.
7. Sumur yang digalinya.
8. Sungai yang dialirkannya.
9. Tempat penampungan orang bepergian yang didirikannya.
10. Tempat beribadah yang disediakannya/dibangunnya.

Rasulullah SAW dan para sahabat beliau juga telah mewakafkan mesjid, tanah, sumur, kebun dan kuda. Dan orang-orang Islam pun terus mewakafkan harta benda mereka hingga sekarang ini.

Dalil-dalilnya yaitu ada beberapa hadits yang menjelaskan beberapa contoh wakaf di masa Rasulullah SAW yaitu sebagai berikut :

عَنْ اَنَسٍ  قاَ لَ : لَمَّا قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ اْلمَدِيْنَةَ وَأمَرَبِبِنَاءِ اْلمَسْجِدِ قاَ لَ : يَا بَنِى النَّجَّا رِ تَأْمَنُوْنِيْ بِحَا ئِطِكُمْ هَذا ؟ فَقاَ لُوْا : وَاللهِ لاَ نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إلاَّ إلىَ اللهِ تَعَا لىَ . اَ ىْ فَاَخَذَهُ فَبَنَا هُ مَسْجِدًا.
Artinya : Dari Anas r.a, dia berkata : ketika Rasulullah SAW datang ke Madinah dan memerintahkan untuk membangun mesjid, beliau berkata : “Wahai Bani Najar, apakah kamu hendak menjual kebun ini?” Mereka menjawab : “Demi Allah, kami tidak meminta harganya kecuali kepada Allah Ta’ala”. Maksudnya agar Rasulullah SAW mengambilnya dan menjadikannya mesjid .

وَعَنْ عُثْمَانَ  أنَّ رَسُوْلَ اللهِ  قاَ لَ : مَنْ حَفَرَ بِئْرَ رَوْمَةٍ فَلَهُ اْلجَنَّةُ, قاَ لَ : فَحَفَرْتُهَا.وَفِيْ رِوَايَةٍ ِللْبَغَوِيِّ:أنَّهَا كَا نَتْ لِرَجُلٍ مِنْ بَنِى غِفَّا رٍعَيْنٌ يُقاَ لُ لَهَا رَوْمَةٌ وَكَانَ يَبِيْعُ مِنْهَا اْلقُرْبَةُ بِمُدٍّّ, فَقاَ لَ لَهُ النَّبيُّ  : تَبِيْعُنِيْهَا بِعَيْنٍ فِى اْلجَنَّةِ؟ قاَ لَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ لَيْسَ لِيْ وَلاَ لِعِيَالِيْ غَيْرُهَا.فَبَلَغَ ذََالِكَ عُثْمَانَ فَاشْتَرَاهاَ بِخَمْسَةٍ وَثَلاَ ثِيْنَ ألْفِ دِرْهَمٍ, ثُمَّ أتَى النَّبِيَّ  فَقاَ لَ: أتَجْعَلُ لِيْ مَا جَعَلْتَ لَهُ؟ قاَ لَ : نَعَمْ.قاَ لَ: قَدْ جَعَلْتُهَا لِلْمُسْلِمِيْنَ.

Artinya : Dari Utsman r.a, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda :”Barang siapa menggali sumur Raumah, maka baginya surga.” Utsman berkata ; “maka sumur itu pun aku gali."

Dan dalam satu riwayat Al-Baghawi : bahwa seorang lelaki dari Bani Ghifar mempunyai sebuah mata air yang dinamakan Raumah, sedang dia menjual satu kaleng dari airnya dengan harga satu mud. Maka kata Rasulullah saw kepadanya: “Maukah engkau menjualnya kepadaku dengan satu mata air di dalam surga?” Orang itu menjawab: “Wahai Rasulullah aku dan keluargaku tidak mempunyai apa-apa selain itu.” Berita itu pun sampailah kepada Utsman. Lalu Utsman membelinya dengan harga tiga puluh lima ribu dirham. Kemudian datanglah Utsman kepada Nabi saw, lalu katanya : “ Maukah engkau menjadikan bagiku seperti apa yang hendak engkau jadikan baginya (pemilik sumur itu)?” Beliau menjawab :”ya.” Utsman pun berkata : “Aku telah menjadikan sumur itu wakaf bagi kaum muslimin.”

عَنْ سَعْدِبْنِِ عُبَا دَةَ  قاَ لَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّ أُمََّّ سَعْدٍ مَا تَتْ : فَأ يُّ الصَّدَقَةِ أفْضَلُ؟: اْلمَاءُ, فَحَفَرَ بِئْرًا وَقاَ لَ : هَذِهِ لِأُمِّ سَعْدٍ.

Artinya : Dari sa’d bin ubadah r.a bahwa di telah bertanya kepada Rasulullah SAW : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ummu sa’d telah mati; maka apakah sedekah yang paling banyak pahalanya?” Beliau menjawab:”air” Kemudian sa’d menggali sumur, dan katanya: “Sumur ini adalah bagi Ummu Sa’d .”
وَعَنْ أنَسٍ  قاَ لَ : كاَ نَ أبُوْ طَلْحَةَ أكْثَرأنْصَا رِيٍّ بِالْمَدِيْنَةِ مَا لاً, وَكاَ نَ أحَبُّ أمْوَالِهِ بَيْرَحَاءَ,وَكاَ نَتْ مُسْتَقْبِلَةَ اْلمَسْجِدِ, وَكاَ نَ رَسُوْلُ اللهِ  يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيْهَا طَيِّبٌ. فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ اْلآيَةُ اْلكَرِيْمَةُ : لَنْ تَنَا لُوااْلبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّّا تُحِبُّوْنَ,قاَمَ أبُوْطَلْحَةَ إٍلَى رَسُوْلِ اللهِ فَقاَلَ : إنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ فِيْ كِتَا بِهِ " لَنْ تَنَا لُوااْلبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّّا تُحِبُّوْنَ". وَإنَّ أحَبَّ أمْوَالِيْ بَيْرَحَاءُ وَإنَّهَا صَدَقَةٌ لِلّهِ أرْجُوْا بِِرَّهَا وَذُخْرُهَا عِنْدَ اللهِ فَضَعْهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ حَيْثُ شِئْتَ. فَقاَ لَ رَسُوْلُ اللهِ: بَخٍ,ذَالِكَ مَا لٌ رَابِحٌ, قَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ فِيَْهَا,وَإنِّيْ أرَى أنْ تَجْعَلَهَا فِى اْلأقْرَبِيْنَ فَقَسَمَهَا أبُوْطَلْحَةَ فِيْ أقَارِبِهِ وَبَنِى عَمِّهِ.

Artinya: Dari Anas r.a, dia berkata: Adalah Abu Thalhah seorang Anshari yang paling banyak hartanya di Madinah;dan adalah harta yang paling dia senangi itu Bairaha , Bairaha ini menghadap ke mesjid. Dan Rasulullah saw sering memasukinya dan meminum air yang segar di dalamnya, maka ketika diturunkan ayat ini : لََنْ تَنَا لُوا اْلبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْن yang artinya : “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai” .Maka pergilah Abu Thalhah kepada Rasulullah SAW, kata dia:”sesungguhnya Allah swt berfirman di dalam kitab-Nya :”Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”Sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairaha. Dan Bairaha itu aku sedekahkan karena Allah yang aku harapkan kebaikannya dan simpanannya di sisi Allah SWT ; maka tentukanlah sedekah itu sebagaimana engkau sukai wahai Rasulullah.“Rasulullah SAW berkata : “bukan main, itulah harta yang menguntungkan. Aku telah mendengar apa yang engkau katakana mengenai Bairaha itu. Sesungguhnya aku berpendapat agar engkau menjadikannya sebagai sedekah bagi kaum kerabat.” Lalu Abu Thalhah menjadikannya sebagai wakaf bagi kaum kerabatnya dan anak pamannya .

عَنِِِ بْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قاَ لَ : أصَا بَ عُمَرُ أرْضاً بِخَيْبَرَ فَأتَى النَّبِيَّ  يَسْتَأْمِرُهُ فِيْهَا ,فَقاَ لَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إنِّيْ أصَبْتُ أرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ ماَ لاً قَطُّ هُوَ أنْفَسُ عِنْدِيْ مِنْهُ. فَمَا تَأْمُرُنِيْ بِهِ؟ فَقاَ لَ رَسُوْلُ اللهِ  : إنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أصْلًهَا وَتَصَدَّ قْتَ بِهَا. فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ: أنَّهَا لاَتُبَاعُ وَلاَتُوْهَبُ وَلاَتُوْرَثُ؟ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِى اْلفُقَرَآءِ وَفِى اْلقُرْبَى وَفِى الرِّقاَ بِ وَفِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَا حَ عَلىَ مَنْ وَلِيَهَا أنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوْفِ وَيَطْعَمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ.
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a, dia berkata : umar telah mendapatkan sebidang tanah di khaibar. Lalu dia datang kepada Nabi SAW untuk minta pertimbangan tentang tanah itu, maka katanya : “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendaptkan sebidang tanah di khaibar, di mana aku tidak mendapatkan harta yng lebih berharga bagiku selain daripadanya; maka apakah yang hendak engkau perintahkan kepadaku sehubungan dengannya?” Maka kata Rasulullah saw kepadanya :”Jika engkau suka, tahanlah tanah itu, dan engkau sedekahkan manfaatnya,” maka Umar pun menyedekahkan manfaatnya, dengan syarat tanah itu tidak akan dijual, tidak diberikan dan tidak diwariskan. Tanah itu dia wakafkan kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, memerdekakan hamba sahaya, sabilillah, ibnus-sabil dan tamu. Dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf, dan memakannya tanpa menganggap tanah itu miliknya sendiri.
Berkata At-Tirmidzi :
Hadits ini diamalkan oleh ahli ilmu dari para sahabat Nabi SAW dan orang-orang selain mereka. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari seorang pun di antara orang-orang terdahulu diantara mereka.
Hal tersebut adalah wakaf pertama di dalam Islam.

رَوَى أَحْمَدُ وَاْلبُخَا رِيُّ عَنْ أبِى هُرَيْرَةَ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ قاَ لَ: مَنِ احْتَبَسَ فَرَسًا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إيْمَا نًا وَاحْتِسَا بًا فَإنَّ شَعْبَهُ وَرَوْثَهُ وَبَوْلَهُ فِيْ مِيْزَانِهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ حَسَنَا تٌ .
Artinya: Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bukhari, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda :”Barang siapa mewakafkan seekor kuda di jalan Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka makanannya, tahinya dan kencingnya itu menjadi amal kebaikan pada timbangan di hari kiamat.”

وَفِيْ حَدِيْثِ خَا لِدِبْنِ اْلوَلِيْدِ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ  قاَ لَ: أمَّا خَا لِدٌ فَقَدِ احْتَبَسَ أدْرَاعَهُ وَأعْتاَ دَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.
Artinya : Di dalam hadits Khalid bin Walid, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Adapun Khalid, maka dia telah mewakafkan baju-baju perangnya dan peralatan perangnya di jalan Allah SWT.”
BAB VI

PENGESAHAN DAN PENETAPAN TERJADINYA WAKAF


Wakaf itu sah dan terjadi melalui salah satu dari dua perkara :

1. Perbuatan yang menunjukkan padanya; seperti bila seseorang membangun Mesjid, dan dikumandngkan adzan untuk shalat di dalamnya, dan dia tidak memerlukan keputusan dari seorang hakim.

2. Ucapan ; ucapan ini ada 2 (dua), yang sharih(tegas) dan kinayah(tersembunyi).

Yang sharih, misalnya ucapan seseorang yang mewakafkan : “aku sedekahkan,” “aku hentikan pemanfaatannya,” “aku jadikan untuk sabilillah,” “aku abadikan”. Sedangkan yang kinayah, seperti ucapan orang yang mewakafkan : “aku sedekahkan,” akan tetapi dia berniat mewakafkannya.

Adapun wakaf yang dihubungkan dengan kematian, seperti kata seseorang :“Rumahku atau kudaku menjadi wakaf seudah aku mati,” maka hal itu diperbolehkan menurut zhahirnya mazhab Ahmad, seperti disebutkan oleh Al-Khiraqi dan lain-lain. Sebab ini semuanya termasuk ke dalam wasiat, maka oleh karena itulah ta’liq kematian untuk wakaf diperbolehkan sebab wakaf adalah wasiat.

Bila seseorang yang berwakaf itu berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada wakaf atau mengucapkan kata-kata wakaf, maka tetaplah wakaf itu, dengan syarat orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. Untuk terjadinya wakaf ini tidak diperlukan penerimaan dari yang diwakafi.

Apabila wakaf itu telah terjadi, maka tidak boleh dijual, dihibahkan dan diperlakukan dengan sesuatu yang menghilangakan kewakafannya. Bila orang yang berwakaf mati, maka wakaf tidak diwariskan, sebab yang demikian inilah yang dikehendaki oleh wakaf, dan karena ucapan Rasulullah saw seperti yang disebutkan dalam hadits Ibnu Umar :

لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوْهَبُ وَلاَ يُوَْث.
Artinya : “Tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan.”

Abu Hanifah berpendapat bahwa wakaf boleh dijual. Abu Yusuf berkata : seandainya hadits ini sampai kepada Abu Hanifah, tentulah dia berpendapat seperti yang dikatakan oleh hadits.

Pendapat yang kuat dari Mazhab Syafi’i ialah bahwa milik yang ada pada orang yang diberi wakaf itu berpindah kepada Allah’Azza wa Jalla, maka ia bukanlah milik orang yang berwakaf dn bukan pula milik orang yang diberi wakaf.

Apa-apa yang sah dan tidak sah untuk diwakafkan :

Yang sah untuk diwakafkan diantaranya ialah tanah, perabot yang bisa dipindahkan, mushaf, kitab, senjata dan binatang.

Demikian pula sah untuk diwakafkan apa-apa yang boleh diperjual belikan dan boleh dimanfaatkan dan tetap utuhnya barang. Yang demikian ini telah kami kemukakan. Dan tidak sah mewakafkan apa yang rusak seperti bau-bauan dari tumbuh-tumbuhan aromatic, sebab ia cepat rusak. Tidak diperbolehkan pula mewakafkan apa yang tidak boleh diperjual belikan seperti barang tanggungan(borg), anjing, babi, dan binatang-binatang buas lainnya yang tidak dijadikan sebagai hewan pelacak buruan.

Tidak sah wakaf kecuali kepada orang yang dikenal, seperti anak, kerabat, dan orang tertentu; atau untuk kebaikan seperti membangun Mesjid, jembatan, kitab-kitab fiqih, ilmu dan Al-Quran.

Apa bila wakaf kepada orang yang tidak tertentu, seperti kepada seorang lelaki dan seorang perempuan; atau untuk maksiat, seperti wakaf untuk gereja dan biara, maka yang demikian ini tidak sah.
BAB VII

PEMBIAYAAN WAKAF DAN MENJUAL HASIL WAKAF



Diperbolehkan bagi orang yang mengurusi urusan Wakaf untuk memakan sebagian dari hasil wakaf itu, karena hadits Ibnu Umar yang telah disebutkan sebelumnya, yang di dalamnya terdapat ;

لاَ جُنَا حَ عَلىَ مَنْ وَلِيَهَا أنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِا ْلمَعْرُوْفِ.

Artinya:“Dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian dengan cara yang ma’ruf.”

Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah kadar yang biasanya berlaku. Berkata Al-Qurtubi :
Telah terbiasa bahwa pengurus itu memakan sebagian dari hasil wakaf; sehingga seandainya pewakaf mensyaratkannya agar pengurus tidak memakan sebagian darinya tentulah tidak akan diterima persyaratannya ini.

Adapun mengenai menjual wakaf, yaitu sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa wakaf itu hanya untuk diambil manfaatnya, barang asalnya tetap, tidak boleh dijual, diberikan, atau dipusakakan. Sekarang kalau sekiranya wakaf itu tidak ada manfaatnya atau kurang manfaatnya kecuali dengan dijual, bolehkah dijual? Menurut kata yang sah, tidak ada halangan menjual tikar mesjid yang sudah tidak pantas dipakai lagi, agar jangan tersia-sia, hasilnya digunakan untuk kemaslahatan mesjid.


Dalam Mazhab Ahmad ibnu Hambal, apabila manfaat wakaf tak dapat dipergunakan, wakaf itu boleh dijual, dan uangnya dibelikan pada gantinya. Begitu juga mengganti mesjid atau mengubahnya. Juga memindahkan mesjid dari satu kampung ke kampung yang lain, atau dijual, uangnya untuk mendirikan mesjid di kampung yang lain kalau kampung yang lama tidak berkehendak lagi pada mesjid, karena sudah roboh umpamanya; hal demikian kalau dipandang sebagai kemaslahatan. Beliau mengambil alasan dengan perbuatan Umar bin Khaththab yang telah mengganti mesjid kufah yang lama dengan mesjid yang baru, juga tempatnya beliau pindahkan sehingga tempat mesjid yang lama menjadi pasar.
Kata Ibnu Taimiyah : “Sesungguhnya yang menjadi pokok di sini, yaitu guna menjaga kemaslahatan. Allah swt menyuruh kita menjalankan kemaslahatan dan melenyapkan segala kerusakan.”
Firman Allah SWT :

.وَقَالَ مُوسَى لأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلاَ تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِين

Artinya : Kata Nabi Musa a.s. kepada saudaranya, Harun: “Hendaklah engkau gantikan saya untuk menjaga kaum saya, dan jalanknlah kemaslahatan untuk mereka, dan janganlah sekali-kali engkau mengikuti jalan orang-orang yang merysak.”(Q.S. Al-A’raf:142).

FirmanAllah SWT :
إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ .

Artinya : Kata Nabi Syua’aib a.s. : “Saya tidak menghendaki sesuatu pun selain kemaslahatan sekedar kuasaku.”(Q.S. HUD:88).

Firman Allah SWT :
فَمَنِ اتَّقَى وَأَصْلَحَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ.

Artinya : “Orang yang takwa kepada Allah dan mengerjakan kemaslahatan tidak usah merasa takut kepada apa pun, dan tak usah rusuh atau susah.”(Al-A’raf :35).

Sampai disini keterangan Syekh Ibnu Taimiyah yang kita kutip dari Kitab Mu’inul-Mubin karangan Abd. Hamid Hakim .

Demikian juga pendapat beliau mengatakan bahwa tanah wakaf yang keuntungannya melebihi dari kebutuhan pemeliharannya, dipergunakan untuk tujuan seperti pewakafannya. Misalnya: untuk keperluan mesjid, apabila keuntungan wakafnya tersisa melebihi kebutuhannya, maka keuntungan itu dipindahkan untuk keperluan mesjid lain, sebab pewakaf menghendaki pada jenis yang sama. Jenis yang sama itu satu. Jadi seandainya mesjid pertama telah rusak dan tidak lagi dimanfaatkan, maka keuntungan wakafnya itu dipindahkan kepada mesjid lain. Demikian pula apabila terdapat sedikit sisa dari keperluan mesjid itu, maka sisa ini tidak dipergunakan, melainkan digunakan untuk maksud yang sejenis, inilah yang lebih utama. Dan itulah cara yang paling dekat kepada maksud dari pewakaf.

Dan berkata pula beliau Ibnu Taimiyah dalam hal lain yaitu; adapun mengganti apa yang dinadzarkan dan diwakafkan dengan yang lebih baik darinya, seperti dalam penggantian hadiah, maka yang demikian ini ada 2(dua) macam :
Pertama: Penggantian karena kebutuhan, misalnya karena macet, maka ia dijual dan harganya dipergunakan untuk membeli apa yang dapat menggantikannya. Apabila tidak mungkin lagi memanfaatkan wakaf menurut maksud pewakaf, maka ia dijual dan harganya dipergunakan untuk membeli apa yang dapat menggantikannya. Bila Mesjid rusak dan tidak mungkin diramaikan lagi, maka tanahnya dijual dan harganya dipergunakan untuk membeli apa yang dapat menggantikannya. Ini semua diperbolehkan, karena bila yang pokok(asal) tidak dapat untuk mencapai maksud, maka digantikan oleh yang lainnya.
Kedua : Penggantian karena kepentingan yang lebih kuat. Misalnya menggantikan hadiah dengan apa yang lebih baik darinya. Dan Mesjid, bila dibangun mesjid lain sebagai gantinya, yang lebih layak lagi bagi penduduk kampung, maka Mesjid yang pertama itu dijual. Hal ini dan yang serupa dengannya diperbolehkan menurut Ahmad dan Ulama-ulama lainnya.

Ahmad berdalil bahwa Umar bin Khattab r.a. memindahkan Mesjid Kufah yang lama ke tempat yang baru, dan tempat yang lama itu dijadikan pasar bagi penjual-penjual tamar. Ini adalah pengantian tanah mesjid. Adapun penggantian bangunannya dengan bangunan lain, maka Umar dan Utsman r.a. pernah membangun Mesjid Nabawi tanpa menurut bangunan pertama dan dengan diberi tambahan.Demikian pula Mesjidil haram, seperti termuat di dalam kedua kitab hadits shahih, bahwa Nabi SAW berkata kepada Aisyah :

لَوْلاَ أنَّ قَوْمَكَ حَدِيْثُ عَهْدٍ بِجَا هِلِيَّةٍ لَنَفَضْتُ اْلكَعْبَةَ, وَلَألْصَقْتُهَا بِاْلأرْضِ وَلَجَعَلْتُ لَهَا بَا بَيْنِ بَابًا يَدْخُلُ النَّا سَ مِنْهُ, وَبَابًا يَخْرُجُ النَّا سُ مِنْهُ.

Artinya:”Seandainya kaummu itu bukan masih dekat dengan kejahiliyahan, tentula Ka’bah itu akan aku runtuhkan, dan aku jadikan dalam bentuk rendah, serta aku jadikan baginya dua pintu; satu untuk masuk dan satu untuk keluar.”

Seandainya ada alasan yang kuat tentulah Nabi SAW mengubah bangunan Ka’bah. Oleh sebab itu maka diperbolehkan mengubah bangunan wakaf dari satu bentuk ke bentuk lainnya demi maslahat yang mendesak. Adapun menganti tanah dengan tanah lain, maka telah digariskan oleh Ahmad dan lain-lain tentang kebolehannya, karena mengikuti sahabat-sahabat Rasulullah SAW, di mana Umar r.a melakukannya, dan peristiwa itu pun amat masyhur, tidak ada orang yang mengingkarinya.

Adapun apa yang diwakafkan untuk diprodusikan, apabila diganti dengan yang lebih baik, seperti wakaf rumah, kedai, kebun, kampung yang produksinya kecil, maka ia diganti apa yang lebih bermanfaat bagi wakaf itu. Yang demikian itu diperbolehkan oleh Abu Tsaur dan Ulama-ulama lainnya, seperti Abu ‘Ubaid bin Harbawaih hakim Mesir yang memutuskan seperti itu. Hal itu merupakan kias dari ucapan Ahmad tentang pemindahan mesjid dari satu tanah ke tanah yang lain karena adanya maslahat. Bahkan apabila diperbolehkan mengantikan satu mesjid dengan yang bukan mesjid karena suatu maslahat, sehingga mesjid dijadikan pasar, maka hal itu disebabkan karena bolehnya menggantikan suatu obyek dengan obyek lain yang lebih utama dan layak. Yang demikian juga merupakan kias terhadap pendapat Ahmad tentang penggantian hadiah dengan yang lebih baik darinya. Ahmad telah menggariskan bahwa mesjid yang bercokol di suatu tanah apabila mereka mengangkatnya dan membangun di bawahnya pengairan, sedang orang-orang yang tinggal berdampingan dengan mesjid itu menyetujuinya; maka hal itu pun dapat dilakukan.

Di dalam hal ini jika kita melihat kepada maksud disyariatkan, tidak dapat dinafikan penukaran harta wakaf dengan cara menjual dalam bentuk badal (ganti) untuk membeli harta yang lain yang lebih secara ekonomi adalah suatu yang selaras dengan maksud atau kehendak Ilahi selama mana adanya maslahat atau kebaikan kepada semua pihak. Biarpun ada berbagai garis panduan yang telah digariskan oleh para Ulama berbagai mazhab tetapi kesemua ini menjurus kepada persoalan sejauh mana ia mencapai maslahat yang dikehendaki daripada pensyariatan wakaf. Sebagai contoh untuk membolehkan wakaf ditukar ganti, mazhab Hambali hanya mensyaratkan wujudnya hajat atau keperluan penukaran tersebut.

Sedangkan Mazhab Hanafi mensyaratkan enam syarat, antara lain harta asal yang wakafkan telah tidak dapat dimanfaatkan dan ia hendaklah diganti dengan harta tanah bukan uang. Walau apapun, yang jelas ia adalah masalah berasaskan ijtihad, setiap masalah perlu diteliti, dan hukum sesuatu maslahah mungkin berbeda dengan maslahah yang lain .

Akan tetapi diantara sahabat-sahabatnya beliau(Ahmad) ada yang melarang menggantikan mesjid, hadiah dan tanah yang diwakafkan. Inilah pendapat Asy-Syafi’i dan lain-lain. Akan tetapi nash-nash, atsar-atsar dan kias mengehendaki kebolehan menggantikannya karena suatu maslahat. Wallahu A’lam.















BAB VIII

HUKUM MERUGIKAN AHLI WARIS DALAM WAKAF



Seseorang diharamkan untuk memberikan wakaf yang merugikan ahli waris, karena hadits Rasulullah SAW :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَا رَ فِى اْلإسْلا مِ.
Artinya: “Tidak ada yang dirugikan dan tidak ada pula yang merugikan di dalam Islam.”

Maka bila seseorang mewakafkan hartanya dengan merugikan ahli waris, maka wakafnya batal. Dikatakan di dalam kitab Ar-Raudhah An-Nadiyyah:
Walhasil, wakaf yang dimaksudkan untuk memutuskan apa-apa yang diperintahkan Allah swt untuk disambung, dan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah ‘Azza wa Jalla itu batil dari segi asalnya dan tidak sah sama sekali. Contohnya, seperti orang yang mewakafkan kepada anak-anaknya yang lelaki dan tidak mewkafkan kepada anak-anaknya yang perempuan, dan yang serupa dengan itu. Orang ini tentu tidak ingin mendekat kepada Allah swt, bahkan dia ingin menentang hukuhm-hukum Allah swt dan memusuhi apa yang disyariatkan Allah kepada para hamba-Nya. Dan wakaf thaghut (setan) ini dia gunakan sebagai alat untuk mencapai maksud setan. Yang demikian ini perlu anda perhatikan, karena hal ini sering terjadi di zaman kita ini.

Demikianlah, telah berwakaf orang yang tidak terdorong untuk berwakaf kecuali oleh keinginan untuk melanggengkan harta diantara keluarganya dan agar wakaf tidak keluar dari milik mereka, lalu dia berwakaf kepada keluarganya. Orang yang demikian ini sebenarnya hendak menentang hukum Allah SWT, yaitu perpindahan milik dari pewarisan dan penyerahan milik itu kepada ahli waris untuk diperlakukan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Masalah kaya atau miskinnya ahli waris itu bukanlah masalah orang yang berwakaf, akan tetapi ia adalah masalah Allah swt. Memang terkadan sekalipun itu jarang terjadi, wakaf kepada keluarga ini ada pula kebaikannya sesuai dengan keanekaragaman pribadi mereka. Maka hendaklah diperhatikan baik-baik oleh pengawas perwakafan sebab-sebab yang menyampaikan pada maksud itu.

Dan di antara apa yang jarang terjadi itu adalah bila orang berwakaf kepada siapa yang saleh di antara keluarganya, atau yang sibuk menuntut ilmu. Wakaf yang demikian mungkin maksudnya ikhlas, pendekatannya kepada Allah SWT terwujud, dan amalnya disertai dengan niat baik. Akan tetapi menyerahkan perkara ini kepada hukum Allah SWT dan di antara hamba-hamba-Nya dengan mengharapkan keridhaan-Nya, itu lebih utama dan lebih layak.




























BAB IX

PENUTUP



A
lhamdulillah, akhirnya selesailah tugas penulisan ini sebagai tugas akhir semester lima.
Kita memohon kepada Allah SWT, kiranya memberikan kita semua rasa hubb(cinta) kepada-Nya, sehingga Dia memberikan kita semua rasa cinta untuk melakukan perintah-perintah-Nya khususnya yang berkaitan dengan Ihsan(berbuat baik) terhadap sesama sehingga kita dapat lebih mementingkan urusan orang lain/bersama daripada urusan pribadi dan semoga kita bisa mencapai tangga kepada Iitsar(lebih mengutamakan orang lain) dan mengikis habis penyakit-penyakit kikir di dalam jiwa-jiwa dan pribadi-pribadi kita semua sampai kita mendapatkan keberuntungan di dunia dan akherat sesuai dengan firman Allah SWT :

وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون.

Artinya :“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulahorang-orang yang beruntung.” (Q.S. ALHASYR: 9).

Wakaf disyariatkan berdasarkan nash-nash As-Sunnah, begitu juga berdasarkan nash-nash Al-Quran yang umumnya menyuruh untuk menggalakkan kebaikan dan berbuat kebajikan. Wakaf telah memberi sumbangan yang bermakna kepada sosial ekonomi umat Islam sejak dari kemunculan negara Islam yang pertama dulu hingga sekarang ini. Oleh karena itu wakaf harus dikembangkan lagi bagi menjamin kebersamaan umat, dan supaya maksud atau objektifitas pensyariatannya tercapai. Masyarakat perlu komitmen dalam melaksanakan ibadah wakaf. Jika semua masyarakat Islam komitmen dengan masalah wakaf, maka banyak masalah sosial-ekonomi ummat dapat diatasi. Soal-soal hukum dalam wakaf boleh diselesaikan dengan mengamati maqasid syariah di dalam pensyariatannya. Ini karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wakaf, kebanyakannya jika tidak kesemuanya adalah berdasarkan kepada ijtihad.
Semoga Allah SWT mengampuni kelalaian dan dosa kita, mencukupkan rezeki kita yang walaupun adanya sedikit dan pas-pasan yang penting barakah dan bermanfaat buat diri sendiri maupun orang lain sehingga kita tidak bakhil/kikir dan pula tidak tamak terhadap apa-apa yang dimiliki orang lain, serta mencukupkan kita dengan anugrah-Nya. Dan semoga amal ibadah yang telah kita lakukan walaupun sedikit dapat diterima oleh Allah SWT dan akan menjadi saksi dan bekal kita di akherat nanti serta akan menjadi simpanan pundi-pundi amal baik kita di sisi-Nya. Amin ya Rabbal ‘Aalamin.

Aku berlindung kepada Allah SWT dari godaan Syetan yang terkutuk dan dari godaan hawa nafsu yang selalu cenderung kepada keburukan dan kepada maksiat di jalan-Nya.




۩۩۩۩۩














DAFTAR PUSTAKA


1. Al-Quran Karim.
2. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Mujamma, Al Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush-haf Asy-Syarif Madinah Al Munawarah, Saudi Arabia.
3. Lubaabut Tafsiir Min Ibnu Katsiir, jilid 2. DR.Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq Al-Sheikh.Cet.1(Kairo: Mu-assasah Daar al-Hilaal 1414 H/1994 M). Edisi bahasa Indonesia berjudul : Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Penerjemah M.Abdul Ghoffar E.M (Pustaka Imam asy-Syafi’i).
4. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam.
Oleh: Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalaani, Cet. III. Edisi bahasa Indonesia berjudul: Terjemahan Bulughul Maram. Penerjemah A. Hasan (Pasuruan: Pustaka Tamam).
5. Terjemahan Nailul Authar (Himpunan Hadits-Hadits Hukum) 5. Penerjemah A. Qadir Hassan, Drs. Mu’ammal Hamidy, Drs. Imron AM, Umar Fanany B.A. (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001 M).
6. Fiqhussunnah, jilid 14.
Oleh: Sayyid Sabiq
Edisi bahasa Indonesia berjudul: Fikih Sunnah jilid 14, Penerjemah Kamaluddin A. Marzuki, Cet. 1 (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987 M).
7. Fiqih Islam.
Oleh: Sulaiman Rasyid, Cet. 36 (Bandung: Sinar Baru Al-Gensindo, 2003 M).
8. Minhajul Muslim.
Oleh: Abu Bakar Jabir Al-Jazairi (Beirut-Lebanon: Darul Fikr). Edisi bahasa Indonesia berjudul: Ensiklopedi Muslim, penerjemah Fadhli Bahri, Lc. Cet. 6 (Jakarta: Darul Falah, Ramadhan 1424 H/ November 2003 M).
9. KERTAS KERJA 1: MAQASID SYARIAH DALAM PELAKSANAAN WAKAF.
Oleh : DR. MOHAMAD AKRAM LALDIN, DR. MEK WOK MAHMUD, DR. MOHD. FUAD SAWARI. (Sumber : Media Internet> www.jwzh.gov.my/KonvWakaf/Kertas%20...).