Kamis, 13 Mei 2010

CERPEN: DO’A AYAH BUNDA
By:Nurkholis

“Wan cepat kemas-kemas ya...semua pakaianmu kita akan pergi sore atau malam ini ke sebuah pondok pesantren di Bogor...!! Teriak kakak sulungku sambil menunjuk-nunjuk jari tangannya kepadaku, serasa terdengar oleh telingaku bagaikan petir di siang bolong ucapan kakakku itu yang tiba-tiba saja menghampiriku, yang memang begitulah tabiat asli saudara tertuaku itu acap kali kalau dia berbicara agak keras sambil menggerak-gerakkan tangannya itu. Aku kaget bukan kepalang mendengar ucapannya itu, tak sedikitpun terlintas dipikiranku kalau aku akan belajar di sebuah pondok pesantren, tahu pun tidak tentang profil pondok itu. Soalnya selepas Sekolah Menengah Pertama itu terus terang aku berniat akan mendaftarkan diri masuk ke sebuah SMU swasta favorit di kampungku. Sebenarnya hatiku berontak tidak mau mengikuti kemauan kakakku itu. Dan aku hanya bisa melampiaskan kekecewaanku ini pada ibundaku tercinta saja, sedangkan ayahandaku hanya idem saja dengan kakakku itu.

“Bu aku tak mau mondok...!! lagi pula kan besok iwan mau daftar bareng teman-teman di SMU “Daan Mogot”...!!” seruku pada ibuku. SMU swasta itu terletak di sebuah wilayah yang masuk dengan Desaku yang bernama Jatiuwung, sebuah kawasan industri di Tangerang, kota kebanggaanku ini. “Daan Mogot” diambil dari nama seorang pahlawan di tangerang. “Ya...mau bagaimana lagi wan...anakku sayang...itu kan sudah menjadi kemauan keras kakak sulungmu itu, ayahmu itu kan sudah tidak mampu membiayai sekolahmu lagi, semua urusan sekolah kamu dan saudara-saudaramu itu semuanya sudah kita serahkan pada kakakmu itu, dan lagi pula kamu kan di pondok itu sambil sekolah juga di Madrasah Aliyah-nya disana...! jawab ibuku sambil menahan keharuannya, yang memang beliau pun begitu berat kelihatannya jika benar-benar mau jadi berpisah denganku ini, anak laki-lakinya yang paling dekat dengan beliau, dibandingkan dengan anak-anak ibuku yang lainnya.

Akhirnya dengan terpaksa sambil menangis seraya memeluk dan mencium tangan ibuku yang walaupun sebelumnya aku sempat merayu ibundaku itu agar bisa membujuk kakakku untuk membatalkan rencananya tadi, ya...akhirnya aku turuti juga kemauan ayah dan kakakku itu berangkat dengan sebuah mobil kijang kakakku itu pada sore hari menjelang malamnya menuju sebuah pondok yaitu pondok pesantren Darut-Tafsir di sebuah wilayah kabupaten Bogor yang terkenal dengan “kota hujan”nya. “Pokoknya kalau iwan tidak betah di pondok...kabur ya bu..? mau jualan Koran saja di kota bogor...!!” sungutku pada ibuku, dengan sedikit rasa kecewa di dadaku ini akibat paksaan kakakku tadi siang itu, walaupun aku sadari ucapanku tadi itu pada ibuku terdengarnya agak kasar, padahal ibu adalah seorang manusia yang begitu mulia kedudukannya di sisi sang Khaliknya yang untuk berbicara ”ah”...saja dilarang oleh-Nya, pikirku dalam hati dengan perasaan agak menyesal, dengan ucapanku tadi itu. “Jangan bertindak seperti itu wan, tidak baik...jalani saja dulu apa adanya insya Allah kamu ibu doakan sukses dan berhasil...” jawab ibuku dengan lembut.

Di perjalanan dalam kendaraan aku hanya diam membisu bercampur dengan perasaan sedih dan haru biru mataku meninggalkan semua yang aku cintai, teman-teman dan handai taulanku, saudara-saudaraku serta tentunya ayah ibuku sendiri. “Sudahlah wan anakku sayang pasrahkan saja semuanya ini pada Yang Maha Kuasa, ibu yakin semua ini sudah takdir-Nya dan dibalik semua ini pasti ada hikmah-Nya” ucap ibuku yang duduk di sampingku sambil sesekali menghiburku ini, seraya menepuk-nepuk pundakku. “Dengar...tuh...benar kan kata ibumu...,dan jangan khawatir insya Allah kakak juga akan selalu membantu segala keperluanmu selama di Pondok...” timpal kakakku yang duduk di depan sambil menyetir mobil, sesekali mendengarkan juga pembicaraanku barusan itu. Kakakku itu kebetulan jadi supir untuk sementara waktu, karena pak wahyu supir pribadinya lagi cuti pulang kampung. “Dan pasti ayah juga insya Allah akan selalu menjengukmu bersama ibumu...dan kami akan selalu mendoakanmu agar menjadi anak shaleh dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat serta diamalkan..bukan begitu wan...? sambung ayahku sambil bertanya padaku tiba-tiba. Tidak biasanya ayahku banyak bicara seperti waktu ini. Yang aku tahu Ayahku memang tipe seorang pendiam tak banyak omong kecuali yang dirasa perlu saja olehnya. Aku tetap diam membisu tak menjawab sepatah kata pun walaupun diam-diam dalam hatiku aku ucapkan “amin’ dan aku bersyukur sekali dan gembira atas perhatian dan dukungan moril keluargaku.

Tak lama berselang sekitar kurang lebih 3 jam kendaraan kami sampailah di tempat yang dituju, karena kami melalui jalan tol supaya cepat sampainya. “Wah...bagus juga ya.. wan...?! pondok ini...kata ayahku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tanda kagum. “Ya...memang tempat ini begitu indah dan bagus sekali..!!” seru ibu dan kakakku secara bersamaan. Dan sambil jalan lihat kiri kanan mataku tak henti-hentinya menatap dengan takjub seraya mengucapkan “subhanallah” karena disekililing pondok itu banyak pohon-pohon rindang nan hijau hampir memenuhi semua area pondok, dan dari kejauhan terlihat pegunungan memanjang dan sawah-sawah menghampar bak permadani berkilauan.”Ya Allah betapa indahnya Engkau menciptakan negeriku ini negeri khatulistiwa” pujiku pada Tuhan semesta alam. Dan tak terasa semua pemandangan indah ini membuat aku lupa akan kesedihanku semula karena aku sempat membayangkan pondok pesantren itu seperti penjara saja layaknya dan ternyata semua itu tak benar sama sekali bahkan sepertinya aku mulai merasakan ada ketentraman dan kedamaian dalam hatiku. “Ya Allah semoga saja ini awal pertanda baik buatku dan bisa membuat aku betah dan kerasan di pondok ini” pikirku dalam hati.

Setelah selesai berbincang-bincang sekaligus bersilaturahmi dengan Pak kiyai pimpinan pondok dan keluarga besarnya, akhirnya keluargaku pun pamitan, meninggalkan aku menuju pulang kembali ke Tangerang. Dan aku mulai dengan kehidupan baruku menyesuaikan diri dengan suasana dan ruang lingkup kehidupan pondok pesantren yang memang lain sekali dan berbeda dengan kehidupan di luar sana. Kebetulan di sekitar pondokku ada sungai cihideung namanya, yang membuat aku mulai merasa betah dan kerasan karena aku dan teman-temanku lainnya di pondok diizinkan untuk mandi dan mencuci serta bersenang-senang di sungai itu walaupun tetap harus dalam batas-batas tertentu yang telah diinstruksikan oleh pondok. “Ayo wan kita mandi di sungai yu...bersih tuh airnya, sekarang kan belum belajar penuh masih suasana baru...!! teriak haikal teman baruku sambil menggenggam tanganku dan bergegas ke sungai bersamaku.

“Coba nak iwan tolong dibaca mushaf al-Qurannya juz ‘amma surat An-Naba’ dan nanti besok disetor ya...hafalannya semampu kamu dulu sampai mana...dan hari berikutnya begitu juga...” kata Pak Ustadz Yani padaku dengan penuh bijaksana sore itu. Ya memang demikianlah salah satu kegiatanku di dalam pondok itu sehari-hari, menyenangkan juga dan dapat menghiburku untuk melupakan sementara kerinduanku pada keluargaku dan kampung halamanku.Dan aku di pondok itu juga di samping belajar Al-Quran tentunya, juga mempelajari kitab-kitab kuning yang sebelumnya aku tak membayangkan sedikitpun akan hal ini.Aku juga bersyukur sekali dapat belajar lebih jauh lagi bahasa arab dengan grammarnya atau istilahnya Nahwu dan Sharafnya, sehingga membuat ilmuku bertambah lagi.

Tak terasa aku sudah 3 tahun di pondok sampai aku tammat juga sekaligus mendapatkan ijazah Madrasah Aliyahnya.Aku bahagia sekali ternyata tidak sia-sia sama sekali aku tinggal di pondok malah aku lebih beruntung dibandingkan teaman-temanku yang hanya sekolah SMU saja tanpa mondok, karena aku juga mendapatkan bekal agama yang memadai untuk kehidupanku di dunia dan akherat kelak. ”Terimakasih ya Allah Engkau telah menganugrahkan semua ini padaku...” pujiku pada Tuhanku dalam hati. Dan do’a ayah dan ibuku akhirnya terkabulkan juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar