MUQADDIMAH
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم
¬¬¬¬¬إنَّ الْحَمدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيِّئَا تِ أعْمَا لِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضَِلّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَا دِيَ لَهُ، وَأشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إلاَ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِ يْكَ لَهُ، وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْ لُهُ، أمَا بَعْدُ.......
S
egala puji bagi Allah SWT, atas segala limpahan Rahmat, Hidayah dan Inayah-Nya kepada kita sekalian, termasuk juga kesehatan sehingganya kita semua khususnya saya pribadi masih bisa melaksanakan aktivitas sehari-hari termasuk didalamnya adalah menyusun atau menulis skripsi ini.
Kedua kalinya Shalawat serta Salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad r, keluarganya, sahabat-sahabat, tabiin, tabi’ut tabiin dan semua penganutnya hingga akhir zaman. Keberadaan Nabi Muhammad r adalah sebagai pelita bagi umat manusia semuanya, karena berkat jasa dan usaha beliau yang merubah jaman jahiliyah menuju ke zaman yang Islamiyah yaitu zaman terang benderang, sampai di zaman kita ini sekarang. Amin ya Rabbal ‘Aalamin !.
Saya tertarik sekali untuk membahas masalah ini yaitu masalah wakaf karena wakaf acap kali diabaikan oleh kebanyakan manusia yang hanya mementingkan urusan pribadinya saja, tanpa mau mementingkan urusan orang lain khususnya umat Islam, yang mana hal ini semata-mata demi kemaslahatan bersama dan demi tegaknya rasa keadilan diantara sesama umat Islam itu sendiri khususnya maupun diantara umat-umat lainnya.
Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk manusia seluruhnya, adalah satu cara hidup yang sempurna yang dapat memenuhi seluruh keperluan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Al-Quran dan As-Sunnah adalah dua sumber asasi yang dapat menterjemahkan semua keperluan hidup manusia. Selagi mana manusia berpegang kepada kedua-duanya itu, selagi itulah mereka akan menikmati kehidupan yang cemerlang lagi sempurna. Ini adalah berdasarkan kepada firman Allah SWT :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا .
Artinya : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan
telah Ku-cukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Q.S. Al-Maa-idah : 3 )
Begitu juga dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:
مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ.
Artinya : “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab”.(Q.S.Al-An’aam: 38).
Dengan kata lain, semua keperluan hidup manusia telah ditentukan di dalam Al-Quran. Ini bukanlah bermaksud manusia boleh melakukan apa saja mengikuti sesuka hatinya. Sebaliknya Al-Quran merupakan garis panduan kehidupan yang sempurna yang perlu dipatuhi oleh semua makhluk Allah SWT di mana manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Oleh sebab itu Islam ialah semulia-mulia cara hidup yang tidak ada lagi cara hidup lain yang dapat memenuhi keperluan manusia, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW :
اَلإسْلامُ يَِعْلُو وَلاَِيُعْلىَ عَليْهِ.(رواه البيهقى والدارقطنى).
Artinya : “Islam itu tinggi (amat mulia) dan tiada lagi yang dapat mengatasinya”.(H.R.BAIHAQI DAN DARUQUTNI).
Ekonomi adalah salah satu aspek penting dalam Islam yang merupakan lapangan pengembangan rezeki manusia. Aspek ekonomi meliputi banyak perkara seperti infaq, zakat, harta waris dan wakaf. Wakaf merupakan institusi ekonomi umat Islam yang tidak kurang pentingnya. Ia perlu dikembangkan dengan cara yang terbaik dan hati-hati serta cermat demi memaksimalkan manfaatnya kepada umat Islam khususnya dan manusia seluruhnya.
Untuk itu saya, mengangkat masalah Wakaf ini kepermukaan dan menuliskannya kedalam suatu bentuk tulisan ilmiah sebagai tugas akhir semester lima, yang merupakan syarat kelulusan program Daurah ilmu-ilmu syar’i yang diadakan oleh Maktab Jaliyat atau Islamic Propagation Office in Rabwah.
Tak kalah pentingnya juga, mudah-mudahan hasil tulisan saya ini bisa dijadikan bacaan untuk menambah ilmu-ilmu syar’i bagi masyarakat pada umumnya dan bagi diri saya pribadi pada khususnya juga bermanfaat buat semuanya.
Terakhir kalinya, saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Ibuku tercinta atas Do’anya. Jazaakumullahu khairal jazaa untuk semua Asaatidz, khususnya Al-Mukarram Al-Fadhil Ust. Munir Fu’adi, MA. Yang telah mendidik dan mengajarkan ilmunya kepada saya secara terus menerus, hingga tak bosan-bosannya beliau selalu membina kami untuk lebih dalam lagi mengenal agama yang haq yaitu agama Islam. Tak lupa juga saya sampaikan terima kasih kepada semua Ikhwah sekalian senasib sepenangungan atas bantuan yang diberikan kepada saya, baik berupa spirit (dorongan) atau sarana-sarana yang dapat menunjang terselesaikanya penulisan ini, seperti buku, dll. Yang dapat saya jadikan referensi dalam membahas masalah Wakaf ini.
Akhirnya saya sangat berharap sekali kepada Ust. Munir Fu’adi, MA. Beliau selaku pembimbing penulisan ini dan juga para pembaca yang budiman untuk memberikan saran ataupun kritik terhadap penulisan ini agar penulisan kedepan lebih sempurna dan lebih baik lagi. Saya sebagai manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa, jika ada kesalahan itu semata-mata dari diri saya pribadi dan jika ada kebenaran maka kebenaran itu mutlak hanya milik Allah SWT.
وَالسَّلا مُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَ كاَ تُهُ
RIYADH, 17 MUHARRAM 1428 H
05 FEBRUARI 2007 M
Penyusun
Nurkholis
BAB I
PENGERTIAN WAKAF
A. Menurut Bahasa.
Menurut Bahasa Wakaf berasal dari kata Waqf ( وقف ) didalam Bahasa Arab berarti Habs حبس ) ) yang artinya menahan.
Dikatakan waqafa-yaqifu-waqfan (وَقَفَ- يَقِفُ- وَقْْْفًا ) artinya habasa-yahbisu-habsan (حَبَسَ- يَحْبِسُ- حَبْسًا ).
B. Menurut Istilah.
Menurut istilah Syara’, Wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah swt. Dalam istilah yang lainnya Wakaf juga berarti menahan suatu benda yang kekal zatnya, yang dapat diambil manfaatnya guna diberikan dijalan kebaikan .
Ada pula yang mengartikan bahwa Wakaf adalah penahanan harta sehingga tidak bisa diwarisi, atau dijual, atau dihibahkan, dan mendermakan hasilnya kepada penerima Wakaf . Sedangkan Wakaf menurut istilah Syekh DR.Soleh Al-fauzan hampir sama pengertiannya dengan pendapat pertama diatas yaitu adalah menahan harta dan memanfaatkannya dijalan kebaikan atau di jalan Allah swt .
Dari beberapa pengertian Wakaf yang ada, dapat diambil satu pengertian Wakaf yang baku menurut istilah, yaitu : menahan harta/benda yang kekal zatnya guna diambil manfaatnya dijalan Allah swt/jalan kebaikan, yang mana Wakaf itu tidak bisa diwarisi, dijual, atau dihibahkan, dan mendermakan hasilnya kepada penerima wakaf.
BAB II
HUKUM WAKAF
Allah SWT telah mensyariatkan Wakaf , menganjurkannya dan menjadikannya sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan kata lain berarti wakaf dalam Islam itu hukumnya disyariatkan/dianjurkan .
Dan ada pula yang menyebutkan bahwa hukum wakaf itu disunnahkan dan dianjurkan . Adapun menurut DR.Syekh Soleh Al-fauzan hukum wakaf itu adalah suatu ibadah yang disukai/disunnahkan .
Dan dari ketiga pendapat diatas dapat diambil benang merah bahwa hukum Wakaf itu adalah suatu bentuk ibadah/pendekatan diri kepada Allah swt yang disyariatkan/dianjurkan/disukai atau disunnahkan.
Dalilnya tersebut adalah berdasarkan firman Allah swt Q.S.AL-HAJJ:77 dan Q.S.Al-Ahzab:6
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ :الحج :55
Artinya:“perbuatlah oleh kamu kebaikan, semoga kamu dapat kemenangan.”
إِلَّا أَن تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُم مَّعْرُوفًا : الأحزاب : 4
Artinya:“kecuali kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara kalian (seagama)”.
Hubungannya kedua ayat Al-quran diatas dengan Wakaf yaitu: ayat yang pertama tentang kebaikan, maksudnya wakaf itu sendiri termasuk salah satu dari perbuatan-perbuatan baik yang memang dianjurkan oleh Allah SWT kepada manusia.
Sedangkan ayat yang kedua yaitu dianjurkannya berbuat baik terhadap saudara kita yang seagama, karena Wakaf itu sendiri dalam Islam ditujukan untuk kaum muslimin demi kemaslahatan mereka sendiri, bukan yang lain.
Dan pula berdasarkan dalil Hadits Nabi SAW .
عَنْ أبِى هُرَيْرَةَ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ قاَ لَ : إ ذا مَا تَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَ ثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ, أوْعِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ, أوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda : “Apabila mati anak Adam, putuslah amalnya, kecuali tiga (perkara): shadaqah jariyah, atau ilmu yang dimanfatkannya, atau anak shalih yang mendoakannya”. HR.Muslim.
Hubungannya hadits diatas dengan wakaf yaitu tentang shadaqah jariyah. Diantara shadaqah jariyah ialah mewakafkan rumah, tanah, mesjid, dan lain sebagainya.
BAB III
KEUTAMAAN WAKAF
Wakaf adalah juga salah satu perbuatan atau amal ibadah yang dianjurkan oleh Allah SWT selain ibadah-ibadah yang lainnya.Walaupun pada mulanya pada masa jahiliyah sebelum Islam datang, orang-orang jahiliyah tidak mengenal wakaf; akan tetapi wakaf itu diciptakan dan diserukan oleh Rasulullah saw karena kecintaan beliau kepada orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan.
Selain itu pula Wakaf memiliki nilai positif yang lebih tinggi atau memiliki keutamaan yang besar dibanding yang lainnya. Karena Wakaf bukan sekedar seperti berderma (sedekah) biasa, tapi lebih besar ganjaran dan manfaatnnya terhadap diri yang berwakaf sendiri, karena ganjaran wakaf itu terus menerus selama barang wakaf itu masih berguna. Sebagaimana sabda Nabi saw yang berbunyi :
عَنْ أبِى هُرَيْرَةَ أنَّ النّبِيَّ , قاَ لَ : إذا مَا تَ اْلإنْساَ نُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَ ثَةِ أشْيَاءَ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ, أوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, أوْوَلَدٍ صَا لِحٍ يَدْعُو لَهُ. ( رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلاَّ الْبُخَارِيُّ وَا بْنُ مَا جَهٍ ).
Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: “Apa bila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal, yaitu: shadaqah jariyah,ilmu yang dapat dimanfaatkannya atau anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).
Dengan hadits tersebut teranglah bagi kita bahwa wakaf adalah termasuk dari shadaqah jariyah yang mana pahalanya tidak akan terputus, mengalir terus menerus bagi orang yang berwakaf tersebut sampai hari kiamat nanti. Juga terhadap masyarakat dapat menjadi jalan untuk kemajuan yang seluas-luasnya dan dapat menghambat arus kerusakan. Lihatlah negeri-negeri Islam zaman dulu, seperti zaman keemasan Islam di Baghdad Irak atau di Cordoba Spanyol, karena adanya Wakaf, umat Islam dapat maju dan berkembang pesat. Malahan sampai sekarang telah beratus-ratus bahkan beribu tahun masih juga kekal buah wakaf mereka itu. Kita di zaman serba tercecer ini masih dapat merasakan manis dan lezatnya buah wakaf mereka dahulu itu. Bahkan buah wakaf nenek-moyang kita dahulu itulah yang ada, juga dapat menghambat terus-menerus kemunduran umat Islam. Maka kalau sekiranya kaum muslimin yang kaya sekarang sanggup mewakafkan harta mereka seperti orang-orang Islam dahulu, kita percaya bahwa mereka berarti telah membuka satu jalan untuk kemajuan pembangunan, anak-anak cucu kita sedikit hari lagi akan memetik buahnya yang lezat.
BAB IV
RUKUN DAN SYARAT WAKAF
WAKAF juga memiliki beberapa Rukun dan Syarat, yaitu sebagai berikut :
RUKUN WAKAF:
1. Orang yang berwakaf, syaratnya:
a) Berhak berbuat kebaikan walau bukan Islam sekalipun.
b) Kehendak sendiri, tidak sah karena dipaksa.
2. Sesuatu yang diwakafkan, syaratnya:
a) Kekal zatnya; berarti bila diambil manfaatnya, zat barang tidak rusak.
b) Kepunyaan yang mewakafkan walaupun musya’(bercampur dan tidak dapat dipisahkan dari yang lain).
Sabda Rasulullah saw :
قاَ لَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ r إنَّ الْمِائَةَ السَّهْمَ الَّتِىْ لِيْ بِخَيْبَرَلَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ اَعْجَبَ إلَيَّ مِنْهَا قَدْ اَرَدْتُ اَنْ تَصَدَّقَ مِنْهَا فَقاَ لَ النَّبِيُّ r إحْبِسْ اَصْلَهَا وَسَبِّلْ ثَمْرَتَهَا. رواه النساء وابن ما جه.
Artinya: telah berkata ‘umar kepada Nabi saw : “Sesungguhnya saya mempunyai seratus saham di Khaibar, belum pernah saya mempunyai harta yang lebih saya kasihi daripada itu. Sesungguhnya saya bermaksud menyedekahkannya.”Jawab Nabi saw : “Engkau tahan asalnya, dan sedekahkanlah buahnya”.(HR.Nasai dan Ibnu Majah).
Seratus saham kepunyaan ‘Umar yang dalam hadits adalah musya’ , oleh karenanya hadits ini menjadi dalil sahnya Wakaf musya’.
3. Tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu).
Kalau berwakaf kepada orang yang tertentu, disyaratkan orang yang berhak menerima hasil waaf itu adalah orang yang berhak memilih sesuatu. Maka tidak sah berwakaf kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya, begitu juga kepada hamba sahaya.
Wakaf kepada umum :
Berwakaf kepada umum di jalan kebaikan adalah sah, malahan inilah yang lebih penting, seperti kepada fakir miskin, kepada Ulama, murid-murid, mesjid-mesjid, sekolah-sekolah, untuk membuat jalan, jembatan, benteng, dan lain-lain untuk kemaslahatan umum.
4. Lapaz, seperti saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin, atau saya wakafkan ini untuk membuat benteng, dan sebagainya. Kalau pada yang tertentu hendaklah ada qabul (jawab), tetapi wakaf untuk umum tidak disyaratkan qabul.
Catatan :
Rupa-rupa wakaf :
Wakaf yang terang sahnya, yaitu kepada orang yang telah ada dan terus-menerus tidak putus-putusnya. Adapun beberapa rupa walaf yang dibawah ini yaitu menjadi perselisihan antara beberapa ulama tentang sah atau tudaknya:
1. Putus awalnya; seperti kata seorang: “Saya wakafkan ini kepada anak-anak saya, kemudian kepada fakir mskin,” sedangkan dia tidak mempunyai anak. Ini tidak sah karena tidak diberikan sekarang.
2. Putus di tengah; umpamanya seorang berkata: “Saya wakafkan ini kepada anak-anakku, kepada seseorang dengan tidak ditentukan, kemudian kepada orang-orang miskin.” Ini atas kata yang kuat, sah. Diberikannya wakaf sesudah tingkatan pertama kepada tingkatan ketiga.
3. Putus akhirnya; umpamanya dia berkata: “Saya wakafkan ini kepada beberapa anak A,” dengan tidak diterangkan kepada siapa. Semacam ini sah juga menurut kata yang muktamad, sesudah habis anak dari A. Sebagian Ulama berpendapat diberikan buah wakaf kepada sehampir-hampir orang kepada yang berwakaf, karena sedekah kepada famili lebih utama, tetapi pendapat sebagian Ulama yang lain diberikan kepada fakir miskin.
SYARAT WAKAF :
1. Selama-lamanya, berarti tidak dibatasi dengan waktu. Maka jika seseorang berkata : “Saya wakafkan ini kepada fakir miskin dalam masa satu tahun”, wakaf semacam itu tidak sah karena tidak selamanya.
2. Tunai dan tidak ada khiyar syarat, karena wakaf berarti memindahkan milik pada waktu itu. Jika disyaratkan khiyar atau dia berkata : “Kalau si A datang, saya wakafkan ini kepada murid-murid”, wakaf semacam ini tidak sah karena tidak tunai. Kecuali itu kalau dihubungkan dengan mati, umpamanya dia berkata :”Saya wakafkan sawah saya sesudah saya mati kepada Ulama Jakarta”, lafaz ini sah menjadi wasiat bukan wakaf.
3. Hendaklah terang kepada siapa diwakafkan. Kalau dia berkata :”Saya wakafkan rumah ini”, tidak sah karena tidak terang kepada siapa diwakafkannya. Jika penerima wakaf telah ditentukan, maka harus orang yang berhak memiliki.Jadi tidak sah mewakafkan sesuatu kepada janin di kandungan, atau kepada budak. Jika penerima wakaf belum ditentukan maka pihak penerima wakaf harus bisa dijadikan sebagai tempat ibadah. Jadi tidak boleh mewakafkan sesuatu kepada gereja, atau sesuatu yang diharamkan.
4. Pewakaf harus mampu berderma, dalam arti ia berakal sempurna dan memiliki sesuatu yang akan diwakafkan.
5. Proses pewakafan harus dengan teks yang jelas sebagaimana layaknya wakaf.
6. Sesuatu yang diwakafkan harus merupakan sesuatu yang tetap ada setelah diambil hasilnya, misalnya rumah, tanah, dan lain sebagainya. Jika sesuatu tersebut habis dalam arti hanya bisa dimanfaatkan seperti makanan, parfum, dan lain sebagainya, maka tidak boleh diwakafkan dan tidak dinamakan wakaf, namun dinamakan sedekah.
Beberapa syarat dari orang yang berwakaf :
Apa bila wakaf sah, tempat berwakaf berhak mengambil hasilnya, baik manfaat seperti mendiami rumah, zat seperti buah pohon yang diwakafkan, atau susu hewan yang diwakafkan, sewa wakaf, dan sebagainya. Sungguhpun begitu, hendaklah diatur menurut aturan (syarat-syarat) dari yang berwakaf, sama atau tidaknya, yang terdahulu dan yang terkemudian. Umpamanya dia berkata :“Saya wakafkan ini kepada anak-anak saya untuk laki-laki dua kali bagian perempuan, penghasilan tahun yang pertama untuk perempuan dan penghasilan tahun yang kedua untuk laki-laki, anak saya yang miskin, atau yang sekolah tinggi, dan sebagainya”. Semua syarat itu wajib dijalankan. Umpamanya dia berkata :”Saya wakafkan ini kepada pengurus Muhammadiyah, kemudian kepada murid-murid”, wakaf diberikan kepada pengurus Muhammadiyah selama pengurus masih ada. Murid-murid tidak mendapatnya. Pendek kata, aturan yang berwakaf wajib dijalankan selama tidak melanggar hukum syara’.
Kalau tidak ada aturan (syarat) dari yang berwakaf atau tidak diketahui, hendaklah dibagi dengan seadil-adilnya, atau dengan perembukan antara beberapa orang yang berhak.
Contoh Teks Wakaf
Setelah basmalah dan memuji Allah swt;
“Si A bersaksi kepada si B bahwa si A mewakafkan sesuatu yang akan disebutkan nanti kepada si B, kemudian sesuatu tersebut menjadi milik si B,berada dalam pengelolaannya, dan kepemilikannya sejak tanggal keluarnya wakaf ini berdasarkan keputusan nomer sekian dan ia mendapatkan sesuatu tersebut dari warisan orang tuanya. Sesuatu yang diwakafkan tersebut ialah semua yang ada di tempat ini (tempatnya disebutkan) sebagai sebuah wakaf yang benar, syari’ dan terlindungi dalam arti tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan,tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh digadaikan, tidak boleh dimiliki, dan tidak boleh diganti kecuali dengan sesuatu yang sama dengannya jika manfaatnya telah habis dalam rangka mencari keridhaan Allah swt dan mengagungkan kehorkehormatan Allah swt. Wakaf tersebut tidak bisa dibatalkan oleh pergantian tahun justru menguatkannya dan pergantian abad itu juga meperkokohnya.
Pewakaf yaitu si Fulan –semoga Allah swt menjalankan kebaikan dengan kedua tangannya– mensyaratkan dalam wakafnya yaitu hendaknya pengolalanya memakmurkan seperempat wakaf, mengurusnya, dan memperbaikinya agar harta wakaf tetap utuh, keinginan pewakaf tercapai, hasilnya meningkat, dan sisanya untuk kemaslahatan-kemaslahatan lainnya yaitu ini dan itu (disebutkan dengan rinci). Ini berlaku sepanjang zamzn hingga Allah swt mewarisi bumi beserta segala isinya, karena Allah swt pewaris terbaik.
Jika pihak penerima harta wakaf ini tidak bisa mengambil hasilnya, maka diserahkan kepada orang-orang fakir, dan orang-orang miskin dari umat Nabi Muhammad saw.
Pewakaf yang namanya tersebut diatas mensyaratkan bahwa ia berhak mengawasi wakafnya dan mengelolanya sepanjang hidupnya. Ia sendirian mengelolanya tanpa siapapun, tidak ditentang siapapun, berhak memberi wasiat kepada seseorang untuk mengurusnya, menyerahkannya kepada siapa saja yang dikehendakinya misalnya anaknya yaitu si Fulan, atau orang yang paling pandai diantara anak-anaknya, atau cucu-cucunya, atau anak keturunannya. Jika mereka semua telah meninggal dunia dan tidak tersisa seorangpun maka pengurusannya diserahkan kepada si Fulan (namanya disebutkan).
Pewakaf yang namanya disebutkan diatas mensyaratkan bahwa harta wakafnya atau apa saja yang ada di dalamnya tidak boleh disewakan lebih dari setahun dan hendaknya penyewa tidak memasukkan satu akad ke dalam akad berikutnya(membuat akad baru padahal akad sebelumnya masih berlaku) hingga masa akad pertama habis dan sesuatu yang disewakan kembali kepada pengurus wakaf.
Pewakaf mengeluarkan wakafnya dari asset dan hartanya, kemudian menjadikan sebagai sedekah murni, abadi, dan berlangsung berdasarkan hukum yang dijelaskan sebelumnya.
Wakaf ini telah sah, hukumnya harus dilaksanakan, dan menjadi salah satu dari wakaf kaum muslimin. Jadi siapa pun tidak diperbolehkan membatalkan, mengubah, merusak atau meniadakannya baik itu dengan perintah, fatwa, pertimbangan, atau dengan tipu-muslihat. Pewakaf meminta bantuan Allah SWT terhadap orang yang bermaksud merusak atau mezhalimi wakafnya dan melawannya di sisi-Nya pada hari kemiskinan dan kehinaannya, yaitu hari dimana alas an tidak lagi berguna bagi orang-orang yang zhalim, mereka mendapatkan laknat, dan mendapatkan tempat kembali yang sangat buruk.
Pewakaf menerima ini semua dengan penerimaan yang syari’ dan bersaksi atas dirinya yang mulia dalam keadaan sehat, sukarela, dan tindakannya dibenarkan oleh syariat. Ini ditetapkan pada tanggal sekian.”
BAB V
MACAM-MACAM YANG MENERIMA WAKAF
Wakaf itu adakalanya untuk anak cucu atau kaum kerabat dan kemudian sesudah mereka itu untuk orang-orang fakir. Wakaf yang demikian ini dinamakan wakaf ahli atau wakaf dzurri(keluarga). Dan terkadang pada wakaf itu diperuntukkan bagi kebaikan semata-mata. Wakaf yang demikian itu dinamakan wakaf khairi(kebaikan).
Adapun macam-macam yang menerima wakaf yaitu:
1. Wakaf kepada Anak; termasuk di dalamnya wakaf terhadap anak-anak dari si anak.Barang siapa wakaf kepada anak-anaknya, maka termasuk ke dalamnya wakaf terhadap anak-anak dari anak-anaknya bila mereka berketururunan.Demikian pula terhadap anak-anak dari anak-anak perempuan.Dalilnya Hadits Nabi SAW:
عَنْ اَبِي مُوْسَى اْلاَشْعَرِيِِّّ قاَ لَ : قَا لَ رَسُوْلُ اللهِ : إبْنُ اُخْتِ الْقَوْمِ مِنْهُمْ.
Artinya : Dari Abu Musa Al-Asy’ari dia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw : ”Anak dari saudara perempuan suatu kaum itu termasuk kaum itu sendiri.”
2. Wakaf terhadap Ahli Dzimmah.
Diperbolehkan wakaf terhadap Ahli Dzimmah, seperti orang-orang Nasrani; sebagaimana diperbolehkannya sedekah kepada mereka.
Syafiyah binti Huyyi isteri Nabi saw, telah mewakafkan kepada saudaranya yang yahudi.
3. Wakaf untuk Umum.
Diperbolehkan wakaf untuk umum, sebab ‘Umar r.a. telah mewakafkan seratus anak panah di khaibar, sedang anak panah itu tidak dibagi-bagi. Yang demikian ini diriwayatkan di dalam kitab Al-Bahr dari Al-Hadi, Al-Qasim, Asy-Syafi’i, Abu Yusuf dan Malik.
Sebagian Ulama ada yang berpendapat tidak sahnya wakaf umum, karena diantara syarat wakaf itu adalah tertentu. Dan inilah pendapat Muhammad ibnul Hasan.
4. Wakaf kepada diri sendiri.
Diantara para Ulama ada yang berpendapat sahnya wakaf kepada diri sendiri, dengan alasan ucapan Rasulullah saw terhadap orang yang berkata :
عِنْدِيْ دِيْناَ رٌ. فَقاَ لَ لَهُ : تَصَدَّ قْ عَلىَ نَفْسِكَ.
Artinya : “Sesungguhnya aku mempunyai satu dinar. Maka kata Rasulullah SAW kepadanya : “Sedekahkanlah kepada diri sendiri.”1
Dan oleh sebab dari maksud wakaf itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Alah, sedang bertasharruf(menafkahi) kepada diri sendiri itu juga merupakan pendekatan kepada Allah SWT. Inilah pendapat Abu Hanifah, Ibnu Abu Laila, Abu Yusuf dan Ahmad di dalam pendapat yang terkuatnya, Ibnu Syaiban dari mazhab Syafi’i Ibnu Syabramah, Ibnu Shaba’ dan Al-Itrah. Bahkan sebagian mereka memperbolehkan wakaf orang yang dibatasi haknya karena dungunya bila dia berwakaf untuk dirinya kemudian untuk anak-anaknya; sebab pembatasan itu tidak lain untuk memelihara hartanya, dan wakafnya dengan cara yang demikian berarti mewujudkan pemeliharaan ini. Di antara mereka juga ada yang tidak memperbolehkan hal itu, sebab wakaf terhadap diri sendiri berarti pemilikan, sedang pemilikan wakaf dari dirinya untuk dirinya itu tidaklah sah, seperti halnya jual beli dan hibah dari dirinya untuk dirinya. Dan juga karena ucapan Rasulullah SAW :
سَبِّلِ الثَّمْرَةَ.
Artinya ;”Dan berikanlah buahnya kepada orang lain."2
Pengertian memberikan buah tersebut kepada orang lain berarti menyerahkan pemilikan kepadanya. Inilah pendapat Asy-Syafi’i, jumhur Maliki dan Hambali, Muhammad dan An-Nashir.
5. Wakaf mutlak. Bila orang mewakafkan dengan wakaf mutlak, dan tidak menentukan bagi siapa wakaf itu, seperti dia katakan:”rumah untuk wakaf“, yang demikian ini sah menurut Malik.
6. Wakaf pada waktu sakit yang mematikan.
Bila seorang yang menderita sakit yang mematikan berwakaf kepada seorang yang lain, maka wakafnya itu dianggap sepertiga hartanya seperti halnya wasiat, dan tidak tergantung kepada kerelaan ahli waris kcuali bila lebih dari sepertiga. Wakafnya yang melebihi sepertiga itu tidak sah kecuali atas izin ahli waris itu.
7. Wakaf di waktu sakit terhadap sebagian ahli waris.
Adapun wakaf kepada sebagian ahli waris di waktu sakit yang mematikan, maka : Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayatnya berpendapat bahwa wakaf terhadap sebagian ahli waris di waktu dalam keadaan sakit, tidak diperbolehkan. Selain Asy-Syafi’i dan riwayat dari Ahmad, berpendapat diperbolehkannya wakaf terhadap orang lain. Ketika ditanyakan kepada Imam Ahmad: Tidakkah engkau berpendapat bahwa tidak ada wasiat terhadap ahli waris? Maka Ahmad menjawab : ya. Sedang wakaf itu bukan wasiat, sebab wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan dan bukan menjadi milik bagi ahli waris yang memanfaatkannya.
Wakaf adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Apa bila pewakaf mensyaratkan apa yang tidak merupakan pendekatan kepada-Nya, seperti dia mensyaratkan bahwa wakafnya itu tidak akan diberikan kecuali kepada orang yang kaya, maka dalam hal ini para Ulama berselisih pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat diperbolehkan wakaf yang demikian itu, karena bukan perbuatan maksiat.
Di antara mereka ada pula yang melarangnya sebab syarat itu adalah syarat yang batil, karena diberikan kepada yang tidak bermanfaat bagi pewakaf dalam urusan dunianya atau agamanya. Ibnu Taimiyah memperkuat pendapat ini; katanya:”wakaf yang demikian ini termasuk berlebihan dan perbuatan mubazir yang dilarang.”
Dan karena Allah swt tidak suka bila harta itu hanya beredar di antara orang-orang kaya saja.
Firman Allah SWT :
كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأَغْنِيَاء مِنكُم.
Artinya : “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. (Q.S. AL-HASYR: 7).
Maka barang siapa yang mensyaratkan di dalam wakaf atau wasiatnya agar harta itu beredar hanya di kalangan orang-orang kaya, berarti dia mensyaratkann syarat yang bertentangan dengan kitab Allah swt. Dan barang siapa mensyaratkan syarat yang bertentangan dengan kitab Allah swt, maka syarat itu batil.Sekalipun ia mensyaratakan seratus syarat, maka kitab Allah swt lebih berhak syarat Allah swt itu lebih kuat.
Dan termasuk ke dalam bab ini, bila pewakaf atau pemberi wasiat mensyaratkan perbuatan-perbuatan yang tidak terdapat di dalam syariat, tidak wajib dan tidak pula sunat; maka syarat-syarat ini adalah syarat-syarat yang batil dan bertentangan dengan kitab Allah swt, sebab penetapan dari seorang manusia terhadap manusia lain mengenai apa yang bukan wajib dan bukan sunat lagi tidak bermanfaat baginya dalam itu; maka yang demikian ini adalah perbuatan yang dungu dan mubazir yang dilarang.
8. Wakaf Bukan Islam .
Wakaf Bukan Islam melibatkan isu pewakaf adalah bukan Islam di samping isu wakaf ditujukan kepada bukan Islam.
Secara umumnya mazhab fiqh yang empat mengharuskan wakaf daripada bukan Islam, karena orang Islam dan bukan Islam perlu melaksanakan hukum-hukum berkaitan dengan muamalat yang sama di dalam negara Islam, kecuali di dalam masalah tertentu di kalangan sebagian mazhab seperti hukum meminum arak dan memakan daging babi. Begitu juga wakaf kepada bukan Islam, mazhab fiqh yang empat mengharuskannya. Ini terutamanya berdasarkan dalil-dalil yang mengharuskan wakaf, telah diturunkan secara umum. Berdasarkan kaedah Usul Fiqh, nas yang umum harus dikekalkan di dalam keadaannya yang asal, kecuali ada dalil yang mengkhususkannya. Begitu juga bagi kebanyakan Ulama masa kini, mereka cenderung untuk mengharuskan wakaf kepada bukan Islam, terutama untuk tujuan dakwah bagi mendekatkan mereka kepada Islam. Ini sebenarnya maksud utama diturunkan Syariah itu sendiri yaitu memelihara agama. Oleh karena itu wakaf yang bersifat umum seperti rumah sakit, sekolah, rumah jompo dan yang seumpama dengannya boleh dimanfaatkan bukan saja oleh orang Islam tetapi oleh orang bukan Islam juga, dan ia tidak bertentangan dengan maqasid syariah.
Adapun jenis-jenis wakaf lainnya yang telah diketahui di antaranya ialah:
1. Ilmu yang disebarkannya.
2. Do’a anak shaleh yang ditinggalkannya/dididiknya.
3. Pohon kurma yang ditanamnya.
4. Shadaqah Jariyahnya.
5. Mushaf yang diwariskannya.
6. Tempat berlindung yang dibangunnya.
7. Sumur yang digalinya.
8. Sungai yang dialirkannya.
9. Tempat penampungan orang bepergian yang didirikannya.
10. Tempat beribadah yang disediakannya/dibangunnya.
Rasulullah SAW dan para sahabat beliau juga telah mewakafkan mesjid, tanah, sumur, kebun dan kuda. Dan orang-orang Islam pun terus mewakafkan harta benda mereka hingga sekarang ini.
Dalil-dalilnya yaitu ada beberapa hadits yang menjelaskan beberapa contoh wakaf di masa Rasulullah SAW yaitu sebagai berikut :
عَنْ اَنَسٍ قاَ لَ : لَمَّا قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ اْلمَدِيْنَةَ وَأمَرَبِبِنَاءِ اْلمَسْجِدِ قاَ لَ : يَا بَنِى النَّجَّا رِ تَأْمَنُوْنِيْ بِحَا ئِطِكُمْ هَذا ؟ فَقاَ لُوْا : وَاللهِ لاَ نَطْلُبُ ثَمَنَهُ إلاَّ إلىَ اللهِ تَعَا لىَ . اَ ىْ فَاَخَذَهُ فَبَنَا هُ مَسْجِدًا.
Artinya : Dari Anas r.a, dia berkata : ketika Rasulullah SAW datang ke Madinah dan memerintahkan untuk membangun mesjid, beliau berkata : “Wahai Bani Najar, apakah kamu hendak menjual kebun ini?” Mereka menjawab : “Demi Allah, kami tidak meminta harganya kecuali kepada Allah Ta’ala”. Maksudnya agar Rasulullah SAW mengambilnya dan menjadikannya mesjid .
وَعَنْ عُثْمَانَ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ قاَ لَ : مَنْ حَفَرَ بِئْرَ رَوْمَةٍ فَلَهُ اْلجَنَّةُ, قاَ لَ : فَحَفَرْتُهَا.وَفِيْ رِوَايَةٍ ِللْبَغَوِيِّ:أنَّهَا كَا نَتْ لِرَجُلٍ مِنْ بَنِى غِفَّا رٍعَيْنٌ يُقاَ لُ لَهَا رَوْمَةٌ وَكَانَ يَبِيْعُ مِنْهَا اْلقُرْبَةُ بِمُدٍّّ, فَقاَ لَ لَهُ النَّبيُّ : تَبِيْعُنِيْهَا بِعَيْنٍ فِى اْلجَنَّةِ؟ قاَ لَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ لَيْسَ لِيْ وَلاَ لِعِيَالِيْ غَيْرُهَا.فَبَلَغَ ذََالِكَ عُثْمَانَ فَاشْتَرَاهاَ بِخَمْسَةٍ وَثَلاَ ثِيْنَ ألْفِ دِرْهَمٍ, ثُمَّ أتَى النَّبِيَّ فَقاَ لَ: أتَجْعَلُ لِيْ مَا جَعَلْتَ لَهُ؟ قاَ لَ : نَعَمْ.قاَ لَ: قَدْ جَعَلْتُهَا لِلْمُسْلِمِيْنَ.
Artinya : Dari Utsman r.a, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda :”Barang siapa menggali sumur Raumah, maka baginya surga.” Utsman berkata ; “maka sumur itu pun aku gali."
Dan dalam satu riwayat Al-Baghawi : bahwa seorang lelaki dari Bani Ghifar mempunyai sebuah mata air yang dinamakan Raumah, sedang dia menjual satu kaleng dari airnya dengan harga satu mud. Maka kata Rasulullah saw kepadanya: “Maukah engkau menjualnya kepadaku dengan satu mata air di dalam surga?” Orang itu menjawab: “Wahai Rasulullah aku dan keluargaku tidak mempunyai apa-apa selain itu.” Berita itu pun sampailah kepada Utsman. Lalu Utsman membelinya dengan harga tiga puluh lima ribu dirham. Kemudian datanglah Utsman kepada Nabi saw, lalu katanya : “ Maukah engkau menjadikan bagiku seperti apa yang hendak engkau jadikan baginya (pemilik sumur itu)?” Beliau menjawab :”ya.” Utsman pun berkata : “Aku telah menjadikan sumur itu wakaf bagi kaum muslimin.”
عَنْ سَعْدِبْنِِ عُبَا دَةَ قاَ لَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّ أُمََّّ سَعْدٍ مَا تَتْ : فَأ يُّ الصَّدَقَةِ أفْضَلُ؟: اْلمَاءُ, فَحَفَرَ بِئْرًا وَقاَ لَ : هَذِهِ لِأُمِّ سَعْدٍ.
Artinya : Dari sa’d bin ubadah r.a bahwa di telah bertanya kepada Rasulullah SAW : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ummu sa’d telah mati; maka apakah sedekah yang paling banyak pahalanya?” Beliau menjawab:”air” Kemudian sa’d menggali sumur, dan katanya: “Sumur ini adalah bagi Ummu Sa’d .”
وَعَنْ أنَسٍ قاَ لَ : كاَ نَ أبُوْ طَلْحَةَ أكْثَرأنْصَا رِيٍّ بِالْمَدِيْنَةِ مَا لاً, وَكاَ نَ أحَبُّ أمْوَالِهِ بَيْرَحَاءَ,وَكاَ نَتْ مُسْتَقْبِلَةَ اْلمَسْجِدِ, وَكاَ نَ رَسُوْلُ اللهِ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيْهَا طَيِّبٌ. فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ اْلآيَةُ اْلكَرِيْمَةُ : لَنْ تَنَا لُوااْلبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّّا تُحِبُّوْنَ,قاَمَ أبُوْطَلْحَةَ إٍلَى رَسُوْلِ اللهِ فَقاَلَ : إنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ فِيْ كِتَا بِهِ " لَنْ تَنَا لُوااْلبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّّا تُحِبُّوْنَ". وَإنَّ أحَبَّ أمْوَالِيْ بَيْرَحَاءُ وَإنَّهَا صَدَقَةٌ لِلّهِ أرْجُوْا بِِرَّهَا وَذُخْرُهَا عِنْدَ اللهِ فَضَعْهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ حَيْثُ شِئْتَ. فَقاَ لَ رَسُوْلُ اللهِ: بَخٍ,ذَالِكَ مَا لٌ رَابِحٌ, قَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ فِيَْهَا,وَإنِّيْ أرَى أنْ تَجْعَلَهَا فِى اْلأقْرَبِيْنَ فَقَسَمَهَا أبُوْطَلْحَةَ فِيْ أقَارِبِهِ وَبَنِى عَمِّهِ.
Artinya: Dari Anas r.a, dia berkata: Adalah Abu Thalhah seorang Anshari yang paling banyak hartanya di Madinah;dan adalah harta yang paling dia senangi itu Bairaha , Bairaha ini menghadap ke mesjid. Dan Rasulullah saw sering memasukinya dan meminum air yang segar di dalamnya, maka ketika diturunkan ayat ini : لََنْ تَنَا لُوا اْلبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْن yang artinya : “Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai” .Maka pergilah Abu Thalhah kepada Rasulullah SAW, kata dia:”sesungguhnya Allah swt berfirman di dalam kitab-Nya :”Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”Sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairaha. Dan Bairaha itu aku sedekahkan karena Allah yang aku harapkan kebaikannya dan simpanannya di sisi Allah SWT ; maka tentukanlah sedekah itu sebagaimana engkau sukai wahai Rasulullah.“Rasulullah SAW berkata : “bukan main, itulah harta yang menguntungkan. Aku telah mendengar apa yang engkau katakana mengenai Bairaha itu. Sesungguhnya aku berpendapat agar engkau menjadikannya sebagai sedekah bagi kaum kerabat.” Lalu Abu Thalhah menjadikannya sebagai wakaf bagi kaum kerabatnya dan anak pamannya .
عَنِِِ بْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قاَ لَ : أصَا بَ عُمَرُ أرْضاً بِخَيْبَرَ فَأتَى النَّبِيَّ يَسْتَأْمِرُهُ فِيْهَا ,فَقاَ لَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إنِّيْ أصَبْتُ أرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ ماَ لاً قَطُّ هُوَ أنْفَسُ عِنْدِيْ مِنْهُ. فَمَا تَأْمُرُنِيْ بِهِ؟ فَقاَ لَ رَسُوْلُ اللهِ : إنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أصْلًهَا وَتَصَدَّ قْتَ بِهَا. فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ: أنَّهَا لاَتُبَاعُ وَلاَتُوْهَبُ وَلاَتُوْرَثُ؟ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِى اْلفُقَرَآءِ وَفِى اْلقُرْبَى وَفِى الرِّقاَ بِ وَفِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَا حَ عَلىَ مَنْ وَلِيَهَا أنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوْفِ وَيَطْعَمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ.
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a, dia berkata : umar telah mendapatkan sebidang tanah di khaibar. Lalu dia datang kepada Nabi SAW untuk minta pertimbangan tentang tanah itu, maka katanya : “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendaptkan sebidang tanah di khaibar, di mana aku tidak mendapatkan harta yng lebih berharga bagiku selain daripadanya; maka apakah yang hendak engkau perintahkan kepadaku sehubungan dengannya?” Maka kata Rasulullah saw kepadanya :”Jika engkau suka, tahanlah tanah itu, dan engkau sedekahkan manfaatnya,” maka Umar pun menyedekahkan manfaatnya, dengan syarat tanah itu tidak akan dijual, tidak diberikan dan tidak diwariskan. Tanah itu dia wakafkan kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, memerdekakan hamba sahaya, sabilillah, ibnus-sabil dan tamu. Dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf, dan memakannya tanpa menganggap tanah itu miliknya sendiri.
Berkata At-Tirmidzi :
Hadits ini diamalkan oleh ahli ilmu dari para sahabat Nabi SAW dan orang-orang selain mereka. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari seorang pun di antara orang-orang terdahulu diantara mereka.
Hal tersebut adalah wakaf pertama di dalam Islam.
رَوَى أَحْمَدُ وَاْلبُخَا رِيُّ عَنْ أبِى هُرَيْرَةَ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ قاَ لَ: مَنِ احْتَبَسَ فَرَسًا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ إيْمَا نًا وَاحْتِسَا بًا فَإنَّ شَعْبَهُ وَرَوْثَهُ وَبَوْلَهُ فِيْ مِيْزَانِهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ حَسَنَا تٌ .
Artinya: Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bukhari, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda :”Barang siapa mewakafkan seekor kuda di jalan Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka makanannya, tahinya dan kencingnya itu menjadi amal kebaikan pada timbangan di hari kiamat.”
وَفِيْ حَدِيْثِ خَا لِدِبْنِ اْلوَلِيْدِ أنَّ رَسُوْلَ اللهِ قاَ لَ: أمَّا خَا لِدٌ فَقَدِ احْتَبَسَ أدْرَاعَهُ وَأعْتاَ دَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.
Artinya : Di dalam hadits Khalid bin Walid, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Adapun Khalid, maka dia telah mewakafkan baju-baju perangnya dan peralatan perangnya di jalan Allah SWT.”
BAB VI
PENGESAHAN DAN PENETAPAN TERJADINYA WAKAF
Wakaf itu sah dan terjadi melalui salah satu dari dua perkara :
1. Perbuatan yang menunjukkan padanya; seperti bila seseorang membangun Mesjid, dan dikumandngkan adzan untuk shalat di dalamnya, dan dia tidak memerlukan keputusan dari seorang hakim.
2. Ucapan ; ucapan ini ada 2 (dua), yang sharih(tegas) dan kinayah(tersembunyi).
Yang sharih, misalnya ucapan seseorang yang mewakafkan : “aku sedekahkan,” “aku hentikan pemanfaatannya,” “aku jadikan untuk sabilillah,” “aku abadikan”. Sedangkan yang kinayah, seperti ucapan orang yang mewakafkan : “aku sedekahkan,” akan tetapi dia berniat mewakafkannya.
Adapun wakaf yang dihubungkan dengan kematian, seperti kata seseorang :“Rumahku atau kudaku menjadi wakaf seudah aku mati,” maka hal itu diperbolehkan menurut zhahirnya mazhab Ahmad, seperti disebutkan oleh Al-Khiraqi dan lain-lain. Sebab ini semuanya termasuk ke dalam wasiat, maka oleh karena itulah ta’liq kematian untuk wakaf diperbolehkan sebab wakaf adalah wasiat.
Bila seseorang yang berwakaf itu berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada wakaf atau mengucapkan kata-kata wakaf, maka tetaplah wakaf itu, dengan syarat orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. Untuk terjadinya wakaf ini tidak diperlukan penerimaan dari yang diwakafi.
Apabila wakaf itu telah terjadi, maka tidak boleh dijual, dihibahkan dan diperlakukan dengan sesuatu yang menghilangakan kewakafannya. Bila orang yang berwakaf mati, maka wakaf tidak diwariskan, sebab yang demikian inilah yang dikehendaki oleh wakaf, dan karena ucapan Rasulullah saw seperti yang disebutkan dalam hadits Ibnu Umar :
لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوْهَبُ وَلاَ يُوَْث.
Artinya : “Tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan.”
Abu Hanifah berpendapat bahwa wakaf boleh dijual. Abu Yusuf berkata : seandainya hadits ini sampai kepada Abu Hanifah, tentulah dia berpendapat seperti yang dikatakan oleh hadits.
Pendapat yang kuat dari Mazhab Syafi’i ialah bahwa milik yang ada pada orang yang diberi wakaf itu berpindah kepada Allah’Azza wa Jalla, maka ia bukanlah milik orang yang berwakaf dn bukan pula milik orang yang diberi wakaf.
Apa-apa yang sah dan tidak sah untuk diwakafkan :
Yang sah untuk diwakafkan diantaranya ialah tanah, perabot yang bisa dipindahkan, mushaf, kitab, senjata dan binatang.
Demikian pula sah untuk diwakafkan apa-apa yang boleh diperjual belikan dan boleh dimanfaatkan dan tetap utuhnya barang. Yang demikian ini telah kami kemukakan. Dan tidak sah mewakafkan apa yang rusak seperti bau-bauan dari tumbuh-tumbuhan aromatic, sebab ia cepat rusak. Tidak diperbolehkan pula mewakafkan apa yang tidak boleh diperjual belikan seperti barang tanggungan(borg), anjing, babi, dan binatang-binatang buas lainnya yang tidak dijadikan sebagai hewan pelacak buruan.
Tidak sah wakaf kecuali kepada orang yang dikenal, seperti anak, kerabat, dan orang tertentu; atau untuk kebaikan seperti membangun Mesjid, jembatan, kitab-kitab fiqih, ilmu dan Al-Quran.
Apa bila wakaf kepada orang yang tidak tertentu, seperti kepada seorang lelaki dan seorang perempuan; atau untuk maksiat, seperti wakaf untuk gereja dan biara, maka yang demikian ini tidak sah.
BAB VII
PEMBIAYAAN WAKAF DAN MENJUAL HASIL WAKAF
Diperbolehkan bagi orang yang mengurusi urusan Wakaf untuk memakan sebagian dari hasil wakaf itu, karena hadits Ibnu Umar yang telah disebutkan sebelumnya, yang di dalamnya terdapat ;
لاَ جُنَا حَ عَلىَ مَنْ وَلِيَهَا أنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِا ْلمَعْرُوْفِ.
Artinya:“Dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian dengan cara yang ma’ruf.”
Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah kadar yang biasanya berlaku. Berkata Al-Qurtubi :
Telah terbiasa bahwa pengurus itu memakan sebagian dari hasil wakaf; sehingga seandainya pewakaf mensyaratkannya agar pengurus tidak memakan sebagian darinya tentulah tidak akan diterima persyaratannya ini.
Adapun mengenai menjual wakaf, yaitu sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa wakaf itu hanya untuk diambil manfaatnya, barang asalnya tetap, tidak boleh dijual, diberikan, atau dipusakakan. Sekarang kalau sekiranya wakaf itu tidak ada manfaatnya atau kurang manfaatnya kecuali dengan dijual, bolehkah dijual? Menurut kata yang sah, tidak ada halangan menjual tikar mesjid yang sudah tidak pantas dipakai lagi, agar jangan tersia-sia, hasilnya digunakan untuk kemaslahatan mesjid.
Dalam Mazhab Ahmad ibnu Hambal, apabila manfaat wakaf tak dapat dipergunakan, wakaf itu boleh dijual, dan uangnya dibelikan pada gantinya. Begitu juga mengganti mesjid atau mengubahnya. Juga memindahkan mesjid dari satu kampung ke kampung yang lain, atau dijual, uangnya untuk mendirikan mesjid di kampung yang lain kalau kampung yang lama tidak berkehendak lagi pada mesjid, karena sudah roboh umpamanya; hal demikian kalau dipandang sebagai kemaslahatan. Beliau mengambil alasan dengan perbuatan Umar bin Khaththab yang telah mengganti mesjid kufah yang lama dengan mesjid yang baru, juga tempatnya beliau pindahkan sehingga tempat mesjid yang lama menjadi pasar.
Kata Ibnu Taimiyah : “Sesungguhnya yang menjadi pokok di sini, yaitu guna menjaga kemaslahatan. Allah swt menyuruh kita menjalankan kemaslahatan dan melenyapkan segala kerusakan.”
Firman Allah SWT :
.وَقَالَ مُوسَى لأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلاَ تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِين
Artinya : Kata Nabi Musa a.s. kepada saudaranya, Harun: “Hendaklah engkau gantikan saya untuk menjaga kaum saya, dan jalanknlah kemaslahatan untuk mereka, dan janganlah sekali-kali engkau mengikuti jalan orang-orang yang merysak.”(Q.S. Al-A’raf:142).
FirmanAllah SWT :
إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ الإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ .
Artinya : Kata Nabi Syua’aib a.s. : “Saya tidak menghendaki sesuatu pun selain kemaslahatan sekedar kuasaku.”(Q.S. HUD:88).
Firman Allah SWT :
فَمَنِ اتَّقَى وَأَصْلَحَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ.
Artinya : “Orang yang takwa kepada Allah dan mengerjakan kemaslahatan tidak usah merasa takut kepada apa pun, dan tak usah rusuh atau susah.”(Al-A’raf :35).
Sampai disini keterangan Syekh Ibnu Taimiyah yang kita kutip dari Kitab Mu’inul-Mubin karangan Abd. Hamid Hakim .
Demikian juga pendapat beliau mengatakan bahwa tanah wakaf yang keuntungannya melebihi dari kebutuhan pemeliharannya, dipergunakan untuk tujuan seperti pewakafannya. Misalnya: untuk keperluan mesjid, apabila keuntungan wakafnya tersisa melebihi kebutuhannya, maka keuntungan itu dipindahkan untuk keperluan mesjid lain, sebab pewakaf menghendaki pada jenis yang sama. Jenis yang sama itu satu. Jadi seandainya mesjid pertama telah rusak dan tidak lagi dimanfaatkan, maka keuntungan wakafnya itu dipindahkan kepada mesjid lain. Demikian pula apabila terdapat sedikit sisa dari keperluan mesjid itu, maka sisa ini tidak dipergunakan, melainkan digunakan untuk maksud yang sejenis, inilah yang lebih utama. Dan itulah cara yang paling dekat kepada maksud dari pewakaf.
Dan berkata pula beliau Ibnu Taimiyah dalam hal lain yaitu; adapun mengganti apa yang dinadzarkan dan diwakafkan dengan yang lebih baik darinya, seperti dalam penggantian hadiah, maka yang demikian ini ada 2(dua) macam :
Pertama: Penggantian karena kebutuhan, misalnya karena macet, maka ia dijual dan harganya dipergunakan untuk membeli apa yang dapat menggantikannya. Apabila tidak mungkin lagi memanfaatkan wakaf menurut maksud pewakaf, maka ia dijual dan harganya dipergunakan untuk membeli apa yang dapat menggantikannya. Bila Mesjid rusak dan tidak mungkin diramaikan lagi, maka tanahnya dijual dan harganya dipergunakan untuk membeli apa yang dapat menggantikannya. Ini semua diperbolehkan, karena bila yang pokok(asal) tidak dapat untuk mencapai maksud, maka digantikan oleh yang lainnya.
Kedua : Penggantian karena kepentingan yang lebih kuat. Misalnya menggantikan hadiah dengan apa yang lebih baik darinya. Dan Mesjid, bila dibangun mesjid lain sebagai gantinya, yang lebih layak lagi bagi penduduk kampung, maka Mesjid yang pertama itu dijual. Hal ini dan yang serupa dengannya diperbolehkan menurut Ahmad dan Ulama-ulama lainnya.
Ahmad berdalil bahwa Umar bin Khattab r.a. memindahkan Mesjid Kufah yang lama ke tempat yang baru, dan tempat yang lama itu dijadikan pasar bagi penjual-penjual tamar. Ini adalah pengantian tanah mesjid. Adapun penggantian bangunannya dengan bangunan lain, maka Umar dan Utsman r.a. pernah membangun Mesjid Nabawi tanpa menurut bangunan pertama dan dengan diberi tambahan.Demikian pula Mesjidil haram, seperti termuat di dalam kedua kitab hadits shahih, bahwa Nabi SAW berkata kepada Aisyah :
لَوْلاَ أنَّ قَوْمَكَ حَدِيْثُ عَهْدٍ بِجَا هِلِيَّةٍ لَنَفَضْتُ اْلكَعْبَةَ, وَلَألْصَقْتُهَا بِاْلأرْضِ وَلَجَعَلْتُ لَهَا بَا بَيْنِ بَابًا يَدْخُلُ النَّا سَ مِنْهُ, وَبَابًا يَخْرُجُ النَّا سُ مِنْهُ.
Artinya:”Seandainya kaummu itu bukan masih dekat dengan kejahiliyahan, tentula Ka’bah itu akan aku runtuhkan, dan aku jadikan dalam bentuk rendah, serta aku jadikan baginya dua pintu; satu untuk masuk dan satu untuk keluar.”
Seandainya ada alasan yang kuat tentulah Nabi SAW mengubah bangunan Ka’bah. Oleh sebab itu maka diperbolehkan mengubah bangunan wakaf dari satu bentuk ke bentuk lainnya demi maslahat yang mendesak. Adapun menganti tanah dengan tanah lain, maka telah digariskan oleh Ahmad dan lain-lain tentang kebolehannya, karena mengikuti sahabat-sahabat Rasulullah SAW, di mana Umar r.a melakukannya, dan peristiwa itu pun amat masyhur, tidak ada orang yang mengingkarinya.
Adapun apa yang diwakafkan untuk diprodusikan, apabila diganti dengan yang lebih baik, seperti wakaf rumah, kedai, kebun, kampung yang produksinya kecil, maka ia diganti apa yang lebih bermanfaat bagi wakaf itu. Yang demikian itu diperbolehkan oleh Abu Tsaur dan Ulama-ulama lainnya, seperti Abu ‘Ubaid bin Harbawaih hakim Mesir yang memutuskan seperti itu. Hal itu merupakan kias dari ucapan Ahmad tentang pemindahan mesjid dari satu tanah ke tanah yang lain karena adanya maslahat. Bahkan apabila diperbolehkan mengantikan satu mesjid dengan yang bukan mesjid karena suatu maslahat, sehingga mesjid dijadikan pasar, maka hal itu disebabkan karena bolehnya menggantikan suatu obyek dengan obyek lain yang lebih utama dan layak. Yang demikian juga merupakan kias terhadap pendapat Ahmad tentang penggantian hadiah dengan yang lebih baik darinya. Ahmad telah menggariskan bahwa mesjid yang bercokol di suatu tanah apabila mereka mengangkatnya dan membangun di bawahnya pengairan, sedang orang-orang yang tinggal berdampingan dengan mesjid itu menyetujuinya; maka hal itu pun dapat dilakukan.
Di dalam hal ini jika kita melihat kepada maksud disyariatkan, tidak dapat dinafikan penukaran harta wakaf dengan cara menjual dalam bentuk badal (ganti) untuk membeli harta yang lain yang lebih secara ekonomi adalah suatu yang selaras dengan maksud atau kehendak Ilahi selama mana adanya maslahat atau kebaikan kepada semua pihak. Biarpun ada berbagai garis panduan yang telah digariskan oleh para Ulama berbagai mazhab tetapi kesemua ini menjurus kepada persoalan sejauh mana ia mencapai maslahat yang dikehendaki daripada pensyariatan wakaf. Sebagai contoh untuk membolehkan wakaf ditukar ganti, mazhab Hambali hanya mensyaratkan wujudnya hajat atau keperluan penukaran tersebut.
Sedangkan Mazhab Hanafi mensyaratkan enam syarat, antara lain harta asal yang wakafkan telah tidak dapat dimanfaatkan dan ia hendaklah diganti dengan harta tanah bukan uang. Walau apapun, yang jelas ia adalah masalah berasaskan ijtihad, setiap masalah perlu diteliti, dan hukum sesuatu maslahah mungkin berbeda dengan maslahah yang lain .
Akan tetapi diantara sahabat-sahabatnya beliau(Ahmad) ada yang melarang menggantikan mesjid, hadiah dan tanah yang diwakafkan. Inilah pendapat Asy-Syafi’i dan lain-lain. Akan tetapi nash-nash, atsar-atsar dan kias mengehendaki kebolehan menggantikannya karena suatu maslahat. Wallahu A’lam.
BAB VIII
HUKUM MERUGIKAN AHLI WARIS DALAM WAKAF
Seseorang diharamkan untuk memberikan wakaf yang merugikan ahli waris, karena hadits Rasulullah SAW :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَا رَ فِى اْلإسْلا مِ.
Artinya: “Tidak ada yang dirugikan dan tidak ada pula yang merugikan di dalam Islam.”
Maka bila seseorang mewakafkan hartanya dengan merugikan ahli waris, maka wakafnya batal. Dikatakan di dalam kitab Ar-Raudhah An-Nadiyyah:
Walhasil, wakaf yang dimaksudkan untuk memutuskan apa-apa yang diperintahkan Allah swt untuk disambung, dan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah ‘Azza wa Jalla itu batil dari segi asalnya dan tidak sah sama sekali. Contohnya, seperti orang yang mewakafkan kepada anak-anaknya yang lelaki dan tidak mewkafkan kepada anak-anaknya yang perempuan, dan yang serupa dengan itu. Orang ini tentu tidak ingin mendekat kepada Allah swt, bahkan dia ingin menentang hukuhm-hukum Allah swt dan memusuhi apa yang disyariatkan Allah kepada para hamba-Nya. Dan wakaf thaghut (setan) ini dia gunakan sebagai alat untuk mencapai maksud setan. Yang demikian ini perlu anda perhatikan, karena hal ini sering terjadi di zaman kita ini.
Demikianlah, telah berwakaf orang yang tidak terdorong untuk berwakaf kecuali oleh keinginan untuk melanggengkan harta diantara keluarganya dan agar wakaf tidak keluar dari milik mereka, lalu dia berwakaf kepada keluarganya. Orang yang demikian ini sebenarnya hendak menentang hukum Allah SWT, yaitu perpindahan milik dari pewarisan dan penyerahan milik itu kepada ahli waris untuk diperlakukan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Masalah kaya atau miskinnya ahli waris itu bukanlah masalah orang yang berwakaf, akan tetapi ia adalah masalah Allah swt. Memang terkadan sekalipun itu jarang terjadi, wakaf kepada keluarga ini ada pula kebaikannya sesuai dengan keanekaragaman pribadi mereka. Maka hendaklah diperhatikan baik-baik oleh pengawas perwakafan sebab-sebab yang menyampaikan pada maksud itu.
Dan di antara apa yang jarang terjadi itu adalah bila orang berwakaf kepada siapa yang saleh di antara keluarganya, atau yang sibuk menuntut ilmu. Wakaf yang demikian mungkin maksudnya ikhlas, pendekatannya kepada Allah SWT terwujud, dan amalnya disertai dengan niat baik. Akan tetapi menyerahkan perkara ini kepada hukum Allah SWT dan di antara hamba-hamba-Nya dengan mengharapkan keridhaan-Nya, itu lebih utama dan lebih layak.
BAB IX
PENUTUP
A
lhamdulillah, akhirnya selesailah tugas penulisan ini sebagai tugas akhir semester lima.
Kita memohon kepada Allah SWT, kiranya memberikan kita semua rasa hubb(cinta) kepada-Nya, sehingga Dia memberikan kita semua rasa cinta untuk melakukan perintah-perintah-Nya khususnya yang berkaitan dengan Ihsan(berbuat baik) terhadap sesama sehingga kita dapat lebih mementingkan urusan orang lain/bersama daripada urusan pribadi dan semoga kita bisa mencapai tangga kepada Iitsar(lebih mengutamakan orang lain) dan mengikis habis penyakit-penyakit kikir di dalam jiwa-jiwa dan pribadi-pribadi kita semua sampai kita mendapatkan keberuntungan di dunia dan akherat sesuai dengan firman Allah SWT :
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون.
Artinya :“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulahorang-orang yang beruntung.” (Q.S. ALHASYR: 9).
Wakaf disyariatkan berdasarkan nash-nash As-Sunnah, begitu juga berdasarkan nash-nash Al-Quran yang umumnya menyuruh untuk menggalakkan kebaikan dan berbuat kebajikan. Wakaf telah memberi sumbangan yang bermakna kepada sosial ekonomi umat Islam sejak dari kemunculan negara Islam yang pertama dulu hingga sekarang ini. Oleh karena itu wakaf harus dikembangkan lagi bagi menjamin kebersamaan umat, dan supaya maksud atau objektifitas pensyariatannya tercapai. Masyarakat perlu komitmen dalam melaksanakan ibadah wakaf. Jika semua masyarakat Islam komitmen dengan masalah wakaf, maka banyak masalah sosial-ekonomi ummat dapat diatasi. Soal-soal hukum dalam wakaf boleh diselesaikan dengan mengamati maqasid syariah di dalam pensyariatannya. Ini karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wakaf, kebanyakannya jika tidak kesemuanya adalah berdasarkan kepada ijtihad.
Semoga Allah SWT mengampuni kelalaian dan dosa kita, mencukupkan rezeki kita yang walaupun adanya sedikit dan pas-pasan yang penting barakah dan bermanfaat buat diri sendiri maupun orang lain sehingga kita tidak bakhil/kikir dan pula tidak tamak terhadap apa-apa yang dimiliki orang lain, serta mencukupkan kita dengan anugrah-Nya. Dan semoga amal ibadah yang telah kita lakukan walaupun sedikit dapat diterima oleh Allah SWT dan akan menjadi saksi dan bekal kita di akherat nanti serta akan menjadi simpanan pundi-pundi amal baik kita di sisi-Nya. Amin ya Rabbal ‘Aalamin.
Aku berlindung kepada Allah SWT dari godaan Syetan yang terkutuk dan dari godaan hawa nafsu yang selalu cenderung kepada keburukan dan kepada maksiat di jalan-Nya.
۩۩۩۩۩
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Quran Karim.
2. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Mujamma, Al Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush-haf Asy-Syarif Madinah Al Munawarah, Saudi Arabia.
3. Lubaabut Tafsiir Min Ibnu Katsiir, jilid 2. DR.Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq Al-Sheikh.Cet.1(Kairo: Mu-assasah Daar al-Hilaal 1414 H/1994 M). Edisi bahasa Indonesia berjudul : Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Penerjemah M.Abdul Ghoffar E.M (Pustaka Imam asy-Syafi’i).
4. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam.
Oleh: Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalaani, Cet. III. Edisi bahasa Indonesia berjudul: Terjemahan Bulughul Maram. Penerjemah A. Hasan (Pasuruan: Pustaka Tamam).
5. Terjemahan Nailul Authar (Himpunan Hadits-Hadits Hukum) 5. Penerjemah A. Qadir Hassan, Drs. Mu’ammal Hamidy, Drs. Imron AM, Umar Fanany B.A. (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001 M).
6. Fiqhussunnah, jilid 14.
Oleh: Sayyid Sabiq
Edisi bahasa Indonesia berjudul: Fikih Sunnah jilid 14, Penerjemah Kamaluddin A. Marzuki, Cet. 1 (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987 M).
7. Fiqih Islam.
Oleh: Sulaiman Rasyid, Cet. 36 (Bandung: Sinar Baru Al-Gensindo, 2003 M).
8. Minhajul Muslim.
Oleh: Abu Bakar Jabir Al-Jazairi (Beirut-Lebanon: Darul Fikr). Edisi bahasa Indonesia berjudul: Ensiklopedi Muslim, penerjemah Fadhli Bahri, Lc. Cet. 6 (Jakarta: Darul Falah, Ramadhan 1424 H/ November 2003 M).
9. KERTAS KERJA 1: MAQASID SYARIAH DALAM PELAKSANAAN WAKAF.
Oleh : DR. MOHAMAD AKRAM LALDIN, DR. MEK WOK MAHMUD, DR. MOHD. FUAD SAWARI. (Sumber : Media Internet> www.jwzh.gov.my/KonvWakaf/Kertas%20...).
Sabtu, 08 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus