Rabu, 12 Oktober 2011

RINGKASAN USHUL FIQIH

A.Definisi
Ilmu fiqih menurut syara’ adalah pengetahuan tentang hukum syariah yang berupa perbuatan yang diambil dari dalil-dalil secara detail .
Ada empat sumber hukum pokok dalam mengambil hukum syariat yang berupa perbuatan, yaitu : al-quran, as-sunnah, al ijma’, dan Qiyas.
Ilmu usul fikih menurut istilah syara’ adalah pengetahuan tentang kaidah dan pembahasanya yang digunakan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.
B. Obyek fikih dan usul fiqih
Obyek pembahasan ilmu fikih adalah perbuatan orang mukalaf ditinjau dari ketepatanya terhadap hukum syara’. seperti membahas jual beli, shalat, puasa, zakat dll.
Sedangkan obyek pembahasan ilmu usul fikih adalah dalil syara’ yang bersifat umum, ditinjau dari ketepatanya terhadap hukum syara’ yang umum pula. Seperti membahas qiyas atau kaidah-kaidah, seperti perintah menunjukkan untuk dikerjakan, dll.
C. Tujuan fikih dan usul fikih
Tujuan ilmu fiqih adalah menerapkan hukum syara’ pada semua perbuatan dan ucapan manusia.
Sedangkan tujuan ilmu usul fikih adalah menerapkan kaidah dan pembahasanya pada dalil-dalil yang detail untuk diambil hukum syara’nya.
D. Pertumbuhan dan perkembangan fikih dan ilmu fikih
1. fikih
Hukum fikih tumbuh bersamaan dengan perkembangan islam. Karena agama islam adalah kumpulan dari beberapa unsur akidah, akhlak dan hukum atas suatu perbuatan.
2. Ushul Fikih
Ilmu usulul fikih mulai tumbuh pada abad ke-2 Hijriyah, karena pada abad sebelumnya ilmu ini belum diperlukan .Ilmu ini pada permulaan masih berkala kecil, sebagaimana anak pada awal pertumbuhan. Kemudian beranjak berkembang sampai berusia 200 tahun.
Sedangkan orang yang pertama kali membukukan/mengarang kaidah-kaidah ilmu ushul fikih adalah Imam Muhammad bin idris al Syafi’I, wafat tahun 204 H. Sehingga dikenal oleh para ulama bahwa peletak dasar ilmu ushul fikih adalah Imam Syafi`i.

DALIL-DALIL SYAR`I
Definisi
Dalil Menurut bahasa Arab adalah petunjuk terhadap sesuatu yang bersifat materi maupun non materi, yang baik atau yang jelek. Sedangkan menurut ahli ushul ialah sesuatu yang dapat dijadikan bukti dengan sudut pandang yang benar atas hukum syara` mengenai perbuatan manusia secara pasti atau dugaan.
Dalil Syara` Secara Global
Bahwa dalil syara` yang telah disepakati oleh mayoritas tokoh umat islam ada empat: Al-Qur`an, As-sunnah, Al Ijma` dan Al Qiyas. Adapun dalilnya dalam (QS. An-Nisa`: 59).

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Adapun dalil lain yang tidak disepakati yaitu ada enam:
1. al istihsan,
2. al Mashlahah Al Mursalah,
3. al Istishab,
4. al`Urf,
5. Madzhab Shahaby,
6. dan hukum umat sebelum kita.
Sehingga keseluruhan dalil syara` ada sepuluh ; empat disepakati penggunaanya oleh mayoritas umat islam sedang yang enam masih di perselisihkan.
DALIL PERTAMA AL-QUR`AN
Keistimewaan Al-Qur`an.
Al-Qur`an adalah firman Allah swt yang diturunkan oleh Allah l dengan perantara Jibril ke dalam hati Rosulullah Muhammad n dengan lafal Arab dan makna yang pasti sebagai bukti bagi Rosul, bahwasanya dia adalah utusan Allah l, sebagai undang-undang sekaligus petunjuk bagi manusia, dan sebagai sarana pendekatan ( seorang hamba kepada tuhanya ) sekaligus sebagai ibadah bila di baca.
Diantara keistimewaan Al-Qur`an ialah lafal dan maknanya semua dari Allah l. Dan keistimewaan lain adalah bahwa al Qur`an di riwayatkan secara teratur dan berurutan. Artinya, dengan periwayatan yang mendatangkan pengetahuan dan kepastian akan kebenaran riwayatnya.
Kekuatan Al-Qur`an Sebagai Hujjah.
Alasan bahwa al-Qur`an adalah hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya adalah undang-undang yang harus ditaati ialah karena al-Qur`an diturunkan langsung dari Allah l dan diterima oleh manusia dari Allah l dengan cara yang pasti, tidak lagi diragukan lagi kebenaranya.

Makna I'jaz dan syaratnya
I'jaz menurut bahasa Arab berarti memberi dan menetapkan sifat lemah kepada yang lain. Syarat I'jaz ada tiga:
1. Tantangan, Artinya menuntut adanya tandingan, aduan atau perlawanan;
2. Adanya ungkapan yang mendorong penantang untuk mengadakan tantangan;
3. Tidak ada penghalang untuk melakukan perlawanan.
Contoh I'jaz terdapat dalam qs huud: 13, al baqarah: 23-24 dan at thur: 33-34.

Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad Telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar".

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.

Bentuk kemukjizatan al Qur`an.
Berikut sebagian dari kemukjizatan al Qur`an yang mampu dijangkau akal manusia.
1. Kesatuan kalimat, makna, hukum dan teori.
2. Keselarasan ayat dengan teori yang mampu diungkap oleh ilmu pengetahuan.
3. Pemberitaan tentang hal-hal yang tidak diketahui kecuali oleh Allah l yang mengetahui yang ghaib.
4. Kefasihan lafal, kebalaghahan ungkapan dan kekuatan pengaruh al Qur`an.
Macam-macam Hukum Al Qur’an.
1. Hukum akidah, yakni hukum yang berhubungan dengan hal-hal yang wajib diyakini oleh seorang mukallaf; tentang Allah , Malaikat, Para Rosul dan hari kemudian.
2. Hukum akhlak, yakni hukum yang berhubungan dengan kewajiban seorang mukallaf untuk melakukan hal-hal yang utama dan meninggalkan hal-hal yang hina.
3. Hukum perbuatan, yakni hukum yang bertalian dengan ucapan, perbuatan, akad atau pengelolaan yang timbul dari seorang mukalaf. Hukum ketiga ini disebut fikih al Qur`an, sebagai sasaran pembahasan ilmu usul fikih.
Hukum perbuatan dalam al Qur`an terdiri atas dua macam yaitu : hukum ibadah dan hukum muamalah.
Sedangkan dalam istilah modern hukum perbuatan itu bercabang-cabang sesuai dengan konstelasi hukum itu sendiri dan sesuai tujuan-tujuan sebagai berikut:
a. Hukum pribadi; yaitu hukum yang berhubungan dengan masalah keluarga, dimulai dari awal pembentukanya. Dalam al Qur`an ada 70 ayat yang menerangkan hukum ini.
b. Hukum perdata: yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan pribadi atau kelompoknya dalam melakukan jual beli, sewa menyewa, gadai tagungan, syirkah, hutang piutang dan pemenuhan kewajiban secara disiplin. Dalam al Quran ada 70 ayat yang menerangkan masalah ini.
c. Hukum pidana: yaitu hukum yang berhubungan dengan tindak kriminal yang dilakukan mukalaf serta akibat hukumnya . dalam al Quran ada 30 ayat.
d. Hukum Acara: yaitu hukum yang berhubungan dengan masalah pengadilan, kesaksian dan sumpah. Dalam al Qur`an ada sekitar 13 ayat.
e. Hukum tata negara: yaitu hukum yang berhubungan dengan peraturan perundangan dan dasar-dasarnya. Dalam Al Qur`an sekitar ada 10 ayat.
f. Hukum Internasional, yaitu hukum yang bertalian dengan masalah hubungan antara negara islam dengan yang lain dan pergaulan antara muslim dan non muslim di negara islam. Dalam al Qur`an ada 25 ayat yang mejelaskan hal tersebut.
g. Hukum ekonomi dan keuangan: yaitu hukum yang berhubungan dengan hak peminta-minta, hak orang miskin yang tidak mendapat bagian harta orang kaya mengatur penyaluran keuangan dan perbankan.Ini bertujuan mengatur hubungan ekonomi antara sikaya dan simiskin juga antara negara dan masyarakat. Dalam al Qur`an ada 10 ayat.
Pentunjuk Ayat pasti atau dugaan?
Semua nash al Qur`an adalah pasti bila dilihat dari segi turunya, ketetapan dan sampainya kepada kita dari Nabi saw.
Adapun nash al Qur`an ditinjau dari petunjuk hukum yang dikandungnya terbagi menjadi dua:
1. Nash yang memiliki petunjuk hukum pasti,yaitu: nash yang menunjukkan makna yang dipahami secara tertentu, tidak memerlukan takwil dan tidak ungkin dipahami dengan makna yang lain.
2. nash yang memiliki petunjuk hukum dugaan .yaitu : nash yang menunjukkan makna tetapi dimungkinkan adanya takwil dan mungkin untuk dipalingkan dari makna asal kepada makna lain.
Maka semua nash yang mempunyai makna ganda ,umum, mutlak atau semisalnya, petunjuk hukumnya adalah dugaan, karena nash itu menunjukkan makna tertentu tetepi mungkin juga menunjukkan makna yang lain.

DALIL KE-2: AS SUNNAH

1. Definisi
As sunnah secara bahasa adalah jalan. Sedangkan menurut istilah adalah ucapan, perbuatan atau pengakuan rasulullah saw.
a. Sunnah qauliyah adalah hadits nabi saw yang disabdakan sesuai dengan tujuan dan kondisi. Seperti, "laa dharara walaa dhirar".
b. Sunnah fi'liyah adalah perbuatan rasulullah saw. Seperti, shalat lima waktu dengan cara dan rukun-rukunnya.
c. Sunnah taqririyah adalah penetapan rasulullah saw atas ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh para shahabat dengan diam atau tidak ada penolakan, persetujuan atau anggapan baik dari beliau. Seperti dua orang yang melakukan safar kemudian tidak mendapatkan air, kemudian keduanya bertayamum dan setelah mendapatkan air yang satunya tayamum dan yang satunya tidak. kemudian keduanya mengadukan kepada rasulullah saw, dan rasulullahpun membenarkan keduanya.

2. Kekuatannya sebagai hujjah
Umat islam sepakat bahwa ucapan, perbuatan dan penetapan rasulullah yang mengarah pada hokum atau tuntutan dan sampai kepada kita dengan sanad yang shahih yang mendatangkan kepastian atau dugaan kuat atas kebenarannya adalah hujjah bagi umat islam.
Bukti atas kekuatan as sunnah sebagai hujjah, diantaranya adalah:
Pertama: penjelasan dari nash al quran tentang kehujahan as sunnah. Seperti firman Allah qs ali imran : 32, an nisa': 80, 59, al hasyr : 7.

Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya;

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Kedua, kesepakatan shahabat (ijma') tentang kehujahannya.
Ketiga, allah swt dalam al quran telah menetapkan berbagai kewajiban yang masih bersifat global, hokum dan petunjuk pelaksanaannya tidak terperinci. Seperti dalam firman Allah swt qs an nisa':77, al baqarah: 183 dan ali imran: 97 dll.

3. Hubungan as sunnah dengan al quran
a. As sunnah menetapkan dan menguatkan hokum yang dibawa al quran
b. As sunnah merinci dan menjelaskan keglobalan hokum yang dibawa al quran. Qs an nahl: 44.
c. As sunnah juga menetapkan dan membentuk hokum yang tidak dijelaskan oleh al quran.
Imam Syafii dalam kitab "risalah"(dalam masalah ushul fikih) mengatakan, "saya tidak mengetahui ada perbedaan pendapat diantara para ilmuwanbahwa sunnah nabi saw itu diperoleh dari tiga perkara:
Pertama: nash al quran yang diturunkan oleh Allah swt, kemudian nabi membentuk sunnah sesuai dengan nash tersebut.
Kedua: Allah menurunkan nash secara global kemudian nabi saw (dengan ilham Allah) menetapkan sunnah dengan menjelaskan makana nash yang dimaksud
Ketiga: sunnah rasul yang memang tidak terdapat dalam nash al quran.

4. Pembagiannya menurut sanad
a. Sunnah mutawatirah
Yaitu sunnah yang diriwayatkan dari rasulullah saw oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaan, masing-masing tidak mungkin sepakat untuk berbohong, karena jumlah mereka yang banyak, kejujuran dan perbedaan pandangan serta lingkungan mereka. Seperti hadits tentang pelaksanaan shalat.
b. Sunnah mashurah
Yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh seorang shahabat, dua orang atau banyak yang tidak sampai pada hitungan mutawatir. Seperti hadits tentang niat
c. Sunnah ahad
Yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh perorangan yang tidak sampai pada hitungan mutawatir.

5. Petunjuk hokum as sunnah, pasti atau dugaan?
a. Mutawatirah adalah pasti dari rasul saw
b. Sunnah mashurah adalah pasti dari seorang atau beberapa shahabat yang meriwayatkannya dari rasul, karena banyaknya periwayatan dari mereka, tetapi tidak pasti dari rasul.
c. Adapun sunnah ahad adalah dugaan dari rasul, karena sanadnya tidak memberikan kepastian.

6. Ucapan dan perbuatan rasulullah saw yang tidak termasuk hokum syara'
a. Hal-hal yang keluar dari rasul sesuai watak manusiawi. Seperti: duduk, jalan, berdiri, tidur, makan, minum dll. Adan tetapi jika perbuatan manusiawi tu memiliki dalil bahwa tujuannya adalah sebagai tuntunan, maka dengan dalil tersebut, perbuatan tersebut termasuk hukum syara'.
b. Hal-hal yang keluar dari rasul sesuai pengetahuan manusia, kecerdasan dan pengalaman dalam kehidupan duniawi. Seperti sewa menyewa, pertanian dan setrategi perang dll.
c. Hal-hal yang keluar dari rasul yang berdasarkan dalil syara' hal itu berlaku khusus bagi beliau dan bukan termasuk peneladanan. Seperti beristri lebih dari empat wanita.

DALIL KE-3: IJMA'
1. Definisi
Ijma' menurut ulama ilmu ushul fikih adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rosulullah saw.atas hukum syara` mengenai suatu kejadian.

2. Unsur-unsur
Ijma dianggap sah menurut syara` bila mencangkup empat unsur:
1. Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. Karena kesepakatan tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian.
2. Kesepakatan atas hukum syara` mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal negara, kebangsaan atau kelompoknya.
3. kesepakat mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid.
4. kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia islam.

3. Kekuatan Ijma' Sebagai Hujjah
Bukti kekuatan ijmak sebagai hujjah antara lain:
1. sebagaimana Allah l dalam al Qur`an memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk taat kepada Allah l dan taat kepada Rosulnya, dia juga memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri, seperti firmanya: “Hai orang-orang yag beriman, taatilah Allah k dan tatailah Rosulnya dan Ulil Amri diantara kamu”(QS. An Nisa`: 59). Lafal al amri artinya adalah hal atau perkara, ia bersifat umum meliputi masalah agama dan dunia. Ulil Amri pada masalah dunia adalah Raja, para pemimpin dan penguasa, sedangkan pada masalah agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa.
2. pada dasarnya hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat islam adalah hukum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya. Ada beberapa hadis dari Rosul dan atsar dari para sahabat yang menunjukkan terpeliharanya umat (dalam kebersamaan dari kesalahan antara lain:
لاتجمع أمتي على خطاء
Umatku tidak akan berkumpul (dan sepakat) untuk melakukan kesalahan.
3. Ijma' atas suatu hukum syara` harus didasarkan pada sandaran syara’ pula, karena mujtahid islam memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar.
4. Kemungkinan mengadakan ijma'
Ibnu hazm t dalam kitabnya Al Ahkam meriwayatkan pendapat abdullah bin Ahmad bin hambal : Saya medengar ayah berkata “apa yang diakui seseorng sebagai ijmak adalah bohong dan siapa yang mengakui adanya ijmak dia adalah pembohong. Yang dia tahu mungkin orang-orang telah berbeda pendapat, sedangkan perbedaan pendapat itu belum berakhir, maka sebaiknya katakanlah: Kami tidak tahu bahwa orang-orang telah berselisih pendapat”
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma' mungkin dapat diadakan, menurut kebiasaan. Mereka berkata, “Apa yang dikatakan oleh penentang kemungkinan ijmak itu adalah pasti karena meragukan masalah yang terjadi”
Pendapat yang saya (penulis) anggap lebih kuat adalah bahwa ijma, dengan definisi dan unsur-unsur seperti yang telah saya jelaskan, menurut kebiasasan tidak mungkin diadakan bila diserahkan kepada masing-masing umat islam dan kelompoknya. Ijma' mungkin diadakan bila dikuasai oleh pemerintahan islam dimana saja.
5. Terbentuknya ijma'
Pada hakekatnya pembentukan hukum oleh jamaah dan bukan satu orang maka oleh ulama fikih disebut ijma'.
6. Macam-macam ijma'
Ijmak ditinjau dari cara penetapanya ada dua:
1. Ijma' Sharih: Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap satu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing yang diperkuat derngan fatwa atau keputusan, yakni masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.
2. Ijma' Sukuti: Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum, dan sebagian yang lain diam, artinya tidak menemukan komentar setuju atau tidak terhadap pendapat yang telah dikemukakan.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma' syukuti bukan ijmak ia hanyalah pendapat sebagian para mujtahid secara individu. Ulama kelompok Hanafi berpendapat bahwa ijmak syuikuti adalah ijmak jika mujtahid yang diam itu telah diajukan kepada kejadian yang dimaksud, sudah ditunjukkan kepadanya pendapat yang telah dikemukakan para mujtahid, sudah melewati waktu yang cukup untuk membahas dan menetapkan pendapatnya, tetapi ia diam.

Pendapat yang saya (penulis) anggap shahih adalah pendapat jumhur; kerena seorang mujtahid yan diam, kemungkinan terpengaruh berapa masalah dan keraguan, baik masalah pribadi atau bukan masalah pribadi.
Ijmak ditinjau dari petunjuk hukumya yang pasti atau dugaan ada dua macam:
1. Ijma' yang mempunyai petunjuk hukum pasti, yaitu ijma’ sharih. Yakni hukumnya telah pasti tidak ada jalan untuk menetapkan hukum yang lain yang bertentangan dari peristiwa hukumnya dan tidak boleh menjadikan obyek ijtihad pada peristiwa yang telah ditetapkan dalam ijmak sharih atas hukumnya.
2. Ijma' yang mempunyai petunjuk hukum dugaan, yaitu ijma’ syukuti, yakni hukumnya masih dugaan menurut dugaan yan kuat.

DALIL KE-4
AL QIYAS

1. Definisi
Qiyas adalah adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum, sebab sama dengan illat hukumnya. Contoh, firman Allah swt qs al maidah: 90

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Illatnya adalah memabukkan.

2. Kekuatan kiyas sebagai hujjah
Menurut jumhur ulama, qiyas adalah hujjah syara'atas hukum-hukum sebangsa perbuatan dan sebagai hujjah syara' yang ke empat. Sedangkan menurut kelompok nidhamiyah, dhahiriyah, dan sebagian golongan syiah, qiyas bukan hujjah syara' atas hukum.

3. Unsur-unsur qiyas
a. Al ashlu, yaitu kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash
b. Al far'u, yaitu kejadihan yang hukumnya tidak disebutkan dalam nash, maksudnya adalah untuk disamakan dengan al ashlu dalam hukumnya.
c. Al hukmul ashli, yaitu hukum syara' yang dibawa oleh nash dalam masalah ashl
d. Al illat, yaitu alasan yang dijadikan dasar oleh hukum asal.
Syarat-syarat illat:
Illat harus berupa sifat yang nyata
Harus berupa sifat yang mengikat
 Hendaknya berupa sifat yang sesuai
Hendaknya berupa sifat yang bukan hanya untuk masalah asal
Teori yang dipakai untuk memahami illat adalah
Al quran
Sunnah
Ijma'

Dalil KE-5
AL-ISTIHSHAN
Definisi
Menurut bahasa adalah menganggap baik sesuatu. Sedang menurut istilah ulama ushul adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan kias yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum umum kepada kepercualian karena ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu.
Macam-macam Al Istihsan
1. Mengunggulkan kias yang tersembunyi atas kias yang nyata dengan suatu dalil.
2. Mengecualikan sebagian hukum umum dengan suatu dalil.
Kekuatan Istihsan Sebagai Hujjah
Pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena dalil hukum dari bentuk istihsan pertama adalah kias yang tersembunyi yang diunggulkan dari pada kias yang nyata, sebab hal-hal tertentu yang oleh mujtahid dianggap lebih unggul, dan itu adalah alasan istihsan. Sedangkan hukum dari bentuk istihsan yang kedua adalah kemaslahatan, yang menuntut adanya perkecualian bagian tertentu dari hukum umum, dan hal itu dianggap sebagai alasan istihsan.
Diantara orang-orang yang berhujah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok hanafi. Mereka beralasan: pengambilan dalil dengan istihsan adalah mengambil dalil dengan qias yang samar yang mengalahkan kias yang nyata, atau memenangkan kias atas kias lain yang menentangnya karena kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian hukum umum. Dan semua itu adalah pengambilan dalil yang benar.
Alasan Ulama Yang Tidak Berhujjah Dengan Istihsan.
Sebagian kelompok mujtahid mengingkari kebenara istihsan, mereka menganggapnya sebagai pembentukan hukum berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya sendiri. Di antara tokohnya adalah Imam Syafi`I, Seperti telah dinukil darinya: siapa yang menggunakan istihsan berarti ia membuat syariat. Artinya orang itu membuat hukum syariat sendiri.

DALIL KE-6
AL MASLAHAH AL MURSALAH

Definisi
Al Maslahah al mursalah artinya mutlak (umum), Menurut ulama Ushul adalah kemaslahatan yang oleh syar`i tidak dibuatkan hukum untuk mewujudkanya, tidak ada dalil syara` yang menunjukkan dianggap atau tiadaknya kemaslahatan itu. Ia disebut mutlak (umum) karena tidak dibatasi oleh bukti dianggap atau bukti disia-siakan.
Artinya bahwa penetapan suatu hukum itu tiada lain kecuali untuk menerpkan kemaslahatan umat manusia; yakni menarik suatu manfaat, menolak bahaya atau menghilangkan kesulitan umat manusia.
Alasan Ulama Yamg Menjadikannya Sebagai Hujjah.
Jumhur ulama kaum muslimin berpendapat bahwa al Maslahah al Mursalah adalah hujjah syara` yang dipakai landasan penetapan hukum .
Alasan mereka dalam hal ini ada dua:
1. Kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya.
2. Orang yang mau meneliti penetapan hukum yang dilakukan para sahabat nabi, tabi`in dan imam-imam mujtahid akan jelas bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi menerapkan kemaslahatan umum, bukan karena ada saksi dianggap oleh syar`i.
Syarat Menjadikanya Sebagai Hujjah
Berupa kemaslahatan yang hakiki, bukan kemaslahatan yang semu.
1. Berupa kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi.
2. Penetapan hukum untuk kemaslahatan ini tidak boleh bertentangan dengan hukum atau dasar yang ditetapkan dengan nash atau ijmak.
Alasan Yang Tidak Berhujjah Dengan Almaslahah Al Mursalah
1. Syariat itu sudah mencangkup seluruh kemaslahatan manusia, baik dengan nah-nashnya maupun dengan apa yang ditunjukkan oleh kias.
2. Penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan umum adalah membuka kesempatan hawa nafsu manusia, seperti para pemimpin, penguasa, ulama pemberi fatwa.
Menurut saya: Mengunggulkan penetapan hukum syara` berdasarkan kemaslahatan umum. Karena jika kesempatan ini tidak dibuka syariat islam akan buku dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman dan lingkungan.
Ibnu Qoyyim t berpendapat: di antara kaum muslimin ada orang yang berlebihan- berlebihan dalam menjaga kemaslahatan umum. Ia menjadikan syariat itu suatu yang terbatas, tidak dapat memenuhi kemaslahatan hamba yang dibutuhkan untuk liannya.

DALIL KE-7
AL `URF
1. Definisi
Al `Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya; baik, ucapan perbuatan atau pantangan-pantangan, dan disebut juga adat. Menurut istilah syara` tidak ada perbedaan antara al `urf dan adat.
2. Macam-macam Al `Urf
1. Adat yang benar yaitu kebiasan yang di lakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara`, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban. Seperti kebiasaan meminta pekerjaan, adat membagi maskawin menjadi dua.
2. Adat yang rusak yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara` mengahalkan yang haram, atau membatalkan kewajiban. Seperti kebiasaan mungkar pada saat menghadapi kelahiran, di tempat kematian, serta kebiasaan memakan barang riba dan perjudian.
3. Hukum Al `Urf.
Ulama berkata: adat adalah syariat yang dikuatkan sebagai hukum, sedangkan adat juga dianggap oleh syara`. Imam Malik membentuk banyak hukum berdasarkan perbuatan penduduk madinah. Abu Hanifah dan para muridnya berbeda dalam menetapkan hukum, tergantung pada adat mereka. Imam Syafi`I ketika berada di mesir, mengubah sebagian hukum yang ditetapkan ketika beliau berada di baghdad karena perbedaan adat . oleh karena itu ia memiliki dua pendapat, pendapat baru dan pendapat lama.
Kebiasaan secara hakiki bukanlah merupakan dalil syara` yang tersendiri. Pada umumnya ia termasuk mempehatikan kemaslahatan umum. Yakni, sebagian adat diperhatikan dalam penetapan hukum syara` maka diperhatikan juga dalam memberikan penafsiran nash, mentakhsis yang umum, dan membatasi yang mutlak.

DALIL KE-8
AL ISTISH HAAB
Definisi
Al Istish Haab secara bahasa adalah pengakuan kebersamaan. Dalam istilah ahli ushul adalah menghukumi sesuatu dengan keadaan seperti sebelumnya sampai ada dalil yang menunjukkan perubahan keadaan itu atau menjadikan hukum sebelumnya tetap menjadi hukum sampai ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan.
Kekuatan Al-Istishab Sebagai Hujjah
Al Istishhaab adalah dalil terakhir yang digunakan oleh mujtahid dalam upaya mengetahui hukum atas suatu masalah. Oleh karena itu ahli ushul berkata: Al Istish Haab adalah urutan fatwa terakhir. ia adalah hukum dasar segala sesuatu selama belum ada dalil yang merubahnya.
Berdasarkan Al Istish Haab, maka ditetapkan beberapa norma hukum syara` sebagai berikut:
الأصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يغيره
Asal segala sesuatu adalah ketetapan yag telah ada menurut keadaan semula, sampai ada ketetapan yang merubahnya.
الأصل في الأشياء الاباحة
Hukum asal sesuatu adalah mubah
مايثيت باليقين لايزول بالشك
Sesuatu yang sudah pasti karena yakin, tidak bisa hilang sebab ragu-ragu.
الأصل في االانسان البراءة
Asal pada manusia adalah bebas (tidak ada tangunggunagn).

Ulama hanafiyah menetapkan bahwa Al Istishhaab adalah hujjah untuk menolak bukan untuk menetapkan. Artinya menurut mereka, bahwa ia adalah hujjah untuk melestarikan hukum yang telah ada dan menolak sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menunjukkan tetapnya perbedaan itu. Ia bukan hujjah untuk menetapkan suatu perkara yang tidak tetap.

DALIL KE-9
SYARI`AH UMAT SEBELUM KITA

Mayoritas kelompok hanafi, sebagian pengikut Maliki dan syafi`I berkata hukum-hukum itu menjadi syariat kita yang wajib kita ikuti dan kita terapkan selama telah di ceritakan kepada kita dan dalam syariat kita tidak ada dalil yag menggantinya. Karena hukum itu adalah hukum tuhan yang ditetapkan melalui para Rosulnya yang telah diceritakan kepada kita dan tidak ada dalil yang menggantikanya, maka setiap mukallaf wajib mengikutinya. Ringkasnya bahwa syariat mereka menjadi syariat kita selama tidak menyelisihi syariat kita. Contoh, firman Allah swt qs al baqarah: 183:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,



DALIL KE-10
MADZHAB PARA SAHABAT

Kesimpulan pembicaraan mengenai hal ini adalah tidak ada perbedaan pendapat bahwa ucapan sahabat yang tidak dapat di temukan menurut pendapat dan pemikiran merupakan hujjah bagi umat islam. Karena pasti apa yang ia ucapkan adalah apa yang di dengar dari Rosulullah.
Juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa ucapan sahabat yang lain adalah hujjah kaum muslimin.
Yang menjadi titik perbedaan adalah ucapan sahabat yang keluar dari pendapat pribadi dan ijtihadnya dan tidak menjadi kesepakatan para sahabat. Abu Hanifah t dan para pendukungnya berkata, “Jika aku tidak menemukan suatu hukum dalam kitab Allah Dan sunnah Rosul, maka aku mengambil pendapat sahabatnya yang aku mau dan aku meninggalkan pendapat sahabat lainya yang aku mau. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka kepada lainya.”
Imam Syafi`I t beralasan bahwa ia tidak melihat satu pendapat tertentu diantara para sahabat dapat dijadikan hujjah dan boleh berlainan pendapat dengan mereka, juga boleh berijtihad untuk menemukan/mengeluarkan hukum yang lain.Karena ijmak sahabat adalah kumpulan ijtihad pribadi yang tidak terjaga dari kesalahan. Imam Syafi`I berkata: Tidak boleh menetapkan hukum atau memberikan fatwa kecuali dengan dasar pasti ;yaitu al Qur`an dan al Hadist, atau sebagaimana yang dikatakan para ilmuwan yang dalam suatu hal tidak berbeda pendapat (ijmak, atau dengan mengkiaskan kepada sebagian dasar ini.

BAB : II
HUKUM-HUKUM SYARA`

Yaitu ada empat Pembahasan:
1. Hakim yaitu; orang yang menjatuhkan putusan.
2. Hukum yaitu: keputusan yang dijatuhkan oleh hakim sebagai bukti kehendaknya.
3. Makhkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum
4. Mahkum `Alaih yaitu: mukallaf sebagai pelaku perbuatan yang yang berkaitan dengan hukum.
Hakim
Hukum syara` adalah: ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau ketetapan.
Al hakim Adalah Allah l . Dalilnya firman allah (QS. Al An`aam:57)
            •
menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik".

Hukum- hukum Allah di ketahui dengan perantara para Rosul dan kitab-kitab Allah, Tidak dengan akal.

Hukum
1. Definisi
Hukum syara` menurut istilah ahli usul adalah Khitob (doktrin) Syar`i yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf; baik berupa tuntutan, pilihan atau ketetapan.
أوفوا بالعقود.
“Penuhilah janji”
Adalah doktrin syar`I (Allah) yang berhubungan dengan menepati janji dengan tuntutan melaksanakannya.
Sedanglan menurut ahli fikih adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh doktrin syar`I dalam perbuaatan mukalaf, seperti kewajiban, keharaman dan kebolehan.
Jadi firman Allah : Aufuu bil `uquudi (penuhi janji, maksudnya adalah kewajiban memenuhi janji. Nash itu sendiri adalah hukum menurut istilah ahli usul, sedangkan kewajiban memenuhi adalah hukum menurut istilah ahli fikih.
2. Macam-Macam Hukum
1. Hukum taklifi yaitu hukum yang menuntut kepada mukalaf untuk berbuat, menuntut untuk tidak berbuat atau menghendaki agar mukalaf memilih berbuat atau tidak.
2. Hukum Wadh`I yaitu hukum yang ditetapkan pada sesuatu yang menjadi sebab bagi sesuatu yang lain, atau menjadi syarat atau penghalang.
Perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wad`i dalam dua sisi:
1. Yang adalah tuntutan pada mukalaf untuk mengerjakan atau tidak mengerjaka, atau memilih antara mengerjakan dan tidak mengerjakan. Sedangkan hukum wad`I tidak menghendaki tuntutan atau pilihan akan tetapi yang dikehendaki adalah penjelasan bahwa hal ini sebagai sebab akibat ini atau ini sebagai syarat bagi yang disyaratkan ini atau bahwa ini menjadi penghalang bagi hukum ini.
2. Sesuatu yangdituntut untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan, atau pilihan antara dikerjakan dan ditinggalkan harus di ukur dari kemampuan mukalaf,dalam kemampuanya, ia harus melaksanakan dan harus meninggalkan, karena tidak ada paksaan kecuali pada sesuatu yang dikuasai dan tidak ada pilihan kecuali antara dua hal yang sama–sama dikuasai.

3.Pembagian Macam-Macam Hukum
A. Hukum Taklifi
Hukum taklifi terbagi menjadi lima:
1. wajib
Sesuatu yang dituntut oleh syar`I untuk dikerjakan oleh mukalaf secara pasti, yakni tuntutan itu bersamaan dengan sesuatu yang menunjukkan kepastian untuk berbuat.
Pembagian wajib
Wajib ditinjau dari beberapa aspek terbagi menjadi empat:
a. Wajib ditinjau dari waktu pelaksanaannya ada yang muaqqat (dibatasi waktu) dan ada yang mutlaq (tidak dibatasi waktu).
Wajib muaqqat adalah sesuatu yang dituntut syari` untuk dilakukan secara pasti dalam waktu tertentu, seperti shalat lima waktu.
Adapun wajib yang mutlaq (tidak dibatasi waktu) adalah sesuatu yang dituntut syari` untuk dilaksanakan secara pasti tetapi tidak ditentukan waktu pelaksanaannya.
Wajib yang dibatasi waktu jika telah dilakukan oleh mukalaf secara sempurna dengan menetapi syarat dan rukunya, maka pelaksanaan kewajiban itu disebut ada` (tepat waktu). Jika ditunaikan waktunya dengan tidak sempurna, kemudian diulang pada waktunya secara sempurna, maka pelaksanaan itu disebut i`adah (ulangan). Dan jika ditunaikan setelah waktunya maka disebut qadha`(membayar).
Sedangkan wajib yang dibatasi waktu; jika waktu wajib yang ditetapkan syari` itu memuat satu kewajiban dan hal-hal lain yang sejenis, maka waktu itu disebut muaqqat muwasa`wadzarh(waktu terbatas yang luas dan memuat). Jika waktu yang ditetapkan syari` itu memuat satu kewajiban saja tidak hal-hal lain yang sejenis, maka waktu itu disebut muaqqat mudhayyaq wa mi`yar (waktu terbatas yang sempit dan dibatasi).
b. Wajib ditinjau dari tuntutan menunaikan terbagi menjadi wajib `Ain dan wajib kifa`i .
c. Wajib ditinjau dari ukuranya terbagi menjadi wajib muhaddad ( yang dibatasi) dan ghairu muhaddad ( yang tidak dibatasi )
Wajib muhaddad adalah kewajiban yang oleh syar`I telah ditentukan ukuranya.
Sedang wajib yang tidak batasi adalah kewajiban yang tidak ditentukan ukuranya oleh syari`, tetapi mukalalf dituntut melaksanakan kewajiban yang tidak terbatas. Seperti infak dijalan Allah, tolong-menolong dalam kebaikan dll.
d. Wajib ditinjau dari sifatnya terbagi menjadi wajib mu`ayyan(tertentu) dan wajib mukhayyar (pilihan).
Wajib muayyan adalah sesuatu yang dituntut oleh syar`I dengan sendirinya , seperti puasa, shalat, harga sesuatu yang dibeli .tanggungan mukal;af tidak hilang kecuali dengan melaksanakan itu dengan sendirinya
Sedangkan mukhayyar adalah salah satu diantara beberapa hal tertentu yang dituntut oleh syari` ;Sepperti salah satu bentuk denda tebusan. Allah mewajibkan kepada orang yang melanggar sumpah untuk memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan budak.

2. Mandub (sunah )

Pengertian Mandub adalah sesuatu yang dituntut oleh syari` untuk dilaksanakan oleh mukalaf secara tidak pasti.
Pembagian sunah
Sunah terbagi menjadi tiga macam:
a. Sunnah yang dituntut mengerjakannya secara menguatkan. Orang yang meninggalkan sunah ini tidak mendapat siksa melainkan mendapat celaan. seperti adzan, melakukan shalat lima waktu dengan berjamaah. Bagian Ini disebut sunnah muakkadah atau sunnah huda.
b. Sunah yang dianjurkan oleh syara` untuk dikerjakan, pelakunya mendapat pahala dan yang meninggalakn tidak disiksa atau dicela. Seperti sedekah kepada fakir miskin, puasa hari kamis atau shalat sunnah muakkadah.Bagian ini disebut zaa-idah atau naafilah.
c. Sunnah tambahan artinya dianggap sebagai pelangkap bagi mukalaf. Diantara adalah mengikuti jejak Rosulullah saw. Dalam hal kebiasan seperti; makan minum, berjalan, tidur. Bagian ini disebut mustahab, adab dan fadhilah.

3. Muharram (Haram)
Haram adalah sesuatu yang dituntut syari` untuk tidak dikerjakan dengan tuntutan yang pasti. Artinya, bentuk tuntutan larangan itu sendiri menunjukkan kepastian, seperti firman Allah Ta`ala;
     
Di haramkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (al Maidah; 3)

Pembagian Haram
1. haram yang asalnya sendiri adalah haram. Seperti zina, mencuri dll.
2. haram karena sesuatu yang baru. Artinya, suatu perbuatan itu pada mulanya ditetapkan oleh hukum syara` sebagai suatu kewajiban, kesunahan atau kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru yang menjadikanya haram; seperti shalat dengan memakai baju ghasab, jual beli yang mengandung unsur menipu.

4. Makruh
Makruh adalah sesuatu yang dituntut syari` untuk tidak dikerjakan oleh mukalaf dengan tuntutan yang tidak pasti,seperti jika bentuk tuntutan itu senderi menunjukkan ketidak pastian. Ulama usul fikih memberi pengertian haram dngan sesuatu yang pelakunya berhak mendapat siksa dan makruh dengan sesuatu yang pelakunya tidak berhak mendapat sikas; terkadang berhak mendapat cela.

5. Mubah
Mubah adalah sesuatu yang oleh syari` seseorang mukalaf diperintahkan memilih antara melakukan atau meninggalkan.

B. Hukum Wadh`I
Hukum wadhi` adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf dalam bentuk ketetapan .

Pembagian hukum wadh`i (hukum positif )
1. sebab.
Sebab adalah sesuautu yang oleh syari` di jadikan sebagai tanda atas suatu akibat dan hubungan adanya akibat dengan sebab serta tidak adanya akibat karena tidak adanya sebab.
Macam-macam sebab:
a. Sebab kadang-kadang menjadi sebab pada hukum taklifi. Seperti menyaksikan hilal Ramadhan yang menjadi sebab kewajiban berpuasa. Seperti firman allah:
    
b. Kadang-kadang sebab itu menjadi sebab untuk menetapkan kepemilikan, kehalalan atau menghilangkan keduanya. Seperti jual beli untuk menetapkan kepemilikan dan menghilangkan kepemilikan.
c. Kadang-kadang: “sebab” berupa sesuatu yang mampu dilakukan mukalaf, seperti ia membunuh secara sengaja menjadi sebab kewajiban kishash..
d. Kadang-kadang”sebab” berupa sesuatu yang tidak mampu dilakukan mukalaf dan bukan termasuk perbuatan mukalaf. Seperti masuk waktu menjadi sebab kewajiban shalat.
2. Syarat
Syarat adalah sesuatu yang adanya hukum itu tergantung pada adanya sesuatu, dan tidak adanya menjadikan tidak adanya hukum. Yang dimaksud adalah keberadaan menurut syara` yang dapat menimbulkan suatu pengaruh.
Syarat adalah sesuatu yang berada diluar sesuatu yang disyaratkan. Tidak adanya syarat menjadikan tidak adanya yang disyaratkan, tetapi adanya syarat belum tentu menjadikan adanya yang disyaratkan. Seperti wudhu, Wudhu adalah syarat untuk sahnya shalat. Jika tidak ada wudhu maka shalatnya tidak sah, tetapi ada wudhu belum tentu ada shalat.
Syarat menurut syara` adalah sesuatu yang dapat menyempurnakan sebab dan pengaruhnya dapat menghasilan akibat.

3. Mani` (penghalang)
Mani` adalah sesuatu yang adanya meniadakan hukum atau membatalkan sebab.
Mani` menurut istilah ulama ushul fikih adalah sesuatu yang ditemukan setelah terbukti sebab dan memenuhi syaratnya tetapi dapat menghalangi hubungan sebab dan akibat.

4. Rukhshah dan `Azimah
Rukhshah adalah keringanan hukum yang telah disyariatkan oleh Allah atas mukalaf dalam keadaan tertentu yang sesuai dengan keringanan tersebut.
Macam-macam rukhshah antara lain:
a. Diperbolehkannya suatu larangan ketika keadaan darurat atau menurut kebutuhan.
b. Kebolehan seorang mukalaf meninggalkan kewajiban ketika terdapat uzur kesuliatan menunaikanya. Barang siapa yang sakit di siang hari bulan ramadhan atau sedang bepergian , maka ia boleh berbuka.
c. Sahnya sebagian akad yang bersifat pengecualian yang tidak memenuhi syarat umum sebagai sahnya akad tersebut, namun hal itu berlaku dalam muamalat umat manusia dan menjadi kebutuhan mereka. Seperti akad salam (pesanan ) ia adalah jual beli yang pada saat akad barangnya tidak ada tetapi berlaku dikalangan umat manusia dan menjadi kebutuhan.
d. Menghapus hukum-hukum yang oleh Allah telah di angkat dari kita. Sedangkan hukum itu termasuk beban yang berat atas umat sebelum kita.
Ulama kelompaok Hanafi membagi rukhshah menjadi dua yaitu; Ruhkshah tarfih (keringanan yang menyenagkan ) dan rukhshah isqhah (keringanan yang menggugurkan).
Mereka juga membedakan bahwa rukhshah tarfih (keringanan yang menyenagkan) adalah pada dasarnya adalah hukum `Azimah (asal) yang masih berlaku dan dalilnya juga masih ada, tetapi boleh ditinggalkan sebagai keringanan dan menyenangkan mukalaf.
Sedangkan rukhshah isqhat maka hukum `Azimah(asal) tidak berperan lagi.
5. Sah dan Batal.
Sah menurut syara` adalah perbuatan mukalaf itu mempunyai pengaruh secara syara`. Maka apa yang timbul dari mukalaf; baik berupa perbuatan, sebab atau syarat dan tidak sesuai dengan apa yang dituntut dan disyariatkan oleh syari` maka disebut tidak sah menurut syara` dan tidak mempunyai pengaruh sama sekali. Sesuatu itu tidak sah mungkin karena cacat dalam rukunnya atau karena tidak memenuhi syarat–syaratnya, baik berupa ibadah, akad maupun pengelolaan. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara istilah batal dan fasid (rusak), dalam hal ibadah atau muamalah.
Al Mahkum Fih
Al Mahkum fih adalah perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan hukm syara`.
Firman allah;
    
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu
Kewajiban yang diambil dari khithab ini adalah berhubunagan dengan perbuatan muakalaf yaitu memenuhi janji yang kemudian dijadikan hukum wajib
Firman Allah;
         
Kesunahan yang diambil dari khithab ini adalah berhubungan degan perbuatan mukallaf, yaitu mecatat hutang piutang yang kemudian dijadikan hukum sunnah.

Syarat sah tuntutan dengan perbuatan :
1. tuntutan perbuatan itu harus diketahui mukallaf secara jelas hingga ia mampu melaksanakanya sebagaimana yang dituntutkan
2. hendaknya di ketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yang punya kekuasaan menuntut dan dari orang yang hukumnya wajib diikuti mukallaf. Karena dengan pengetahuan ini keiginan mukallaf akan mengarah untuk mengikuti tuntutan itu.
3. perbuatan yang di bebankan pada mukallaf harus berupa sesuatu yang mungkin, atau mampu dilakukan atau dihindari oleh mukallaf, dari ini ada dua cabang:
a. tidak sah menurut syara’ pembebanan yang mustahil, baik mustahil sebab perbuatan itu sendiri atau mistahil sebab yang lain, mustahil dengan sendirinya yaitu mustahil menurut akal, dan mustahil sebab yang lain yaitu menurut kebiasaan.
b. Tidak sah menurut syara’ membebani seseorang mukallaf agar orang lain berbuat atau meninggalkan suatu perbuatan.
Kesulitan ada dua :
Pertama: kesulitan yang menjadi kebiasaan manusia untuk menanggungnya, dan kesulitan ini masih dalam batas kemampuanya. Seperti kesulitan dalam mencari rejeki , misalnya bertani , berkebun berdagang dan lain-lain.
Kedua; kesulitan diluar kebiasasan manusia dan tidak mungkin selalu ditanggung. Seperti kepayahan dalam puasa wishal, terus-menerus mengerjakan shalat malam , mandito, pusa sambil berdiri dengan menatap matahari,dan lain-lain.
Kesulitan seperti ini tidak dibebankan oleh syari` karena dapat menyebabkan kesulitan dan mukalaf tidak harus menanggungnya.
Al Mahkum Alaih (mukallaf)
Almahkum alaih adalah mukallaf yang perbuatanya berhubungan dengan hukum syar`i.
Seorang mukallaf di anggap sah menaggung beban menurut syara` harus memenuhi dua syarat;
1. mukallaf mampu memahami dalil taklif seperti ia mampu memahami nash-nash hukum yang di bebankan kepadanya dari Al Qur`an dan As-Sunnah secara langsung atau dengan perantaraan.
2. mukallaf adalah ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya, ahli menurut bahasa artinya layak dan pantas
Sedangkan menurut istilah ulama’ ushul keahlian itu terbagi menjadi dua : keahlian wajib dan keahlian melaksanakan, keahlian wajib adalah kelayaan seseorang untuk mendapatkan hak dari Allah k pada manusia dan yang membedakanya diantara makhluk lain, sedangkan keahlian melaksanakan adalah kelayakan seorang mukallaf agar ucapan dan perbuatanya di perhitungkan menurut syara’.

Keadaan manusia di hubungkan dengan keahlian wajib.
Keadaan manusia jika dihubungkan dengan keahlian wajib ada dua:
1. keahlian wajib yang tidak sempurna jika mukallaf itu layak mendapat hak tetapi tidak harus menunaikan kewajiban atau sebaliknya.
2. keahlian wajib yang sempurna jika mukallaf layak menerima hak dan melaksanakan kewajiban
Keadaan manusia di hubugkan dengan keahlian melaksanakan
Manusia dalam hubunganya dengan keahlian melaksanakan memiliki tiga keadaan:
1. terkadang tidak memiliki keahlian melaksanakan sama sekali .
2. terkadang manusia memiliki keahlian melaksanakan yang tidak sempurna. yaitu seorang mumayyis yang belum sampai usia dewasa.
3. terkadang manusia memiliki keahlaian melaksanakan yang sempurna, yaitu orang baligh yang berakal.
Penghalang keahlian
Di antara penghalang keahlian antara lain; penghalang samawi yang tidak di upayakan atau di ikhtiyarkan oleh manusia, seperti gila, kurang akal dan lupa. dan penghalang kasbi yang terjadi akibat usaha manusia seperti mabuk, bodoh dan hutang.
Hal-hal yang menghalangi keahlian melaksanakan ini diantaranya dapat menghilangkan keahlian itu sama sekali seperti; gila, tidur, dan pingsan.
Diantaranya adalah sesuatu yang dapat mengurangi keahlian melaksanakan pada manusia dan tidak menghilangkanya sama sekali. Antara lain juga sesuatu yang mempengaruhi manusia, hanya saja tidak mempengaruhi keahlianya, tidak menghilangkan dan tidak pula mengurangi, tetapi mengubah sebagian hukumnya karena ada anggapan dan kemaslahatan yang di akibatkan perubahan itu, tidak karena hilang atau kurangnya keahlian; seperti bodoh, lupa dan hutang.

BAB : III
KAIDAH USUL FIKIH DARI ASPEK BAHASA

Kaidah dan batasan yang ditetapkan oleh pakar ushul fikih islam mencangkup beberapa hal:
1. Cara penunjukan kata pada arti
2. Bentuk kata yang berarti umum
3. Kata yang berarti umum, mutlak atau bermakna banyak
4. Kalimat yang mungkin dan tidak mungkin dita'wil
5. Mengambil arti adalah dengan keumuman lafal, bukan dengan kekhususan sebab
6. `Ataf (kata sambung) menghendaki pebedaan
7. Perintah secara mutlak berarti kewajiban
8. Juga batasan memahami makna dan cara pengambilan hukum yang lain

Kaidah pertama:
Mengambil Petunjuk Nash

Nash syara` atau undang-undang, harus dilaksanakan sesuai dengan pemahaman dari ungkapan, isyarat, adalah (petunjuk) atau tuntutanya. Karena sesuatu yang dipahami dari nash dengan salah satu di antara empat cara tersebut adalah pengertian nash, sedangkan nash adalah argumentasi dari pengertian itu.
واذا تعرض معنى مفهوم بطريق من هذا الطرق, ومعنى اخرمفهوم بطريق اخر منها رجح المفهوم من العبارة على المقهوم من الاشارة, ورجح المفهوم من أحدهما على المفهوم من الدلالة
Jika pengertian yang diambil dengan salah satu teori tersebut bertentangan dengan pengertian lain yang diambil dengan teori yang lain, maka yang dimenangkan adalah pengertian dari ungkapan bukan pengertian dari isysrat. Dan pengertian dari salah satu keduanya dimenangkan dari pengertian yang berdasarkan petunjuk(dalalah).
Arti global dari kaidah ini adalah bahwa nash syara` atau undang-undang kadang-kadang mempunyai pengertian yang berbeda-beda, karena pengambilan makna yang berbeda. Para ulama ushul berkata; wajib melaksanakan makna yang ditunjukkan oleh ungkapan jiwa dan rasionalitas nash.
Sedangkan arti kaidah itu secara rinci adalah menjelaskan maksud dari masing-masing teori pengambilan makna yang empat itu dengan contoh dari nash undang-undang nash atau buatan, antara lain;
1. ungkapan nash.
Yang dimaksud ungkapan nash adalah bentuk kalimat yang tersusun dari kosa kata dan susunan kalimat. Yang dimaksud dengan pemahaman dari ungkapan nash adalah arti yang langsung dapat dipahami dari bentuknya, dan itulah maksud dari redaksi nash.
   • 
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
Ayat ini menunjukkan kejelasan nash dengan dua makna yaitu bahwa jual beli itu tidak seperti riba dan hukum jual beli adalah halal sedang riba adalah haram.
2. Isyarat nash
Yang dimaksud pemahaman dari isyarat nash adalah makna yang tidak secara langsung dipahami dari kata-kata dan bukan maksud dari susunan katanya, melainkan makna lazim (biasa) yang sejalan dengan makna yang langsung dari kata-katanya.
     
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.(al Baqarah; 233).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa para bapak tidak bersama yang lain dalam kewajiban memberi nafkah kepada anaknya, karena anak adalah miliknya bukan milik orang lain. Dan apa menjadi milik anak adalah miliknya ayah dan ia berhak mengambil harta anaknya ketika membutuhkan dan tanpa menggantinya.
3. Petunjuk nash
Yang dimaksud petunjuk nash adalah makna yang dipahami dari jiwa dan rasionalitas nash. Firman Allah qs al isra':23.
    
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"

Dari nash ini menunjukan larangan memukul , menyakiti orang tua, karena berkata "ah" saja tidak boleh apalagi sampai menyakitinya atau memukulnya.
4. Kehendak nash
Maksud dari pemahaman ini adalah makna logika yang mana kalimat itu tidak dapat dipahami kecuali dengan mengira-ngirakan makna itu. Firman Allah swt qs an nisa': 23.
   •
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
Maksudnya haram mengawini mereka , begitu juga nenek.

Dari uraian secara global diatas dapat kita pahami bahwa nash itu dapat dipahami dengan empat cara pemahaman:
1. petunjuk Nash, dan nash itu menjadi dalil atas makna itu.
2. Makna yang diambil dari isyarat nash, adalah makna yang sepadan dengan makna ungkapannya secara tidak terpisah. Jadi makna itu adalah petunjuk nash secara lazim (logis)
3. makna yang diambil dari petunjuk nash, yaitu makna yang ditunjukkan oleh jiwa dan rasionalitas nash.
4. pengertian menurut kehendak adalah makna yang pasti yang menurut suatu makna tersembunyi untuk membenarkan nash atau menegakkan pengertianya.

Kaidah ke-2:
Mafhum Mukhalafah (Pengertian Kebalikan)

Pengertian global kaidah ini adalah bahwa nash syara` tidak memiliki petunjuk atas hukum yang dikandung oleh pengertian kebalikan dari bunyi nash.
Mafhum ini dibagi menjadi lima, dilihat dari hal yang membatasi:
1. Mafhum Al Wasfi (pemahaman dengan sifat). Misalnya firman Allah: “dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandungmu(menantu)” (QS. An Nisa`; 23). mafhum mukhalafahnya adalah istri anak-anak yang bukan kandung, seperti cucu sesusuan.
2. Mafhum Ghayah (pemahaman dengan batas akhir). Misalnya firman Allah: “dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hita, yaitu fajar.(QS. Al Baqarah: 230). Mafhum mukhalafahnya adalah bila terang benag putih itu dari benang hitam, yaitu fajar.
3. Mafhum Syarat (pemahaman dengan syarat). Seperti firman Allah: Dan jika mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkahnya. (QS. At Thalak; 6). Mafhum mukahalafahnya adalah jika istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil.
4. Maafhum Adad (pemahaman bilangan). Seperti firman Allah: “maka deralah yang menuduh itu delapan puluh kali dera. (QS. An Nur: 4). Mafhum mukhalafahnya adalah kurang atau lebih dari 80 kali dera.
5. Mafhum Laqab (pemahaman dengan julukan ) seperti firman Allah :
فى البر صدقة
“Pada gandum itu adalah kewajiban zakat".
Mafhum mukhalafahya adalah selain gandum.
Para ulama ushul fikih sepakat untuk tidak menggunakan mafhum mukhalafah nash bukan sebagai dalil pada satu contoh dan sebagai dalil pada contoh lain. Tetapi mereka berbeda pendapat bila menggunakan mafhum mukhalafah nash sebagai dalil dalam satu contoh saja.
1. Adapun mafhum mukhalafah yang disepakati para ulama untuk tidak digunakan sebagai hujjah nash adalah mafhum laqab.
2. Adapun mafhum mukhalafah yang disepakati para ulama untuk digunakan sebagai hujjah nash adalah pemahaman dengan sifat, syarat, bilangan atau batas akhir pada selain nash syara`.
3. Adapun contoh yang masih dipertentangkan ulama ushul dalam menggunakan hujah dengan mafhum mukhalafah adalah pemahaman kebalikan dengan sifat, syarat, batas akhir atau bilangan pada nash syara` secara khusus.
Jumhur ulama menjelaskan pendapat mereka dengan beberapa alasan
Pertama: yang langsung dipahami dari susunan ungkapan arab dan kebiasaan mereka dalam menggunakan ungkapan bahwa membatasi hukum dengan sifat, syarat, batas akhir atau bilangan-menunjukkan atas tetapnya hukum ketika ditemukan batasan dan tidak ada hukum ketika tidak ada batasa itu. Orang berkata : "menunda membayar hutang bagi orang kaya adalah aniaya,” dapat dipahami bahwa orang fakir tidak demikian.
Kedua: kebanyakan nash syara` yang menunjukkan suatu hukum dengan batasan-batasan tertentu, tidak berarti bahwa hukum itu hilang ketika batasan itu tidak ada

Kaidah ke-3
Dalalah yang jelas dan tingkatannya

1. Adz dhahir
Dzahir menurut ulama ushul fikih adalah sesuatu yang maksudnya ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa membutuhkan factor luar, bukan tujuan asal dari susunan katanya dan mungkin untuk ditakwil. Contoh firman Allah swt qs al baqarah: 275.
     •
Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Hokum dzahir wajib diamalkan sesuai dengan makna dzahirnya selama tidak ada dalil yang menuntut untuk diamalkan dengan selain yang dzahir.
Dzahir mungkin disalin, artinya bahwa hokum dzahir pada masa rasulullah saw dan pada penetapan syariat dapat dihapus kemudian diundangkan hokum penggantinya.

2. An nash
Nash adalah suatu yang dengan bentuknya sendiri menunjukkan makna asal yang dimaksud dari susunan katanya dan mungkin untuk ditakwil. Contoh firman Allah qs an nisa': 3.
         
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Hokum nash sama dengan dzahir. Artinya ia wajib diamalkan sesuai dengan nashnya. Nash itu mungkin utuk ditakwil, artinya yang dikehendaki dapat selain pada nash dan ia juga dapat menerima naskh.
Takwil menurut bahasa adalah menjelaskan sesuatu yang ditakwilkan padanya. Allah swt berfirman qs an nisa: 59.
                              
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Adapun secara istilah adalah memalingkan makna lafadz dari dalilnya karena ada dalil.

3. Al mufassar
Mufassar adalah nash yang dengan sendirinya menunjukkan makna secara rinci yang tidak memungkinkan adanya takwil. Contoh firman Allah swt qs an nuur: 4.
  
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera
Hokum mufassar harus diamalkan sebagaimana penjelasan terhadapnya, ia tidak mempunyai kemungkinan untuk dipalingkan dari makna lahirnya dan ia menerima naskh.
Dari perbandingan antara takwil dan tafsir, jelaslah bahwa keduanya menjelaskan maksud dari nash. Hanya saja tafsir menjelaskan maksud dengan dalil yang pasti dari syari' sendiri. Sedangkan takwil adalah menjelaskan nash dengan dalil yang bersifat dugaan dengan ijtihad, ia tidak pasti dalam mentukan maksud nash, sehingga masih mungkin diberi makna yang lain.

4. Al muhakkam
Yaitu sesuatu yang menunjukkan kepada makna yang dengan sendirinya tidak menerima pembatalan dan penggantian berdasarkan petunjuk yang jelas, dan sama sekali tidak mengandung takwil. Dan tidak menerima naskh baik masa kerasulan, masa kekosongan turunnya wahyu dan atau masa sesudahnya. Contoh firman Allah qs an nuur: 4.
     
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
Hokum al muhakkam secara pasti wajib diamalakan, tidak mungkin dibelokkan dari makna lahirnya atau disalin dan tidak menerima naskh.
Jika terjadi kontradiksi antara dzahir dan nash, maka yang dimenangkan adalah mash, karena ia lebih jelas petunjuknya.
Dan jika terjadi kontradiksi antara nash dan mufassar, maka mufassar dimenangkan, karena ia lebih jelas petunjuknya.

Kaidah ke-4
Dalalah yang tidak jelas dan tingkatannya

1. Al khafi (samar)
Yaitu lafadz yang menunjukkan makna secara jelas, tetapi dalam menerapkan arti kepada sebagian satuannya, mengandung kesamaran dan ketidakjelasan yang untuk menghilangkannya membutuhkan pemikiran dan perkiraan yang matang, sehingga lafadz itu dianggap samara dari sege penerapan arti kepada sebagian satuannya.
Contoh, lafadz "as saariq" artinya jelas, yaitu orang yang mengambil harta berharga milik orang lain secara tersembunyi dari tempat penyimpanannya. Tetapi untuk menerapkan arti ini kepada sebagian satuannya merupakan suatu kesamaran. Seperti pencopet.

2. Al musykil (sulit)
yaitu lafadz yang bentuknya tidak dapat menunjukkan kepada makna, bahkan harus ada qarinah (petunjuk) dari luar yang dapat menjelaskan maksud dari lafadz itu. Qarinah dapat diketahui dengan pembahasan dan penelitian.
Contoh firman Allah swt qs al baqarah: 228.
     
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Lafadz al quru' dalam ayat tersebut secara bahasa bermakna suci dan haidh. Sebagian pendapat ulama yang dimaksud al quru' tersebut adalah bahwa masa iddah perempun adalah tiga kali suci. Dan pendapat yang lain mengatakan bahwasannya masa iddahnya tiga kali masa haidh.

3. Al mujmal
Yaitu lafadz yang bentuknya tidak menunjukkan kepada makna, tidak ditemukan adanya alas an yang bersifat lafadz atau bersifat keadaan yang dapat menjelaskannya. Jadi sebab kesamaran dalam mujmal ini adalah bersifat lafdz bukan unsur yang baru. Contoh, seperti perintah untuk mengerjakan shalat, haji dan puasa yang diterangkan dalam alquran, kemudian sunnah menjelaskannya. Seperti sabda rasul saw,
صلوا كما رأيتموني أصلي
4. Al mutasyabih
Yaitu lafadz yang bentuknya itu sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dimaksud, tidak ada qarinag (alas an pendukung) dari luar yang menjelaskannya dan syari' dengan ilmunya hanya mencukupkan begitu saja tanpa penjelasan.
Contoh, ayat yang terdapat dalam penggalan surat, seperti: haa miim, shad, qaaf.

Kaidah Ke-5
Al Musytarak Dan Petunjuknya

Jika mustarak itu terjadi antara arti secara bahasa dan istilah syara`, maka yang harus digunakan adalah makna syara`. Jika makna mustarak itu terjadi antara dua arti bahasa atau lebih, maka yang harus digunakan adalah makna salah satunya dengan suatu petunjuk yang dapat menentukannya, tidak boleh menggunakan kedua atau makna-makna mustarak tersebut secara bersamaan.
Jadi lafal mustarak adalah lafal yang dibuat untuk dua makna atau lebih dengan pembuatan yang bermacam-macam yang dapat menunjukkan kepada maknanya secara bergantian artinya dapat menunjukkan arti ini atau itu.
Contoh lafadz mustarak yang terdapat dalam al quran, yaitu qs al baqarah: 228, al maidah: 31.
     
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
   
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya

Sebab terjadinya lafal yang mustarak menurut bahasa itu banyak sekali, yang paling penting diantaranya adalah perbedaan suku atau kabilah dalam menggunakan satu lafal untuk makna yang berbeda-beda. Seperti lafal al yad artinya bisa tangan keseluruhan ada yang hasta , telapak tangan dan ada yang lengan bawah saja.
Lafal musyatarak itu kadang berupa kata benda atau berupa kata kerja seperti bentuk perintah yang berarti wajib dan sunnah. Atau berupa huruf seperti huruf wawu untuk attaf dan untuk haal.
Dalam lafal mustarak tidak boleh dikehendaki dua arti atau lebih secara bersama-sama, sekira hukum yang ada pada nash itu dalam satu waktu berhubungan dengan satu makna. Karena makna itu tidak dikehendaki oleh syari`, kecuali hanya satu makna, sedangkan dibuat dengan memiliki beberapa makna adalah secara bergantian. Artinya bisa berarti ini atau itu.

Kaidah ke-6
Al `Aam (Umum) Dan Petunjuknya
Definisi Al`Aam
Al `aam adalah yang menurut arti bahasanya menunjukkan atas mencakup atau menghabiskan semua satuan-satuanya, yang sesuai maknanya tanpa membatasi jumlah dari satuan-satuan itu. Seperti lafal kullu aqd (setiap akad) yang terdapat ucapan para ahli fikih:
كل عقد يشترط لانقادهأهلية العاقدين
Untuk sahnya setiap akad disyaratkan adanya sifat keahlian pada dua orang yang melakukan akad.
Lafal al`aam:
1. Lafal “kull” dan “jami`” contoh
كل راع مسؤل عن رعيته
Setiap pemimpin itu bertanggung jawab atas apa yang dipimpinya.
خلق لكم ما فى الأرض جميعا
Dijadikan untuk kamu semua yang ada dibumi
2. lafal yang mufrad (tungggal) di ma`rifatkan dengan “Al” jinsiah contoh:
الزانية والزني
3. Jama` (prural) yang dima`rifatkan dengan “Al” al jinsiah contoh :
والمطلقات يتربصن
4. Isim Mausul (kata sambung). Contoh:
   
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) muslimah.
5. Isim syarat contoh:
ومن قتل مؤمنا خطأفتحريررقبة مؤمنة
6. Isim Nakirah (umum) yang dinafikan. Contoh:
لاضررولاضرار
Petunjuk Al`Aam
Bahwa Al`Aam wajib diamalkan dengan keumumanya sampai ada dalil yang mentakhsisnya. Juga tidak berbeda dalam menetapkan bahwa Al`Aam itu mungkin untuk ditaksis dengan suatu dalil, dan mentakhsisnya tanpa dalil adalah takwil yang tidak diterima.
Macam-macam al`aam
1. Al`Aam yang dimaksudkan adalah umum secara pasti. Yaitu Al`Aam yang di sertai alasan yang dapat menghilangkan kemungkinan takhsis, seperti Al`Aam dalam firman Allah l :
          
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya,(huud:6)
2. Al`Aam yang dimaksudkan adalah khusus secara pasti. Yaitu Al`Aam yang disertai alasan yang dapat menghilangkan ketetapanya atas makna umum dan menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah bagian satuanya, seperti firman Allah l qs ali imran: 97.
ولله على الناس حج البيت
3. Al`Aam yang ditakhsis. Yaitu Al`Aam yang mutlak, tidak disertai dengan alasan yang meniadakan kemungkinan takhsis, tidak pula alasan yang meniadakan petunjuk atas umum. Lafal ini adalah umum lahirnya, sampai ada dalil yang mengkhususkanya. Seperti dalam firman Allah l :
والمطلقات يتربصن
Takhsis al`aam
Yaitu menjelaskan bahwa yang dimaksud Al`Aam menurut syari` pada mulanya adalah sebagian satuanya, tidak seluruhnya. Maka hadis nabi saw.:
لاقطع فى أقل من ربع دينار
Adalah mentakhsis Al`Aam yang terdapat dalam firman Allah k :
    
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (al maidah:38)
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa Takhsis menurut istilah ulama usul fikih harus ada dalil yang menyertai pensyariatan Al`Aam tersebut. Karena penyertaan ini menjadi jelaslah bahwa yang dimaksud pada mulanya denagn Al`Aam adalah sebagian satuanya. Jika dalil itu datang sesudah pensyariatan Al`Aam maka ia disebut dengan naskh juz-iy (menyalin sebagian).
Dalil takhsish
Dalil takhsis kadang-kadang tidak terpisah dari lafal nash yang umum, seperti masih sambung dan seperti bagian darinya, dan terkadang terpisah dan berdiri sendiri dari nash yang umum. Diantara dalil yang sambung dan tidak berdiri-sendiri yang paling jelas adalah Istitsna`(perkecualian), syarat, sifat dan ghayah (tujuan akhir)
Perkecualian, misalnya firman Allah k dalam ayat madaniyah setelah memerintah kan untuk menulis transaksi hutang-piutang yang tidak tunai:
             
kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.(al Baqarah:282)

Syarat, misalnya firman Allah l :
                    •    
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.(an Nisa`: 101)

Sifat, seperti firman Allah l:
    
dari isteri yang Telah kamu campuri, (an Nisa`:23)
Al Ghayah, seperti firman Allah l :
  
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, (al maidah 6)

Dan diantara dalil takhsis yang berdiri sendiri dan terpisah dari yang umum, yang paling jelas adalah akal, kebiasaan, nash dan hikmah penetapan hukum syara`.
Diantara takhsis dengan akal adalah seperti yang kami jelaskan sebelumya, yakni mentakhsis lafal “an Naas” dalam firman Allah qs ali imran: 97
ولله على الناس حج البيت
Dengan orang yang tidak termasuk memiliki kecakapan dalam melaksanakan haji, misalnya anak kecil dan orang gila.
Diantara takhsis dengan kebiasaan, adalah mentakhsis lafal al walidaat (para ibu)dalam firman Allah l :”para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh. (al Baqarah: 233). Dengan orang-orang selain ibu yang punya kedudukan tinggi, yang bukan merupakan kebiasaan mereka untuk meyusui anaknya.

Diantara takhsis dengan nash adalah seperti yang kami tunjukkan sebelumya dibanyak tempat, seperti firman Allah k terhadap wanita yang ditalak sebelum disetubuhi:
“Maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakanya.(al Ahzab:49)
Yang mentakhsis firman Allah k : “wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menuggu) tiga kali Quru`.(al Baqarah: 228)

Kaidah ke-7
Al Khaas Dan Petunjuknya

Jika didalam nash terdapat lafal yang khusus, maka hukumnya ditetapkan secara pasti atas yang ditunjukkannya, selama tidak ada dalil yang mentakwildan menghendaki makna yang lain.
lafal khusus
lafal khusus adalah lafal yang dibuat untuk menunjukkan satu satuan tertentu; berupa orang, seperti muhamad atau sejenis, seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas sperti,tiga belas, seratus, kaum, golongan jamaah, kelompok dan lafal lin yang menunjukkan jumlah satuan dan tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuan.
Kadang-kadang laafal-lafal kusus berbentuk mutlak tanpa batasan, dibatasi dengan suatu batasan, berbentuk tuntutan melakukan perbuatan seperti ittaqil laaha. Dan kadang berbentuk larangan melakukan perbuatan seperti walaa tajassasu maka semua itu masuk dalm keolompok kushus yang mutlak, terbatas, peintah dan larangan.
Mutlak dipahami secara mutlak kecuali jika ada dalil yang membatasinya.jika dua nash itu sma dakam hukum , sebab atau keduanya mak lafal yang mutlak dipahami dengan yang dibatasi. Tetepi jika dua nash itu berbeda dalam hukum, sebab atau kedua-duanya maka lafal yang mutlak tidak boleh diartikan terbatas tetapi yang mutlak diamalkan sebagaimana kemutlakanya pada tem[petnya yang terbatas diamalkan menurut batasan pada tempatnya pula.
Contoh dua nash yang berbeda hukumnya tetapi sama dalam sebabnyaadalah firman Allah l : hai orang orang yang beriman, apabila kamuj hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan kedua tanganmu sampai dengan siku (al maidah:92)
Dan firman Allah l :
Maka bertyamumlah kamu dengan tanah baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu (an nisa`:43)
Sebanya sama yaiutu bersuci dan hukumnya bebeda yang sartuy wajib membasuh dan yang kedua kewajiban mengusap.
b. Bentuk amar (perintah)
jika lafal khusus yang terdapat pada nash syara` itu berbentuk peruntah atau bentuk berita yang bermakna perintah maka berarti kewajiban .
jka, terdapat alasan tertentu maka bentuk perintah dibelokkan dari arti kewajiban kepada arti lain yang dapat dipahami dari alasan tertentu, misalnya berarti mubah dalam firman Allah l : fakuluu wasrabu , berarti nadb sunah.
Bentuk perintah menurut bahasa tidak menunjukkan lebih dari tuntutan mewujudkan suatu yang diperintah, tidak menunjukkan tuntutan mengulangi , juga tidak menunjukkan kewajiban berbuat seketika.

c. bentuk nahi (larangan)
jika lafal khusus yang terdapat dalam nash syara` iti berbentuk nahi atau bentuk berita yang bermakna larangan, maka berrti haram.
Apabial terdapat alasan yang dapat membelokkan makna hakiki kepada makna majazi maka pemahamanya adalah menurut petunjuk alasan tersebut. Seperti berarti do`a dalam firman Allah swt :ربنالاتزغ قلوبنا
Sebagian ulama usul fikih berpendapat bahwa bentuk lafal itu termasuk lafal yang memiliki arti banyak. Bentuk larangan sama halnyadenagn bentuk perintah, perbedaan keduanya juga sama.

BAB : IV
KAIDAH POKOK
PEMBETUKAN HUKUM SYARA`

Kaidah pertama:
Tujuan Umum Pembentukan Hukum Syara`

Yang menjadi tujuan umum bagi syari` dari pembentukan hukum ialah mewujudkan kemaslahaan manusia dengan menjamin kebutuhan dhaururiah (primer)nya, memenuhi haajaiyah (sekunder), serta kebutuhan tahsiiniyyah (pelengkap)nya
Setiap hukum syara`tidak memiliki tujuan kecuali satu di antara tiga hal yang dapat mewujudkan kemaslahatan manusia ini.
Bunyi kaidah itu adalah “tujuan umum syari` dari pembentukan hukum adalah membuktikan kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, memotifasi kebaikan bagi mereka dan menolak bahaya dari mereka.
Adapun bukti bahwa kemaslahatan manusia itu tidak lepas dari tiga hal dia atas adalah naluri dan kenyataan, karena setiap kemaslahatan pribadi atau masyarakat terbentuk dari masalah primer, sekunder, dan pelengkap .
Kebutuhan primer apa saja yang disyariatkan oleh islam?
Kebututhan primer manusia ada lima:
1. agama,
2. jiwa,
3. akal,
4. harga diri,
5. dan harta benda.
Agama adalah kumpulan akidah, peribadatan, hukum dan perundang-undangan yang ditetapkan Allah k untuk mengatur hubungan manusia dengan tuhanya dan hubungann manusia dengan sesamanya.
Jiwa, untuk mewujudkannya, islam mensyariatkan perkawinan untuk beranak, berketurunan dan menjaga sepesiesnyadenagncara yang sebaik-baknya.
Untuk memelihara akal, islam mengharamkan khamr.
Demi menjaga harga diri , islam mensyariatkan hukuman bagi yang berzina dan yang menuduh orang berzina.
Harta, untuk mendapatkannya, islam menetapkan kewajiban mencai rezki,memperbolehkan barter, perdagangan, dan berniaga. Untuk menjaga ilam mengharamkan pencurian,penipuan, penghianatan, dan memaklan harta orang lain secara tidak benar.
Islam juga menjamin semua kebutuhan primer manusia dengan memperbolehkan yang dilarang ketika dalam keadaan darurat.
Kebuhan sekunder apa yang disyariatkan oleh islam?
Kebutuhan sekunder manusia adalah kembali kepada hilangnya kesulitan dari mereka, ringannya beban yang mereka pikul dan kemudahan mereka dalam kegiatan muamalah dan. Islam dalam kaitanya dengan kegiatan muamalah , ibadah dan hukuman itu menetapkan sejumlah hukuman menetepkan sejumlah hukum yang bertujuan menghilangkan kesulitan dan memudahkan umat manusia.
Dalam hal ibadah, islam ditetapkan hukum rukhshah.
Dalam bermuamalah ditetapkan bermacam-macam akad dan pengelolaan untuk menutupi kebutuhan manusia, seperti jual beli sewa menywa dan lainya.
Dalam hukuman, diisyariatkan hukum denda bagi orang yang wajib membayarnya sebagai keringanan atas pembunuhan secara tidak sengaja.
Tujuan syari` dalam menetapkan hukum-hukumyang berupa keringanan menghilagkan kesulitan itu diiutnjukkan oleh alasan hukum dan hikmah penetapan hulkum yang mrnyertainya. Seperti firman Allah l:
ما يريدالله ليجعل عليكم من حرج
Allah tidak hendak menyulitkan kamu (al Maidah:6)
Kebutuhan pelengkap apa saja yang disyariatkan oleh islam?
Yaitu kembali kepada segala sesuatu yang dapat memperindah keadaan manusia. Dapat menjadi sesuatu yang sesuai dengan tuntutan harga diri dan kemulyaan akhlak. Islam telah menetapkan berbagai hukum entang ibadah , muamalah, dan hukuman yang bertujuan untuk perbaikan , keindahan serta tradisi mereka menjadi lebih baik dan menunjukkan mereka kejalan yang paling baik dan paing tegak.
Dalam hal ibadah, islam menetapkan kebersihan badan , tempat, menutup aurat, menjaga dari najis, membersihkan dari najis, berbuat baik denagn sedekah, salat dan puasa serta segala bentuk ibadah yang ditetapkan beserta rukun, syarat dan tata krama.
Dalm hal alah , haram melakukan penipuan,mempedaya dan pemalsuan, boros, kikir terhadap diri sendiri . haram menggunakann sesuatu yang najis dan berbahaya.
dalam hukuman , dalam jihad diharamkan membunuh para rahib dan, anak anak dan wanita.
Alah ytelah menunjukkan maksudnya terhadap keindahan kebaikan denagn alasan dan hikamh penetapan hukum yang menyertai sebagian hukumnya. Seperti firman Allah:
        
tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.(al Maidah:6)
Urutan hukum syara` menurut tujuannya
yaitu :urutan pertama adalah dharuri, kemudian haajiy, dan tahsiiniy, dharuri (primer) adalah tujuan yang paling utama, karena tanpanya ,aturan hidup m,enjai cacat, banyak ttimbul kerusakan diantara manusia dan kemaslahatan jadi tersiasiakan. Urutan kedua adalah hijiy (kebutuhan sekunder) karena tanpa dia manusia akan mengalami kesempitan, kesulitan dan beban berat yang harus dipikul. Berikutnya adalah tahsiiniy(kebutuhan pelengkap), karena meskipun tanpa dia aturan hidup manusia itu tidak rusak dan tidak pula ditimpa kesulitan akan tetapi manusia akan keluar dari tuntutan menjadi manusia sempurna dan bermartabat serta yang dianggap baik menurut akal sehat.
Hukum dharuri itu wajib dijaga. Tidak boleh merusak salah satu hukumya kecuali jika dalam penjagaannya dapat merusak huum dharuri yang lebih utama. Oleh karena itu:
1. wajjib berjihad untuk mempertahankan agama, meskipun pengorbanan jiwa, karena mempertahankan agama lebih penting dari pada mengorbankan jiwa.
2. boleh minum khomer jika dipakssa meminumnya dengan ancaman dibunuh, dipotong anggota tubuhnya, atau terpaksa karena sangat haus, karena menjaga jiwa lebih penting dari pada menjaga akal.
3. jika dipaksa merusak harta orang lain, maka boleh menjaga diri dari kematian meskipun denga mngorbankan harta orang lain.
Hukum-hukum ini menyia-yiakan hukum dharuriy karena menjaga hukum dharuri yang lebih penting.
Berikut adalah dasar hkum syara` yang khusus untuk menolak bahaya dan contoh cabah yang timbul dari setiap dasar hukum itu:
الضرر يزال شرعا
“Bahaya itu menurut syara` harus dilenyapkan”.
الضررلايزال بالضرر
“bahaya tidak boleh dilenyapkan dengan bahaya”.
يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام
“bahaya yang bersekala kecil ditangguhkan demi menolak bahaya yang bersekala besar”. Sepertiseseoirang pembunuh dibunuh demi menjaga jiwa yang lain.
يرتكب أخف الضررين لاتقاء أشدهما
“melaksanakan bahaya yang lebih ringan demi terhindar dari bahaya yang lebih berat”.diantaracabangnya menahan suami yang menunda-nunda pemberian nafkah kepada istri.
دفع المضار مقدم على جلب المنافع
“menolak bahaya harus didahulukan dari pada menarik manfaat”. Diantara cabangnya ; pemilik harta dilarang membelanjakan hartanya jika pembelanjaan itu membahayakan orng lain.
الضررات تبيح المحظورات
“ keadaan darurat itu menjadiakn boleh melakukan yang dilarang”.
الضرورة تقدر بقدرها
“darurat itu diukur menurut ukuranya.” Diantara cabangnya; orang yang terpaksa memakan barang yang diharamkan, tidak boleh memakannya kecuali sekedar menghindari kerusakan (sudah tidak dianggap terpaksa)

Berikut ini adlah penjelasan mengenai dasar-dasar yang khusus menghilangkan kesulitan:
المشقة تجلب التيسير
“ kesulitan itu mendatangkan kemudahan”. Seperti boleh berbuka dibulan romadhan karena bepergian, dan boleh mengqosar shalat dala bepergian.
الحرج شرعا مرفوع
“Kesulitan itu menurut islam dapat dihilangkan .”
Seperti kesaksian seorang wanita dalam hal yang tidak boleh dilihat kaum laki-laki, seperti cacat perempuan dan keadaanya.
الحجات تنزل منزلة الضرورات في اباحة المحظورات
“kebutuhan itu menempati kedudukan darurat dalam kebolehan memperoleh sesuatu yang haram.” Diantara cabangnya; keringanan dalam akad pesanan, jual beli secara wafa` pekewrja industri , jamminan susulan , boleh meminjam dengan bunga bagi orang yang membutuhkan , dan akad lain serta pengelolaan atas sesuatu yang tidak diketahui atau tidak ada tetapi dituntut oleh kebutuhan.

Kaidah ke-2
Tentang Hak Allah Dan Hak Mukallaf

Perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan hukum syara`, jika bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat secara umum, maka hukumnya adalah murni hak Allah k dan mukalaf tidaK mempunyai pilihan sama sekali, sedang pelaksanaannya diserahkan kepada waliyyul amri. Jika perbuatan itu bertujuan untuk kemaslahatan mukalaf saja, maka hukumnya adalah murni hak mukalaf, sedang mukalaf dalam pelaksanaanya boleh memilih.
Kaidah pembentukan hukum yang pertama mengandung pengertian bahwa hukum islam secara umum bertujuan untuk merealisir kemaslahatan manusia. Sedangkan kaidah pembentukan hukum yang kedua ini mengandung pengertian bahwa kemaslahatan yang menjadi tujujan penetapan hukum itu terkadang untuk kemaslahatan masyarakat secara umum, kemaslahatan yang kusus untuk orang tertentu dan terkadang kemaslahatan untuk kedua-duanya.
Yang dimaksud dengan hak Allah k adalah hak masyarakat yang hukunya disyariatkan untuk kepentingan umum buakan untuk kepentingan individu secara kkusus.
Yang dimaksud dengan hak mukalaf adalah hak individu yang hukumnya disyariatkan khusus untuk kepentingan individu.
Adapun hak murni bagi Allah l dapat disempulkan ke dalam beberapa hal:
1. ibadah murni, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, juga dasar dari semua ibadah tersebut yaitu iman dan islam.
2. ibadah yang mengandung arti kesejahteraan, seperti zakat fitrah.
3. pungutan yang ditetapkan atas pertanian baik berupa pungutan sepuluh persen atau berdasarkan pajak.
4. pungutan-pungutan yang ditetapkan pada barang rampasan perang, harta benda dan hasil tambang yang terdapat dalam perut bumi.
5. jenis hukuman yang sempurna, yaitu hukuman zina, hukuman mencuri, hukuman pemberontakan yang memerangi Allah k dan rosulnya, dan mewrewka yang berbuat kerusakan diatas bumi. Semuanya demi kemaslahatan masyarakat secara umum.
6. jenis hukuman yang terbatas, pembunuhan yang terhalang untuk mendap[atkan bagian waris adalah jenis hukuman terbatas.
7. hukuman yang mengandung arti ibadah, seperti denda bagi orang yang melanggar sumpah, denda bagi orang yang sengaja berbuka pada siang bulan ramadhan, denda bagi orang yang membunuh dengan tidak sengaja atau mendzihar istrinya.
Adapun yang murni hak mukalaf misqalnya menaggung orang yang telah merusak dengan harta sepadan atau senilai hartanya. Menahan barang yang digadai adalah murni hak penerima gadai.
Bahwa hukuman yang ditetapkan dalam al Qur`an, yakni hukuman syara` yang lima: diantarnaya adalah hukuman murni hak Allah k yaitu hukuman zina, mencuri, hukuman berbuat kerusakan dibumi dengan keluar dari kelompok islam ,hukuman menuduh zina kepada wanita bersuami.
Diantara hukuman yang menjadi hakj Allah k dan mukalaf tapi hak mukalaf dimenagkan yaitu qishas,maka korban boleh memaafkan pelaku pembunuhan.
Dari keterqangan diatas ada dua penjelasan:
Pertama: setiap bentuk hukuman syara` didalamnya ada hak Allah k, Artinya untuk masyarakat. Tetapi hak ini kadang-kadang murni dan kadang disertai hak individu; adakalnya dimenagkan dan adakalnya dikalahkan.
kedua:syariat agamaislam itu terpisah dengan pandangan kriminal dalam undang-undang positif kita tentang hukuman qishas atas pembunuhan yang disengaja dan hukuaman bagi yang terbukti berzina.

Kaidah ke-3
Hal-Hal Yang Boleh Dijadikan Obyek Ijtihad
Definisi
Tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang terdapat nash yang jelas dan pasti.
Ijtihad menurut istilah ulama ushul adalah mengerahkan segala daya untuk menghasilkan hukum syara` dari dalilnya yang rinci diantara dalil syara`.

Majal (ruang lingkup) ijtihad
Peluang ijtihad ada dua: peristiwa yang tidak ada nashnya sama sekali dan peristiwa yang memiliki nash tetapi tidak pasti. Dan tidak peluang ijtihad pada masalah yang memiliki nash yang pasti.
Kecakapan syarat-syarat berijtihad
Untuk membuktikan seseorang itu cakap berijtihad dibutuhkan empat syarat:
1. hendaknya ia mempunyai menetahui pengetahuan bahasa arab.
2. hendaknya ia mempunyai pengetahuan tentang al Qur`an.
3. Ia juga harus memiliki pengetahuan tentang hadis.
4. hendaknya ia mengerti kisi-kisi kias.

Hokum Pengelompokan ijtihad
ijtihad itu tidak dapat dikelompokkan; yakni tidak dikatakan bahwa seseorang itu mujtahid di bidang hukum talak tetapi bukan mujtahid di bidang hukum jual beli, atau mujtahid dalam bidang hukuman, tetapi bukan mujtahid dibidang ibadah.

Benar dan salah dalam ijtihad
Seorang mujtahid mendapat pahala. Bila ijtihadnya benar mendapat dua pahala: satu pahala atas ijtihadnya dan satu pahala untuk kebenaran ijtihadnya.apabila ia salah mendapat satu pahala atas ijtihadnya.

Hokum mengganti ijtihaj
Ijtihad itu tidak dapat dirusak dengan ijtihad yang lain.

Kaidah ke-4
Tentang Nasakh

Tidak ada nasakh hukum syara` yang terdapat dalam al Qur`an dan hadis setelah wafatnya Rosuullah n.

Definisi
Nasakh menurut istilah ulama ushul adalah membatalkan pelaksanaan hukum syata` dengan dalil yang datang kemudian, yang pembatalan itu secara jelas(eksplisit) atau terkandung(implisit) keseluruhan atau sebagian, sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.
Hikmah Nasakh
Nasak ini dapat terjadi pada undang-undang Allah k dan undang-undang manusia. Karena tujuan dari setiap perundangan ; baik tuhan maupun manusia, adlah merealisir kemaslahatan manusia. Seangkan kemaslahatan manusia itu dapat berubah menurut perubahan keadaan mereka.
Macam-macam nasakh
Nasakh yang tegas (eksplisit) dan yang terkadung(implisit).
Nasakh yang tegas adalah jika syari` menetapkan nash yang dalam penetapa hukum yang datang kemudian untuk membatalkan hukum sebelum.
Seperti firman allah dalam (Qs. Al Anfal: 65-66).
 •                                                         
Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah Telah meringankan kepadamu dan dia Telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.

Sedangkan nasakh yang bersifat implisit adalah jika syari` tidak menegaskan dalam nash yang datang kemudian untuk membatalkan hukum sebelumya, tetapi dia menetapkan hukum ytang bertentangan dengan hukum yang dahulu.tidak mungkin memadukan kedua hukum itu kecuali dengan mengindahkan salah satunya, sehingga dianggap bahwa hukum yang baru menghapus hukum yang lama secara implisit.
Terkadang nasakh itu kulliy (secara keseluruhan) dan kadang nasakh itu juz-iy (kepada sebagian)
Nasakh kulliy adalah jika syari` membatalkan hukum yang ditetapkan lebih dulu secara keseluruhan dengan menyangkut keseluruhan mukalaf. Seperti syari` membatalkan kewajiban wasiat untuk dua orang tua dan kerabat dengan penetapan hukum waris dan larangan wasiat kepada ahli waris.
Nasakh juz-iy apabila hukum itu disyariatkan secara umum yang mencakup semua individu mukalaf, kemudian hukum ini tidak berlaku bagi sebagian individu mukallaf.atau hukum itu disyariatkan secara mutlak kemudian tidak berlaku dalam sebagian kondisi . maka nash yang menghapus itu tidak dapat membatalkan pelaksanaan hukum yang pertama secara keseluruhan, tetapi dapat membatalkan hanya untuk sebagian individu atau sebagian kondisi saja.
Nash yang dapat dinasakh dan yang tidak
Diantara nash yang tidak dapat dinasakh:
1. Nash yang mencakup hukum dasar yang tidak dapat berubah sebab perubahan kondisi manusia dan tidak berubah menjadi baik atau jelek sebab perbedaan tolak ukur. Seperti nash yang mengandung kewajiban beriman kepada Allah k, Rosul, kitab,nya dan hari akhir, serta dasar-dasar akidah dan ibadah yang lain.
2. nash yang mengandung hukum yang bentuk kalimatnya menunjukkan kekuatan hukum itu, karena penguat itu menunjukkan tidak adanya nasakh. Seperti firman Allah k dalam menjelaskan hukum tentang penuduh zina (kepada wanita bersuami)
ولاتقبلوا لهم شهادة أبدا
Dan janganlah kamu tereimaq kesaksian mreka buat selama-lamanya.(QS. An Nuur:4)
3. nash yang menceritakan kejadian-kejadian yang telah lalu(masa sebelum nabi Muhammad n )

Nash yang menerima nasakh
Dasar umumnya adalah nash itu tidak dapat dinasakh kecuali dengan nash yang sama kekuatanya atau lebih kuat.
Maka al quran mugkin dinasakh oleh sebagian yang lain, dan mungkin dinasakh oleh hadis yang mutawatir, karena sama-sama pasti dan kekuatanya juga sama.
Bahwa nash tidak dapat dinasakh kecuali oleh nash, tak pernah terbayang bahwa nash dinasakh oleh ijmak. Karena nash itu ketika telah pasti maka ijmak yamg bertentangan dengannya menjadi tidak sah.

Kaidah ke-5
Tentang Ta`Arud Dan Tarjih

Ta'arudh adalah kontradiksi antara dua nash dan memenangkan antara salah satu antara dua dalil.
Jika terdapat dua nash yang kontradiktif menurut arti lahirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memaduakan keduanya dengan cara-cara memadukan yang sohih.jika tidak memungkinkan untuk dipadukan maka ditarjih. Jika kedua tidak mungkin ditarjih maka yang datangnya lebih akhir menasakh yang lebih dulu.dan jika tidak diketahiu waktu turunya, maka pelaksanaan keduanya mauquf(dihentikan).
Tidak ada kontradiksi antara nash yang pasti dan nash yang dugaan dan tidak terjadi pula antara nash, ijmak dan kias. Kontradiksi itu mungkin terjadi antara dua ayat, dua hadis mutawatir, antara ayat dengan hadis mutawatir, dua hadis yang tidak mutawatir atau antara dua kias.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak ada kontradiksi yang hakiki antara dua ayat, antara dua hadis shahih atau antara ayat dengan hadia shahih. Jika tampak kontradiksi antara dua nash diantara nash-nash ini , maka kontradiksi itu hanya pada lahirnya saja, yang tampak menurut pandangan kita, dan bukan kontradiksi yang hakiki.
Diantara cara memadukan adalah denagn mentakwil salah satu dua nash, yakni memalingkan dari makna lahirnya.diantara cara memadukan adalah menganggap salah satu nash itu sebagai pentakhsis dari nash yang lain atau sebagai pembatas kemutlakan nash lain.
Jika tidak munkin dipaduka maka mentarjihnya. Kadang-kadang tarjih ini diperoleh dari cara-cara pentunjuk makna; maka makna yang ditunjukkan oleh ungkapan nash lebih dimenagkan dari pada yang ditunjukkan oleh isyarat nash. Yang mufasar dimenagkan atas dzahir dan nash.
Jika kontradiksi antara dua dalil syara` bukan nash, seperti kontradiksi antara dua kias. Mungki saja kontradiksi yang hakioki, karena mungkin saja salah satu kias itu salah. Jika mugkin memenagkan salah satu dau kias, maka itulah yang diamalkan.
Peluang bagi ulama ushul untuk memadukan atau memenagkan antara dua nash dan kias yang bertentangan adalah sangat luas. Diantar cara memenagkan adalah bersifat buatan ulama, didalamnya terdapat dasar-dasar memenagkan secara umum. Seperti perkataan para ulam jika terdapat pertentangan antara yang mubah denagn yang haram maka yang haram dimenangkan. Wallahu A'lam Bis Shawab

1 komentar: