PEMBAHASAN PARA ULAMA TENTANG SUNNAH,
IJMA’, QIYAS DAN IJTIHAD SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN TASYRI’
MAKALAH
Disusun sebagai salah satu tugas mata
kuliah Tarikh Tasyri’ yang dibimbing oleh:
Bapak H. Sahlani Ahmad, Lc, M.Pd.I
Semester VII B.
Disusun oleh:
KELOMPOK XI
1.
NURKHOLIS
2.
NURLIA ALIYAH
3.
RAHMAWATI
4.
TB. MAMBAUL HIKAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG ( UMT )
Sekretariat : Jl. Perintis
Kemerdekaan I/33 Cikokol - Kota
Tangerang - Banten 15118
2012 M / 1434 H
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puja dan puji
syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan
limpahan rahmat-Nya kepada kita semua selaku para hamba-Nya. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita menuju
terangnya Iman dan Islam, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan sebaik-baiknya.
Alasan penulis memilih judul: “PEMBAHASAN PARA ULAMA TENTANG SUNNAH, IJMA’,
QIYAS DAN IJTIHAD SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN TASYRI” adalah
agar penulis lebih memahami pembahasan para ulama tentang Sunnah, Ijma’, Qiyas
dan Ijtihad serta pengaruhnya terhadap
perkembangan tasyri’ dan sebagai salah
satu syarat untuk mengikuti Ujian Akhir semester VII fakultas Agama Islam pada mata
kuliah Tarikh Tasyri'.
Dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1.
Bapak
H. Ahmad Badawi, S.Pd, M.M selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang.
2.
Bapak H. Sahlani Ahmad, Lc,
M.Pd.I selaku dosen pembimbing mata kuliah
Tarikh Tasyri’.
3.
Rekan-rekan
seperjuangan dalam menuntut ilmu di Kampus UMT.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan rekan-rekan mahasiswa. Saya menyadari bahwa makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu segala kritik dan saran yang
membangun akan saya terima demi kesempurnaan diskusi atau makalah selanjutnya
dimasa yang akan datang.
Tangerang, 31 Desember 2012 M
|
17 Shafar 1434 H
Penulis
|
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ………………………………………………………………i
DAFTAR
ISI ………………………………………………………………..............ii
BAB
I PENDAHULUAN ……………………………………………………….....1
BAB
II PEMBAHASAN PARA ULAMA TENTANG
SUNNAH, IJMA’, QIYAS, DAN
IJTIHAD SERTA PENGARUHNYA TERHAD PERKEMBANGAN
TASYRI’…………………………………………………………………...3
Tasyri’………………………………………………………………………10
BAB
III PENUTUP
……………………………………………………………...13
DAFTAR PUSTAKA
………………………………………………………….....14
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita dapat melihat dalam
era kebangkitan fiqh ini dapat kita lihat sekurang-kurangnya terdapat empat
pola utama yang menonjol.
Pertama, modernisme,
dalam pola ini digandrungi oleh banyak ulama yang terdidik dalam alam sekuler.
Kedua, Survivalisme, agaknya berbeda dengan pola pertama. Dalam pola kedua ini bercita-cita ingin membangun pemikiran fiqh dengan berpijak kepada mazhab-mazhab fiqh yang sudah ada. Dengan menggali permasalahan yang didasarkan pada pemikiran mazhab tersebut tanpa memandang kepedulian sosial.
Ketiga, tradisional, pola ini keþÃnderungan dengan aliran salafiyah, yang lebih menekankan pada kembalinya kepada al-Qur`an dan as-Sunnah dengan mendakwahkan keharusan mengikuti ulama salaf (sahabat dan tabi`ien) dengan karakteristiknya adalah benar-benar memegang sunnah Nabi yang sekiranya tidak keluar dalam nash al-Qur`an.
Kedua, Survivalisme, agaknya berbeda dengan pola pertama. Dalam pola kedua ini bercita-cita ingin membangun pemikiran fiqh dengan berpijak kepada mazhab-mazhab fiqh yang sudah ada. Dengan menggali permasalahan yang didasarkan pada pemikiran mazhab tersebut tanpa memandang kepedulian sosial.
Ketiga, tradisional, pola ini keþÃnderungan dengan aliran salafiyah, yang lebih menekankan pada kembalinya kepada al-Qur`an dan as-Sunnah dengan mendakwahkan keharusan mengikuti ulama salaf (sahabat dan tabi`ien) dengan karakteristiknya adalah benar-benar memegang sunnah Nabi yang sekiranya tidak keluar dalam nash al-Qur`an.
Keempat, neo
survivalisme, dalam perkembangan terakhir ini, banyak di kalangan ulama dan
fuqaha merespon perkembangan yang baru.
B. Perumusan Masalah
B. Perumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka permasalahan
yang dapat penulis rumuskan adalah sebagai berikut :
1. Apa
pengertian Sunnah itu?
2. Apa pengertian
Ijma’ itu?
3. Apa pengertian
Qiyas itu?
4. Apa pengertian
Ijtihad itu?
5. Apa pengaruh Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad terhadap perkembangan Tasyri’?
C . Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian Sunnah.
2. Untuk mengetahui pengertian Ijma’.
3. Untuk mengetahui pengertian Qiyas.
4. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad.
5.
Untuk
mengetahui pengaruh Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad terhadap perkembangan Tasyri’.
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan
makalah ini dibagi menjadi 3 (tiga) bab, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN PARA ULAMA TENTANG SUNNAH, IJMA’, DAN IJTIHAD SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN TASYRI’
Pembahasan para ulama tentang sunnah, ijma’, qiyas, an ijtihad serta
pengaruhnya terhadap perkembangan tasyri’ berisi uraian tentang pengertian sunnah, ijma’,
qiyas dan ijtihad serta pengaruhnya terhadap perkembangan tasyri’.
BAB III PENUTUP
Penutup berisi tentang
kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN PARA ULAMA TENTANG SUNNAH, IJMA’, QIYAS DAN IJTIHAD
SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN TASYRI’
A. As Sunnah atau
Al-Hadits
1. Definisi As Sunnah
Al Imam Abu Zahra’, mendifinisikan As Sunnah adalah
1. Definisi As Sunnah
Al Imam Abu Zahra’, mendifinisikan As Sunnah adalah
اَلسُّنَّةُ النَّبَوِيَّةُ هِيَ اَقْوَالُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ اَفْعَا لُهُ وَتَقْرِيْرَاتُهُ
Sunnah Nabi adalah sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan beliau dan taqrir beliau.
2. Pembagian Sunnah Dilihat dari bentuknya
a. Sunnah Qauliyah
Yakni berbentuk ucapan nabi SAW, misalnya:
a. Sunnah Qauliyah
Yakni berbentuk ucapan nabi SAW, misalnya:
عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رض قَالَ صلعم لاَ يَشْرَبُنَّ
أحَدُكُمْ قَائِم
”Janganlah
minum salah seorang daripada kamu sambil berdiri”.
b. Sunnah fi’liyah
Sunnah berupa perilaku nabi SAW, artinya Nabi SAW melakukan sesuatu perbuatan, misalnya:
Sunnah berupa perilaku nabi SAW, artinya Nabi SAW melakukan sesuatu perbuatan, misalnya:
عَنِ بْنِ عَبَّا سٍ رض قَالَ سَقََيْتُ رَسُوْلُ اللهِ صعلم مِنْ زَمْزمٍ وَ هُوَ قَائِم
“Dari Ibu Abbas RA., ia
berkata: Saya telah memberi minum Rosulullah SAW dengan air zamzam, sedangkan
beliau dalam keadaan berdiri”.
c. Sunnah Taqririyah
Yakni Nabi SAW membiarkan perbuatan sahabat, artinya tidak menegur perbuatan yang perbuatan yang dilakukan oleh sahabat, misalnya:
Yakni Nabi SAW membiarkan perbuatan sahabat, artinya tidak menegur perbuatan yang perbuatan yang dilakukan oleh sahabat, misalnya:
عَنِ بْنِ عُمَرَ قَالَ نَأ كُلُ عَلىَ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صعلم وَنحْنُ نَمْشِى وَنشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ
”Saya pernah makan dihadapan
Rasulullah SAW, sedangkan kami dalam keadan berjalan, dan kami pernah minum
dihadapan beliau sedangkan kami berdiri.”
d. Sunnah Hammiyah
Yaitu cita-cita Nabi SAW. Para ulama’ berbeda pendapat tentang stutus dalil Sunnah Hamiyah ini. Ada yang menganggap bahwa sunnah hammiyah menjadi sumber hukum karena telah disabdakan oleh Nabi SAW, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa sunnah hammiyah tidak menjadi sumber hukum. Contoh hammiyah Nabi SAW adalah
Yaitu cita-cita Nabi SAW. Para ulama’ berbeda pendapat tentang stutus dalil Sunnah Hamiyah ini. Ada yang menganggap bahwa sunnah hammiyah menjadi sumber hukum karena telah disabdakan oleh Nabi SAW, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa sunnah hammiyah tidak menjadi sumber hukum. Contoh hammiyah Nabi SAW adalah
لَئِنْ بَقَيْتُ اِلىَ قَابِلٍ لأصُوْمَنَّ التَّا سِعَ يَعْنِى يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ
“Sungguh jika aku masih
hidup sampai tahun depan aku akan puasa hari kesembilan dari hari Asyuro.”
3. Pembagian As Sunnah dari bilangan perawinya.
a. As Sunnah / Al Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan pada tiap tingkatan sanadnya oleh orang banyak yang tidak terhitung jumlahnya dan menurut akal masing-masing tingkatan perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berbuat bohong.
b. As Sunnah / Hadits Masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang pada lapisan pertama (sahabat) dan lapis kedua (tabi’in), kemudian setelah itu tersebar luas dinukilkan oleh segolongan (banyak) orang yang tak dapat didakwa mereka itu bersepakat berbuat bohong.
c. As Sunnah / Hadits Ahad
3. Pembagian As Sunnah dari bilangan perawinya.
a. As Sunnah / Al Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan pada tiap tingkatan sanadnya oleh orang banyak yang tidak terhitung jumlahnya dan menurut akal masing-masing tingkatan perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berbuat bohong.
b. As Sunnah / Hadits Masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang pada lapisan pertama (sahabat) dan lapis kedua (tabi’in), kemudian setelah itu tersebar luas dinukilkan oleh segolongan (banyak) orang yang tak dapat didakwa mereka itu bersepakat berbuat bohong.
c. As Sunnah / Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang perorang atau beberapa orang, mulai lapisan pertama
sampai terakhir, tetapi tidak cukup terdapat padanya tanda-tanda yang dapat
menjadikannya hadits Masyhur apalagi hadits mutawatir.
4.
Pembagian As Sunnah ditinjau dari shoheh tidaknya
a. Hadits Shahih
Hadits shoheh adalah hadits yang bersambung-sambung sanadnya oleh para perowi yang dhobit (antara lain bersifat kokoh ingatan, adil jujur dan lain-lain) dan tidak terdapat padanya sifat-sifat pribadi yang menjadikan keganjilan dan cacat-cacat yang memburukkannya atau tidak dapat dipercayai selaku pembawa khabar berita.
b. Hadits hasan
Hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dengan bersambung-sambung sanadnya, namun ada perowinya yang kurang mempunyai derajat kepercayaan yang sempurna. Menurut Ibnu Taimiyah, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dengan banyak jalan datangnya, tak ada dalam sanadnya orang yang tertuduh dusta atau sadz.
c. Hadits dha’if
Hadits dha’if atau lemah adalah hadits yang tidak didapati didalamnya syarat-syarat hadits shoheh maupun hadist hasan.
d. Hadits Maudhu’ (palsu)
Hadits maudhu adalah hadits palsu, yakni bukan dinukilkan dari Nabi SAW, misalnya:
a. Hadits Shahih
Hadits shoheh adalah hadits yang bersambung-sambung sanadnya oleh para perowi yang dhobit (antara lain bersifat kokoh ingatan, adil jujur dan lain-lain) dan tidak terdapat padanya sifat-sifat pribadi yang menjadikan keganjilan dan cacat-cacat yang memburukkannya atau tidak dapat dipercayai selaku pembawa khabar berita.
b. Hadits hasan
Hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dengan bersambung-sambung sanadnya, namun ada perowinya yang kurang mempunyai derajat kepercayaan yang sempurna. Menurut Ibnu Taimiyah, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dengan banyak jalan datangnya, tak ada dalam sanadnya orang yang tertuduh dusta atau sadz.
c. Hadits dha’if
Hadits dha’if atau lemah adalah hadits yang tidak didapati didalamnya syarat-syarat hadits shoheh maupun hadist hasan.
d. Hadits Maudhu’ (palsu)
Hadits maudhu adalah hadits palsu, yakni bukan dinukilkan dari Nabi SAW, misalnya:
إتَّخَذُوْا بِالْعَقِيْقِ
فَإنَّهُ يَنْفِى الْفَقْرَ
"Pakailah cincin permata akik, karena ia dapat
menghilangkan kefakiran".
5.
Dalalah dari Al Hadits
Jumhur ulama’ sepakat bahwa status dalil hadits Mutawatir adalah qoth’i (menyakinkan) sedangkan hadits ahad adalah dhonni (disangka kuat kebenarannya), sehingga hanya hadits mutawatir yang dapat dipegangi sebagai dalil/hujjah masalah aqoid, sedangkan hadits ahad hanya dapat sebagai hujjah masalah amalan-amalan.
Jumhur ulama’ sepakat bahwa status dalil hadits Mutawatir adalah qoth’i (menyakinkan) sedangkan hadits ahad adalah dhonni (disangka kuat kebenarannya), sehingga hanya hadits mutawatir yang dapat dipegangi sebagai dalil/hujjah masalah aqoid, sedangkan hadits ahad hanya dapat sebagai hujjah masalah amalan-amalan.
6.
Status hukum sunnah / hadits
Para ulama’ sepakat bahwa sunnah / hadits adalah merupakan sumber hukum syar’i yang kedua sesudah Al Qur’anul Karim.
7. Hubungan As Sunnah dengan Al Qur’an
Hubungan As Sunnah dengan Al Qur’an itu sebagai urutan yang mengiringi atau sebagai urutan kedua sesudah Al-Qur’an . Ditinjau dari segi hukum yang ada, maka tidak lebih dari tiga masalah ini:
a. As Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang telah ada didalam Al- Qur’an.
b. As Sunnah sebagai penjelas atau penafsir dari ketentuan hukum yang ada dalam Al-Qur’an, dalam hal ini As Sunnah menjelaskan tentang Mujmalnya Al Qur’an, Mutlaqnya Al Qur’an.
c. As Sunnah membentuk dan menetapkan hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, misalnya perihal tata cara makan, pesta dan lain sebagainya.
Para ulama’ sepakat bahwa sunnah / hadits adalah merupakan sumber hukum syar’i yang kedua sesudah Al Qur’anul Karim.
7. Hubungan As Sunnah dengan Al Qur’an
Hubungan As Sunnah dengan Al Qur’an itu sebagai urutan yang mengiringi atau sebagai urutan kedua sesudah Al-Qur’an . Ditinjau dari segi hukum yang ada, maka tidak lebih dari tiga masalah ini:
a. As Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang telah ada didalam Al- Qur’an.
b. As Sunnah sebagai penjelas atau penafsir dari ketentuan hukum yang ada dalam Al-Qur’an, dalam hal ini As Sunnah menjelaskan tentang Mujmalnya Al Qur’an, Mutlaqnya Al Qur’an.
c. As Sunnah membentuk dan menetapkan hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, misalnya perihal tata cara makan, pesta dan lain sebagainya.
B. Al-Ijma’( الاجْمَاع )
1. Definisi / ta’arif Ijma’
Yang dimaksud dengan ijma’ adalah
1. Definisi / ta’arif Ijma’
Yang dimaksud dengan ijma’ adalah
إتِّفَاقُ مُجْتَهِدِي أمَّةُ مُحَمَّدٍ صلم بَعْدَ وَفَا تِهِ فِيْ عَصْرِ مِنَ الأعْصَارِ وَعَلىَ أمْرٍ مِنَ الأمُوْرِ
“Kesepakatan para ulama’ mujtahidin (ahli ijtihad)
dari ummat Muhammad SAW setelah wafat beliau dalam suatu waktu dari beberapa waktu
dan atas sesuatu masalah dari beberapa masalah”.
2. Kehujjahan Ijma’
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kehujjahan ijma’ adalah dhonni, bukan qoth’i. Oleh karena itu ijma’ hanya dapat dipergunakan sebagai peganan dalam bidang amal dan tidak bisa dipakai sebagai pegangan dalam bidang aqidah (I’tiqod), sebab urusan aqidah harus berdasarkan dalil yang qoth’i.
3. Sandaran Ijma’
Ijma’ dipandang sah manakala bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah:
2. Kehujjahan Ijma’
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kehujjahan ijma’ adalah dhonni, bukan qoth’i. Oleh karena itu ijma’ hanya dapat dipergunakan sebagai peganan dalam bidang amal dan tidak bisa dipakai sebagai pegangan dalam bidang aqidah (I’tiqod), sebab urusan aqidah harus berdasarkan dalil yang qoth’i.
3. Sandaran Ijma’
Ijma’ dipandang sah manakala bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah:
الإجْمَاعُ لَيْسَ مِنَ الدَّلِيْلَةِ الْمُسْـتَفِلَّةِ
“Ijma’
itu bukanlah merupakan dalil yang berdiri sendiri”
4.
Pembagian Ijma’
Dilihat dari caranya maka ijma’ itu dibagi dua yakni ijma’ qouli dan sukuti.
1) Ijma’ qauli (القولي)
Ijma’ qouli adalah ijma’ berupa ucapan, dimana para ulama’ mujtahid yang berijma’ itu menyatakan persetujuannya atau kesepakatan pendapatnya dengan terang-terangan memakai ucapan atau tulisan. Ijma’ ini disebut juga dengan ijma qoth’i (ijma’ yang menyakinkan)
Dilihat dari caranya maka ijma’ itu dibagi dua yakni ijma’ qouli dan sukuti.
1) Ijma’ qauli (القولي)
Ijma’ qouli adalah ijma’ berupa ucapan, dimana para ulama’ mujtahid yang berijma’ itu menyatakan persetujuannya atau kesepakatan pendapatnya dengan terang-terangan memakai ucapan atau tulisan. Ijma’ ini disebut juga dengan ijma qoth’i (ijma’ yang menyakinkan)
2) Ijma’ sukuti (السكوتي)
Ijma’ sukuti (ijma’ diam), yakni apabila persetujuan ulama mujtahid pada pendapat ulama mujtahid lain itu dinyatakan dengan cara diam, yakni tidak mengomentari sama sekali terhadap pendapat ulama mujtahid lain itu, namun diamnya itu bukan karena takut atau malu atau segan. Ijma’ ini disebut dengan ijma’ zhanni (kurang meyakinkan). Artinya, hukumnya masih bersifat zhanni dan masih dapat dilakukan ijtihad atasnya. [1]
Ijma’ sukuti (ijma’ diam), yakni apabila persetujuan ulama mujtahid pada pendapat ulama mujtahid lain itu dinyatakan dengan cara diam, yakni tidak mengomentari sama sekali terhadap pendapat ulama mujtahid lain itu, namun diamnya itu bukan karena takut atau malu atau segan. Ijma’ ini disebut dengan ijma’ zhanni (kurang meyakinkan). Artinya, hukumnya masih bersifat zhanni dan masih dapat dilakukan ijtihad atasnya. [1]
Sikap ulama terhadap ijma’
sukuti antara lain adalah:
a. Imam Syafi’i, Imam Al baqillani dari golongan As’aiyah dan sebagian ulama hanafi seperti Ibnu Iyan menyaakan bahwa ijma’ sukuti tidak bisa menjadi hujjah, sebab kemungkinan ada ulama’ yang setuju dan tidak setuju.
b. Al Juba’i menyatakan ijma’ sukuti bisa menjadi hujjah sebagaimana ijma’ qouli.
c. Imam Al Amidi menyatakan bahwa ijma’ sukuti bias saja menjadi hujjah kehujjahannya adalah zhanni bukan qoth’i.
a. Imam Syafi’i, Imam Al baqillani dari golongan As’aiyah dan sebagian ulama hanafi seperti Ibnu Iyan menyaakan bahwa ijma’ sukuti tidak bisa menjadi hujjah, sebab kemungkinan ada ulama’ yang setuju dan tidak setuju.
b. Al Juba’i menyatakan ijma’ sukuti bisa menjadi hujjah sebagaimana ijma’ qouli.
c. Imam Al Amidi menyatakan bahwa ijma’ sukuti bias saja menjadi hujjah kehujjahannya adalah zhanni bukan qoth’i.
Masih banyak lagi ijma’
sebagian umat ini, seperti ijma’ ulama Kufah, ijma’ Khulafa Al-Arba’ah, ijma’
Al-Syaikhani, dan lain seagainya.[2]
C.
Al Qiyas (اَلْقِيَا سُ)
1. Definisi Qiyas
Qiyas itu adalah menetapkan sesuatu hukum perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya berdasarkan sesuatu hukum perbuatan yang telah ada ketentuan hukumnya oleh Nash (Al Quran dan As Sunnah) disebabkan adanya persamaan illat antara keduanya.
2. Rukun Qiyas
Rukun qiyas ada empat yaitu:
a. Pokok الأصْلُ yakni yang menjadi ukuran (اَلْمَقِيْسُ عَلَيْهِ) disebut juga dengan tempat menserupakan (اَلْمُشَبَّهُ بِه)
b. Cabang اَلْفَرْعُ yakni hal yang diukurkan (اَلْمَقِيْسُ) atau hal yang diserupakan (اَلْمُشَبَّهُ)
c. Sebab اَلْعِلَّةُ sesuatu sebab yang menghubungkan antara pokok dan cabang.
d. Hukum اَلْحُكْم yakni hukum cabang yang dihasilkan dari pengqiyasan tersebut.
3. Macam-macam Qiyas
Macam-macam qiyas itu antara lain:
a. Qiyas Aula (اَلأوْلَى) yakni apabila qiyas yang ada pada furu’ terlebih kuat dari illat pada pokok. Misalnya : kita melarang berkata “hus” pada orang tua, maka kita tidak boleh menempeleng orang tua, karena hus itu menyakiti rokhani, sedangkan menempeleng itu menyakiti rokhani dan jasmani.
b. Qiyas Musawi (اَلْمُسَا وِي), yakni bila illat pada cabang itu sama bobotnya dengan illat pada pokok. Misalnya membakar harta anak yatim diqiyaskan dengan memakan harta anak yatim.
c. Qiyas Dalalah ((الدَّلاَلَةyakni qiyas yang menunjukkan dua perkara yang serupa satu sama lain, bahwa illat didalamnya menunjukkan adanya hukum, tetapi illat itu tidak mengharuskan adanya hukum. Misalnya zakat bagi anak yatim yang kaya, diqiyaskan dengan orang dewasa yang kaya.
d. Qiyas syibih (اَلشِّبْه), yakni mengqiyaskan furu’ pada dua pokok, illat dicari antara kedua pokok tersebut yang paling cocok. Misalnya mendoakan orang kafir yang menyumbang harta untuk kepentingan sosial Islam.
e. Qiyas Adwan (اَلأدْوَان) yakni mengqiyaskan hal yang diqiyaskan kepada hukum yang terhimpun pada hukum tempat mengqiyaskan, seperti mengqiyaskan lelaki memakai perak kepada memakai emas, karena ada hukum ashal tentang terkumpul pada haramnya perak dan emas digunakan sebagai tempat air minum.
4. Kehujjahan Qiyas
Yang dikehendaki dengan ijtihad menurut pandangan golongan ini adalah dengan kemampuan daya fikiran dan kemampuan lainnya menetapkan hukum dengan tetap melihat ketentuan yang telah ada pada nash yakni dengan cara mengqiyas.
1. Definisi Qiyas
Qiyas itu adalah menetapkan sesuatu hukum perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya berdasarkan sesuatu hukum perbuatan yang telah ada ketentuan hukumnya oleh Nash (Al Quran dan As Sunnah) disebabkan adanya persamaan illat antara keduanya.
2. Rukun Qiyas
Rukun qiyas ada empat yaitu:
a. Pokok الأصْلُ yakni yang menjadi ukuran (اَلْمَقِيْسُ عَلَيْهِ) disebut juga dengan tempat menserupakan (اَلْمُشَبَّهُ بِه)
b. Cabang اَلْفَرْعُ yakni hal yang diukurkan (اَلْمَقِيْسُ) atau hal yang diserupakan (اَلْمُشَبَّهُ)
c. Sebab اَلْعِلَّةُ sesuatu sebab yang menghubungkan antara pokok dan cabang.
d. Hukum اَلْحُكْم yakni hukum cabang yang dihasilkan dari pengqiyasan tersebut.
3. Macam-macam Qiyas
Macam-macam qiyas itu antara lain:
a. Qiyas Aula (اَلأوْلَى) yakni apabila qiyas yang ada pada furu’ terlebih kuat dari illat pada pokok. Misalnya : kita melarang berkata “hus” pada orang tua, maka kita tidak boleh menempeleng orang tua, karena hus itu menyakiti rokhani, sedangkan menempeleng itu menyakiti rokhani dan jasmani.
b. Qiyas Musawi (اَلْمُسَا وِي), yakni bila illat pada cabang itu sama bobotnya dengan illat pada pokok. Misalnya membakar harta anak yatim diqiyaskan dengan memakan harta anak yatim.
c. Qiyas Dalalah ((الدَّلاَلَةyakni qiyas yang menunjukkan dua perkara yang serupa satu sama lain, bahwa illat didalamnya menunjukkan adanya hukum, tetapi illat itu tidak mengharuskan adanya hukum. Misalnya zakat bagi anak yatim yang kaya, diqiyaskan dengan orang dewasa yang kaya.
d. Qiyas syibih (اَلشِّبْه), yakni mengqiyaskan furu’ pada dua pokok, illat dicari antara kedua pokok tersebut yang paling cocok. Misalnya mendoakan orang kafir yang menyumbang harta untuk kepentingan sosial Islam.
e. Qiyas Adwan (اَلأدْوَان) yakni mengqiyaskan hal yang diqiyaskan kepada hukum yang terhimpun pada hukum tempat mengqiyaskan, seperti mengqiyaskan lelaki memakai perak kepada memakai emas, karena ada hukum ashal tentang terkumpul pada haramnya perak dan emas digunakan sebagai tempat air minum.
4. Kehujjahan Qiyas
Yang dikehendaki dengan ijtihad menurut pandangan golongan ini adalah dengan kemampuan daya fikiran dan kemampuan lainnya menetapkan hukum dengan tetap melihat ketentuan yang telah ada pada nash yakni dengan cara mengqiyas.
D. Ijtihad (الإجْتِحَا د)
1. Pengertiannya
1. Pengertiannya
الإجْتِهَادُ هُوَإسْتِفْرَاغُ الْوَسْعِ فِيْ نَيْلِ حُكْمِ شَرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ الإ سْتِنْباَطُ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
“Ijtihad adalah usaha dengan
sungguh-sungguh menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dali
nash (Al-Qur’an dan Al Hadits)”.
هُوَالْفَقِيْهُ الْمُسْتَفْرِغُ لِوَ سْعِهِ لِتَحْصِيْلِ ظَنِّ بِحُكْمِ شَرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ الإ سْتِنْبَاطُ مِنْهُمَا
“Mujtahid adalah para ahli
fikih yang berusaha dengan sungguh-sungguh dengan seluruh keanggupannya untuk
menghasilkan hukum syara’ dengan jalan mengistinbathkan hukum dari Al Qur’an
dan As Sunnah”.
2. Hukumnya
Ada tiga kriteria hukum berijtihad:
a. Wajib ‘ain, yakni apabila seseorang yang ditanya perihal hukum suatu peristiwa sedangkan peristiwa itu akan hilang sebelum ditetapkan hukumnya.
b. Wajib kifayah, yakni bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa hukum, dan tidak dikhawatirkan segera hilangnya peristiwa itu, sementara disamping dirinya masih ada mujtahid lain yang lebih ahli.
c. Sunnat, yakni berijtihad terhadap sesuatu hukum yang belum terjadi baik ditanya ataupun tidak ada yang mempertanyakan.
2. Hukumnya
Ada tiga kriteria hukum berijtihad:
a. Wajib ‘ain, yakni apabila seseorang yang ditanya perihal hukum suatu peristiwa sedangkan peristiwa itu akan hilang sebelum ditetapkan hukumnya.
b. Wajib kifayah, yakni bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu peristiwa hukum, dan tidak dikhawatirkan segera hilangnya peristiwa itu, sementara disamping dirinya masih ada mujtahid lain yang lebih ahli.
c. Sunnat, yakni berijtihad terhadap sesuatu hukum yang belum terjadi baik ditanya ataupun tidak ada yang mempertanyakan.
3. Syarat-syarat
menjadi mujtahid
Syarat-syarat menjadi mujtahid ada 5 yaitu:
a. Mengetahui dengan mendalam nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah dan segala ilmu yang terkait dengannya.
b. Kalau ia memegangi ijma, maka ia harus tahu seluk beluk ijma’ dan apa-apa yang telah di ijma’kan.
c. Mengetahui dengan mendalam ilmu ushul fiqih karena ilmu ini merupakan dasar pokok didalam berijtihad.
d. Mengetuhi dengan mendalam masalah nasekh mansukh mana dalil yang sudah mansukh mana pula yang tidak mansukh.
e. Mengetahui dengan mendalam bahasa arab dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya, ilmu nahwu shorof, balaghoh, badi’ dan bayan serta mantiqnya.
a. Mengetahui dengan mendalam nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah dan segala ilmu yang terkait dengannya.
b. Kalau ia memegangi ijma, maka ia harus tahu seluk beluk ijma’ dan apa-apa yang telah di ijma’kan.
c. Mengetahui dengan mendalam ilmu ushul fiqih karena ilmu ini merupakan dasar pokok didalam berijtihad.
d. Mengetuhi dengan mendalam masalah nasekh mansukh mana dalil yang sudah mansukh mana pula yang tidak mansukh.
e. Mengetahui dengan mendalam bahasa arab dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya, ilmu nahwu shorof, balaghoh, badi’ dan bayan serta mantiqnya.
4. Pembagian ijtihad
Pada garis besarnya pelaksanaan ijtihad dibagi dua yakni:
a. Ijtihad الفردية (fardiyah), yakni ijtihad yang dilakukan oleh orang perorangan, tanpa melibatkan persetujuan atau pertimbangan mujtahid lain.
b. Ijtihad الجماعية (jama’iyah), yakni ijtihad dengan melibatkan fihak (mujtahid) dan untuk bermusyawarah menetapkan hukum sesuatu persoalan.
5. Keperluan terhadap ijtihad
Sejak Muadz bin Jabal diutus Rasul SAW ke Yaman sampai sekarang ijtihad itu senantiasa tetap diperlukan, karena banyaknya kasus yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh Al Quran dan As Sunnah, apabila zaman sekarang ini, dimana agama Islam telah berkembang dan bertemu dengan budaya dan alam lain dari tempat kelahirannya, maka persoalan yang muncul tentu lebih banyak lagi, apalagi saat ini perkembangan ilmu dan tehnologi dengan pesat sekali. Maka persoalan-persoalan yang muncul itu harus ada kejelasan status hukumnya.
6. Perbedaan antara ijtihad dengan qiyas
Ijtihad itu mengenai kejadian-kejadian, baik yang ada nash atau yang tak ada nash-nya. Qiyas itu mengukur kejadian-kejadian yang tidak ada nash-nya tetapi terdapat dalam syara’ yakni sesuatu yang dijadikan pokok untuk diqiyaskan kepadanya, maka qiyas adalah sumber dari ijtihad.
Pada garis besarnya pelaksanaan ijtihad dibagi dua yakni:
a. Ijtihad الفردية (fardiyah), yakni ijtihad yang dilakukan oleh orang perorangan, tanpa melibatkan persetujuan atau pertimbangan mujtahid lain.
b. Ijtihad الجماعية (jama’iyah), yakni ijtihad dengan melibatkan fihak (mujtahid) dan untuk bermusyawarah menetapkan hukum sesuatu persoalan.
5. Keperluan terhadap ijtihad
Sejak Muadz bin Jabal diutus Rasul SAW ke Yaman sampai sekarang ijtihad itu senantiasa tetap diperlukan, karena banyaknya kasus yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh Al Quran dan As Sunnah, apabila zaman sekarang ini, dimana agama Islam telah berkembang dan bertemu dengan budaya dan alam lain dari tempat kelahirannya, maka persoalan yang muncul tentu lebih banyak lagi, apalagi saat ini perkembangan ilmu dan tehnologi dengan pesat sekali. Maka persoalan-persoalan yang muncul itu harus ada kejelasan status hukumnya.
6. Perbedaan antara ijtihad dengan qiyas
Ijtihad itu mengenai kejadian-kejadian, baik yang ada nash atau yang tak ada nash-nya. Qiyas itu mengukur kejadian-kejadian yang tidak ada nash-nya tetapi terdapat dalam syara’ yakni sesuatu yang dijadikan pokok untuk diqiyaskan kepadanya, maka qiyas adalah sumber dari ijtihad.
E. Pengaruh
Sunnah Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad terhadap Perkembangan Tasyri’
Seiring dengan lajunya prkembangan Islam ke berbagai penjuru, maka muncullah persoalan-persoalan baru yang saat itu terjadi pada masa Rasulullah, padahal al-Qur’an sendiri hanya memuat sebagian hukum terinci, sementara sunnah hanya sebatas pada persoalan-persoalan yang berkembang pada masa Rasulullah. Maka dari itu dalam menyelesaikan persoalan baru dibutuhkanlah konsep “ijtihad”. Hingga pada akhirnya konsep “ijtihad” yang awal mulanya muncul sekitar pada abad keempat Hijriyah, muncul produk pemikiran yang baru.
1. Periode fiqh di Era Kenabian
Seiring dengan lajunya prkembangan Islam ke berbagai penjuru, maka muncullah persoalan-persoalan baru yang saat itu terjadi pada masa Rasulullah, padahal al-Qur’an sendiri hanya memuat sebagian hukum terinci, sementara sunnah hanya sebatas pada persoalan-persoalan yang berkembang pada masa Rasulullah. Maka dari itu dalam menyelesaikan persoalan baru dibutuhkanlah konsep “ijtihad”. Hingga pada akhirnya konsep “ijtihad” yang awal mulanya muncul sekitar pada abad keempat Hijriyah, muncul produk pemikiran yang baru.
1. Periode fiqh di Era Kenabian
Nabi melakukan ijtihad apabila terhadap suatu
peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya. Dan lamanya Nabi menunggu
datangnya wahyu merupakan justifikasi dari al-Qur`an. Kemudian dengan
ijtihadnya para sahabat ? sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabi, Nabi
membolehkan para sahabatnya untuk juga melakukan ijtihadnya .
2. Periode fiqh di era Khulafaurrasyidin
Di dalam penetapan suatu hukum para khulafaurrosyidun tetap berpegang dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Tetapi adakalanya dengan menggunakan kesepakatan bersama yang disebut dengan Ijma` dan Qiyas. Sebagai pengganti Nabi dalam mengambil sumber hukum untuk menentukan suatu perkara, mengambil dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijtihad “ra`yu” baik kolektif (hasil musyawarah dari sahabat disebut dengan ijmak.), kemudian ijtihad individu.
3. Periode fiqh di era Sahabat dan Tabi’in
Di era ini perkembangan fiqh membingungkan banyak pengamat. Karena akibat dari warisan pergolakan antara `Ustman dan Ali. Hingga sampai pada pemerintahan daulah Umayyah. Hingga sampai melahirkan agitas teologi yang cukup tajam. Sehingga banyak pengamat sejarah yang mengatakan bahwa dalam periode ini perkembangan fiqh tenggelam di bawah perpecahan antara kesatuan agama dan negara. Bahwa pergolakan daulah Umayyah yang membawa agitas teologi, ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan fiqh berikutnya yaitu era kodifikasi yang munculnya Imam-imam mazhab. Pada pembahasan “fiqh dalam era keemasan”. Sehingga fiqh dari masa kemasa mempunyai kesinambungan antara yang satu dengan yang lain. Periode ini dalam perkembangan fiqhnya bermula ketika pemerintahan Islam diambil alih oleh Muawiyah bin Abu Sofyan tahun 41 H hingga awal abad kedua Hijrah.
4. Periode fiqh di era zaman keemasan
Masa ini sangat terkenal dengan perkembangan kebudayaan perluasan perdagangan dari semua cabang ilmu ekonomi serta kemajuan dalam ilmu pengetahuan. kira-kira pada abad ke delapan adalah banyak ilmu pengetahuan yang berbahasa ajam kedalam bahasa arab, terutama dari bahasa Parsi dan bahasa Yunani. Ilmu-ilmu fiqh berkembang sangat pesat yaitu banyaknya tafsir-tafsir al-Qur`an dan kumpulan-kumpulan hadis. Hingga yang paling menonjol dalam periode ini adalah lahirnya beberapa fuqaha sunni yang terbagi ke dalam dua golongan yaitu fuqaha sunni ahli ra`yi di Irak dengan pelopor Imam Abu Hanifah, dan golongan yang kedua fuqaha sunni hadis di Hijaz yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas.
2. Periode fiqh di era Khulafaurrasyidin
Di dalam penetapan suatu hukum para khulafaurrosyidun tetap berpegang dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Tetapi adakalanya dengan menggunakan kesepakatan bersama yang disebut dengan Ijma` dan Qiyas. Sebagai pengganti Nabi dalam mengambil sumber hukum untuk menentukan suatu perkara, mengambil dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijtihad “ra`yu” baik kolektif (hasil musyawarah dari sahabat disebut dengan ijmak.), kemudian ijtihad individu.
3. Periode fiqh di era Sahabat dan Tabi’in
Di era ini perkembangan fiqh membingungkan banyak pengamat. Karena akibat dari warisan pergolakan antara `Ustman dan Ali. Hingga sampai pada pemerintahan daulah Umayyah. Hingga sampai melahirkan agitas teologi yang cukup tajam. Sehingga banyak pengamat sejarah yang mengatakan bahwa dalam periode ini perkembangan fiqh tenggelam di bawah perpecahan antara kesatuan agama dan negara. Bahwa pergolakan daulah Umayyah yang membawa agitas teologi, ternyata membawa pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan fiqh berikutnya yaitu era kodifikasi yang munculnya Imam-imam mazhab. Pada pembahasan “fiqh dalam era keemasan”. Sehingga fiqh dari masa kemasa mempunyai kesinambungan antara yang satu dengan yang lain. Periode ini dalam perkembangan fiqhnya bermula ketika pemerintahan Islam diambil alih oleh Muawiyah bin Abu Sofyan tahun 41 H hingga awal abad kedua Hijrah.
4. Periode fiqh di era zaman keemasan
Masa ini sangat terkenal dengan perkembangan kebudayaan perluasan perdagangan dari semua cabang ilmu ekonomi serta kemajuan dalam ilmu pengetahuan. kira-kira pada abad ke delapan adalah banyak ilmu pengetahuan yang berbahasa ajam kedalam bahasa arab, terutama dari bahasa Parsi dan bahasa Yunani. Ilmu-ilmu fiqh berkembang sangat pesat yaitu banyaknya tafsir-tafsir al-Qur`an dan kumpulan-kumpulan hadis. Hingga yang paling menonjol dalam periode ini adalah lahirnya beberapa fuqaha sunni yang terbagi ke dalam dua golongan yaitu fuqaha sunni ahli ra`yi di Irak dengan pelopor Imam Abu Hanifah, dan golongan yang kedua fuqaha sunni hadis di Hijaz yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas.
5.
Periode fiqh diera stabnasi dan jumud
Pada pertengahan abad IV Bani Abasiyah mulai terdapat tanda-tanda kejatuhannya, karena disebabkan banyak daerah-daerah dominannya melepaskan diri dari khalifah Abbasiyah dengan mendirikan negara sendiri. Akibatnya kekuasaan menjadi lemah dan mundur. Dengan demikian yang dahulu pemerintahan selalu dipegang oleh seorang muslim, akhirnya berpindah tangan kepada orang yang tak mengenal Tuhan, bengis, kejam, yaitu Jenghis Khan serta anak keturunannya. Hal ini pergolakan politik semacam ini sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan dalam dunia Islam mengalami kemunduran. Dari situasi politik yang kacau pada waktu itu, menyebabkan kemunduran dalam hal ilmu pengetahuan. Hingga akhirnya munculah faham taqlid, Yaitu menerima pendapat secara mutlak dari seorang imam (mazhab) yang tertentu untuk mengikuti fatwa-fatwa hukumnya. Akhirnya para fuqaha itu menutup pintu ijtihad, sehingga berkembang bid`ah, khurafat dan kejumudan berpikir.
6. Periode fiqh di era kebangkitan kembali
Kita dapat melihat dalam era kebangkitan fiqh ini dapat kita lihat sekurang-kurangnya terdapat empat pola utama yang menonjol. Pertama, modernisme, dalam pola ini digandrungi oleh banyak ulama yang terdidik dalam alam sekuler. Kedua, Survivalisme, agaknya berbeda dengan pola pertama. Dalam pola kedua ini bercita-cita ingin membangun pemikiran fiqh dengan berpijak kepada mazhab-mazhab fiqh yang sudah ada. Dengan menggali permasalahan yang didasarkan pada pemikiran mazhab tersebut tanpa memandang kepedulian sosial. Ketiga, tradisional, pola ini kecenderungan dengan aliran salafiyah, yang lebih menekankan pada kembalinya kepada al-Qur`an dan as-Sunnah dengan mendakwahkan keharusan mengikuti ulama salaf (sahabat dan tabi`ien) dengan karakteristiknya adalah benar-benar memegang sunnah Nabi yang sekiranya tidak keluar dalam nash al-Qur`an. Keempat, neo survivalisme, dalam perkembangan terakhir ini, banyak di kalangan ulama dan fuqaha merespon perkembangan yang baru dengan memfokuskan terhadap kepedulian sosial.
Pada pertengahan abad IV Bani Abasiyah mulai terdapat tanda-tanda kejatuhannya, karena disebabkan banyak daerah-daerah dominannya melepaskan diri dari khalifah Abbasiyah dengan mendirikan negara sendiri. Akibatnya kekuasaan menjadi lemah dan mundur. Dengan demikian yang dahulu pemerintahan selalu dipegang oleh seorang muslim, akhirnya berpindah tangan kepada orang yang tak mengenal Tuhan, bengis, kejam, yaitu Jenghis Khan serta anak keturunannya. Hal ini pergolakan politik semacam ini sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan dalam dunia Islam mengalami kemunduran. Dari situasi politik yang kacau pada waktu itu, menyebabkan kemunduran dalam hal ilmu pengetahuan. Hingga akhirnya munculah faham taqlid, Yaitu menerima pendapat secara mutlak dari seorang imam (mazhab) yang tertentu untuk mengikuti fatwa-fatwa hukumnya. Akhirnya para fuqaha itu menutup pintu ijtihad, sehingga berkembang bid`ah, khurafat dan kejumudan berpikir.
6. Periode fiqh di era kebangkitan kembali
Kita dapat melihat dalam era kebangkitan fiqh ini dapat kita lihat sekurang-kurangnya terdapat empat pola utama yang menonjol. Pertama, modernisme, dalam pola ini digandrungi oleh banyak ulama yang terdidik dalam alam sekuler. Kedua, Survivalisme, agaknya berbeda dengan pola pertama. Dalam pola kedua ini bercita-cita ingin membangun pemikiran fiqh dengan berpijak kepada mazhab-mazhab fiqh yang sudah ada. Dengan menggali permasalahan yang didasarkan pada pemikiran mazhab tersebut tanpa memandang kepedulian sosial. Ketiga, tradisional, pola ini kecenderungan dengan aliran salafiyah, yang lebih menekankan pada kembalinya kepada al-Qur`an dan as-Sunnah dengan mendakwahkan keharusan mengikuti ulama salaf (sahabat dan tabi`ien) dengan karakteristiknya adalah benar-benar memegang sunnah Nabi yang sekiranya tidak keluar dalam nash al-Qur`an. Keempat, neo survivalisme, dalam perkembangan terakhir ini, banyak di kalangan ulama dan fuqaha merespon perkembangan yang baru dengan memfokuskan terhadap kepedulian sosial.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Sunnah adalah sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan beliau dan taqrir beliau.
2. Kesepakatan para ulama’ mujtahidin (ahli ijtihad) dari ummat Muhammad SAW setelah wafat beliau dalam suatu waktu dari beberapa waktu dan atas sesuatu perkata / masalah dari beberapa masalah.
3. Qiyas itu adalah menetapkan sesuatu hukum perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya berdasarkan sesuatu hukum perbuatan yang telah ada ketentuan hukumnya oleh Nash (Al Quran dan As Sunnah) disebabkan adanya persamaan illat antara keduanya.
4. Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluuh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dali nash (Al-Qur’an dan Al Hadits).
B. Saran
1. Sunnah adalah sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan beliau dan taqrir beliau.
2. Kesepakatan para ulama’ mujtahidin (ahli ijtihad) dari ummat Muhammad SAW setelah wafat beliau dalam suatu waktu dari beberapa waktu dan atas sesuatu perkata / masalah dari beberapa masalah.
3. Qiyas itu adalah menetapkan sesuatu hukum perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya berdasarkan sesuatu hukum perbuatan yang telah ada ketentuan hukumnya oleh Nash (Al Quran dan As Sunnah) disebabkan adanya persamaan illat antara keduanya.
4. Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluuh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dali nash (Al-Qur’an dan Al Hadits).
B. Saran
Demikianlah makalah ini penulis ajukan untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’ pada Jurusan Pendidikan Agama Islam semester VII. Apabila dalam penulisan
makalah ini terdapat kekurangan penulis meminta kepada pembaca umumnya dan
khususnya kepada Bapak dosen mata kuliah ini untuk memberikan saran dan
kritik yang membangun untuk makalah ini. Mudah-mudahan Allah Swt
senantiasamemberkahi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Steenbrink, Karel A. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke- 19. Jakarta: Bulan Bintang,
M. Ali Hasan. 1997. Perbandingan
Mazhab Fiqih. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Al-Bazdawi. 1963. Usul ad-Din. Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi.
Mas’ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi. LKiS: Yogyakarta.
[1]
Lihat
Wahab Khallaf, op.cit. hlm 51-52, Ashiddiqy, Pengantar..., jil 1, op.cit. hlm. 203-204,
dan Abu Zahrah, op.cit. hlm. 162-163
[2] Lihat Ashiddiqy, Pengantar...jil
1, op.cit, hlm. 202-211.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar