Selasa, 11 September 2012

KHILAFIAH




KHILAFIAH

MAKALAH

Disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Semester mata kuliah Materi Pendidikan Islam 2 yang dibimbing oleh:
Bapak Drs. H. Nahrawi, M.Pd.
Jurusan Pendidikan Agama Islam Semester V B.
㿷ᛯ௔
                    Disusun oleh :
              KELOMPOK III :
1.     NURKHOLIS
2.     NURHIDAYAT
3.     NURLIA ALIYAH
4.     NURMAWATI
5.     NURJUWAEDAH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG ( UMT )
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Sekretariat : Jl. Perintis Kemerdekaan I/33  Cikokol - Kota Tangerang - Banten 15118
2011 M / 1432 H


 
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat-Nya kepada kita semua selaku para hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita menuju terangnya Iman dan Islam, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Alasan penulis memilih judul: “ KHILAFIAH   adalah agar penulis lebih memahami tentang khilafiah dan sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Ujian Akhir semester V fakultas Agama Islam pada mata kuliah Materi Pendidikan Agama Islam 2.
Dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1.      Bapak. H. Ahmad Badawi S.Pd, M.M selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang.
2.      Bapak Drs. H. Nahrawi, M.Pd. selaku dosen pembimbing mata kuliah Materi Pendidikan Agama Islam 2.
3.      Rekan-rekan seperjuangan dalam menuntut ilmu di Kampus Universitas Muhammadiyah.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan rekan-rekan mahasiswa. Saya menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu segala kritik dan saran yang membangun akan saya terima demi kesempurnaan diskusi atau pun ilmu pengetahuan saya selanjutnya dimasa yang akan datang.


Tangerang,  21 Oktober  2011 M
               23 Dzulqaidah 1432 H


Penulis






DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………................................ii
BAB I  PENDAHULUAN ………………………………………………………………............1
  1. Latar Belakang Masalah …………………………………………………..........................1
  2. Perumusan Masalah ………………………………………………....................................1
  3. Tujuan Penulisan …………………………………………………………………...............1
  4. Sistematika Penulisan ………………………………………………………………………2

BAB II  KHILAFIAH ……………………………..................................................................3
  1. Pengertian Khilafiah (Ikhtilaf)………………………………………………………………3
  2. Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat......................................................................3
  3. Pemahaman nash sebagai faktor timbulnya perbedaan pendapat…………………...............8
  4. Aliran –aliran dalam hukum Islam………………………………………………………...11
  5. Kesatuan mazhab dalam hukum Islam…………………………………………….............20

BAB III  PENUTUP ……………………………………………………………………………22
  1. Kesimpulan………………………………………………………………………...............22
  2. Saran……………………………………………………………………………………….22

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………..................23




 
BAB I
PENDAHULUAN


A . Latar Belakang
Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yarig menyelesaikannya dengan cara yang sangat sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal sehat. Akan tetapi dibalik itu, niasalah khilafiah menjadi ganjalan untuk menjalin kehanhonisan di kalangan umat Islam karena sifat ta'asyubiyah (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal yang sehat. Perbedaan pendapat (masalah khilafiah dalam fiqh), dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi saw., dalam haditsnya:       إخْتِلافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Artinya:
"Perbedaan pendapat (di kalangan) uinatku adalah rahmat."
Hadits ini dapat diambil kesimpulan, bahwa orang itu bisa bebas memilih salah satu pendapat dari beberapa pendapat, tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.

B . Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang dapat penulis rumuskan adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian Khilafiah itu?
2.      Apa sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat itu?
3.      Apa pemahaman nash sebagai faktor timbulnya perbedaan pendapat itu?
4.      Apa aliran-aliran dalam hokum islam itu?
5.   Apa kesatuan mazhab dalam hukum Islam itu?

C . Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pengertian Khilafiah.
2.      Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat.
3.      Untuk mengetahui pemahaman nash sebagai faktor timbulnya perbedaan pendapat.
4.      Untuk mengetahui aliran-aliran dalam hukum Islam.
5.   Untuk mengetahui kesatuan mazhab dalam hukum Islam.

D.  Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini dibagi menjadi 3 bab, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II KHILAFIAH
Khilafiah berisi uraian tentang pengertian Khilafiah, sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat, pemahaman nash sebagai faktor timbulnya perbedaan pendapat, aliran-aliran dalam hukum Islam dan kesatuan mazhab dalam hukum Islam.
BAB III PENUTUP
Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka berisi referensi penulis dalam menyusun makalah ini.

































BAB II
KHILAFIAH


A. PENGERTIAN KHILAFIAH (IKHTILAF)
Khilafiah/ikhtilaf itu sendiri merupakan term;yang diambil dari bahasa Arab yang
berarti berselisih, tidak sepaham. Sedangkan secara terminologis fiqhiyah, khilafiyah adalah perseiisihan paham atau pendapat dikalangan para ulama fiqh sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.
Dengan demikian, masalah khilafiah merupakan masalah ijtihad sebagai hasil dari pemahaman terhadap sumber hukum Islam.
B. SEBAB-SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT
Berbagai-bagai sebab telah menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, yang pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitupertama, perbedaan pendirian tentang kedudukan sumber-sumber hukum, apakah bisa dijadikan dasar penetapan hukum atau tidak. Kedua, perbedaan pendirian tentang aturan-aturan bahasa dalam pemahaman terhadap sesuatu nash (Alquran dan Alhadits).
1. Kedudukan Sumber-sumber Hukum
Sumber-sumber hukum yang diperselisihkan kedudukannya tersebut ialah hadits Nabi saw, ijma', qiyas, istihsan, mashlahah mursalah dan 'urf. Tentang kedudukan Alquran sebagai sumber hukum, tidak dipermasalahkan lagi dari semua seginya. Akan tetapi dari segi nash-nash Alquran bisa terjadi perselisihan pendapat, dan hal ini termasuk dalam pembicaraan tentang sebab yang kedua. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan diperincikan perselisihan-perselisihan yang timbul sekitar kedudukan sumber-sumber hukum, di antaranya mengenai hadis, ijma', dan qiyas sebagai berikut.
v  Hadits
Kedudukan hadis sebagai sumber hukum dalam garis besamya ddak lagi diperselisihkan oleh para fiiqaha. Akan tetapi, perselisihan tnercka bisa terjadi mengenai segi-segi lain seperti berikut
1)  Sampai atau tidaknya sesuatu hadits
Menurut Sahabat Ali dan Ibnu Abbas, istri yang ditinggal mati suaminya sedangkan ia dalam keadaan hamil, maka ia harus menjalani 'iddah yang tcrpanjang. Terhadap istri tersebut sebenarnya terkena dua macam 'iddah yaitu iddah sebagai istri hamil, yakni sampai melahirkan kandungannya, dan 'iddah sebagai istri yang ditinggal mati suaminya, yakni empat bulan sepuluh hari. Dalam keadaan hamil muda, tentunya masa 'iddah akan lebih panjang dari empat bulan sepuluh hari, akan tetapi dalam keadaan hamil tua, boleh jadi masa ini akan lebih pendek dari masa empat bulan sepuluh hari. Sehingga menurut kedua sahabat tersebut, istri tersebut harus menambah tiga bulan sepuluh hari lagi. Apa yang mendorong kedua sahabat tersebut imtuk berpendirian demikian ialah, karena keduanya tidak mendengar adanya hadits Rasulullah saw, tentang Sabi'ah Al-aslamiyah, dimana Rasulullah mengatakan kepadanya, bahwa 'iddahnya ialah hanya sampai melahirkan kandungannya.
2)  Percaya atau tidaknya terhadap seseorang perawi hadits.
Sebagaimana dimaklumi, tidak semua perawi hadis mempunyai tingkatan yang sama tentang dapat dipercaya dan tentang ketelitian serta ingatannya. Bahkan di antaranya ada yang diragukan kejujurannya, tidak kuat ingatan dan kctclitiannya atau periwayatannya menimbulkan keragu-raguan, karena hadis yang diriwiyatkan berlawanan dengan kctentuan Alquran atau hadis yang masyhur. Keadaan scmacam ini terjadi pada zaman sahabat, yakni pada masa-masa pertama Islam dan pada masa sesudahnya lebih-lebih lagi keadaannya. Sebagai contoh ialah tenlang nafakah dan tempat kediaman (sukna) selama 'iddah bagi bekas istri yang dicerai ba'in (cerai tiga kali). Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu sebagai berikut.
Pendapat pertama, dari Sahabat 'Umar ra,, yang menyatakan bahwa bekas istri yang dicerai ba' in mendapat nafakah dan tempat tinggal. Alasannya adalah Firman Allah swt : 
w  Æèdqã_̍øƒéB .`ÏB £`ÎgÏ?qãç/
Artinya:
"Janganlah kamu keluarkan istri dari rumahnya." (Attalaq/65: 1)
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y
Artinya:
"Tempatkan istri di mana kamu bertempat tinggal menurut kemarhpuanmu." (Attalaq: 6)

Ketentuan ayat tersebut berlaku untuk semua istri yang dicerai. Jadi kalau istri harus tetap bertempat tinggal di rumah bekas suami, maka artinya ia terkurung, dan karena terkurungnya ini maka ia harus mendapat nafkah. Pendapat kedua dari beberapa sahabat lainnya mengatakan bahwa bekas istri tersebut hanya mendapat tempat tinggal, sedang untuk nafkah tidak memperolehnya sama sekali. Alasannya adalah karena adanya hukum kebalikan (dalilul-khitab) dari firman Allah swt. dalam Surat Attalaq ayat 6. Artinya kalau istri (yang dicerai) sedang hamil, maka berikanlah nafkah untuknya sehingga ia melahirkan kandunganrya. Jadi kalau demikian bagi istri yang tidak hamil tidak mendapat nafkah. Pendapat ketiga, sahabat yang lain mengatakan bahwa bekas istri tersebut tidak mendapat apa-apa, baik nafkah maupun tempat tinggal. Pendapat ini juga dipegangi oleh Al-Hasan Al-Basri, 'Atha, dan As-Sya'bi. Alasannya ialah adanya suatu hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat wanita bernama Fathimah binti Qais, yang teiah dicerai ba'in oleh bekas suaminya, yaitu Abu 'Umar bin Hafas. Fathimah tersebut mengadu kepada Rasulullah saw., tentang tidak mencukupinya jaminan dari bekas suaminya. Maka Rasulullah saw., berkata kepadanya: "Ia tidak berkewajiban untuk memberikan nafakah kepadamu." Menurut riwayat lain Rasulullah Saw, bersabda kepadanya: "Tidak ada nafakah ataupun tempat tinggal bagimu." Setelah Sahabat Umar ra. mendengar hadis tersebut, maka ia berkata: "Aku tidak akan mengesampingkan kitab Tuhan (Quran) dan Sunah Nabi saw. kita hanya karer.a kata-kata seorang perempuan, yang tidak aku ketahui, apakah ia masih ingat ataukah sudah lupa. Menurut riwayat lain : Bolehjadi ia tidak tahu atau lupa. Ia berhak memperoleh tempat tinggal dan nafkah ".

Sikap yang sama juga diambil oleh Siti' Aisyah r.a., istri Nabi saw., ketika ia meminta kepada Marwan, sebagai Gubemur Madinah, untuk mengembalikan bekas istri Yahya bin Sa' id Al-Ash yang telah dicerainya ketempat yang semula, maka kata Marwan kepada Siti 'Aisyah r.a.: Apa engkau tidak mendengar hadis Fathimah binti Qais, maka jawabnya: "Tidak mengapa kalau engkau tidak mengingat-ingut hadis Fathimah binti Qais." Dari keterangan tersebut di atas, kita mengetahui bahwa bagi mereka yang tidak memakai hadis Fathimah binti Qais, maka sebabnya ialah karena hadis tersebut dianggap tidak benar. Kalau sekiranya dianggap benar oleh semua fuqaha tersebut tentu tidak akan terjadi perselisihan pendapat
3) Sahih atau tidaknya sesuatu hadis
Sebagai akibat dari banyaknya periwayatan terhadap hadis-hadis nabi, bermacam-macam keadaan si perawi dari segi kejujuran, ketelitian dan ingatan, bermacam-macamnya jalan periwayatan hadis atau tidaknya, sampai atau tidaknya ujung periwayatan hadis kepada rasul, mendengarnya si perawi dari gurunya langsung atau tidak, penyendiriannya periwayatan seseorang perawi atau ada orang lain yang meriwayatkan hadis yang sama, dan keadaan-keadaan lain dari pada periwayatan hadis, sebagai akibat dari pada itu semua, maka timbullah pembagian hadis nabi kepada hadis-hadis mutawatir dan hadis ahad. Hadis Ahad dibagi menjadi hadis sahih, hasan, dan dha'if. Terhadap hadis sahih dan hasan, maka tidak ada seorang fuqahapun yang tidak memakainya, akan tetapi perselisihan btsa terjadi mengenai sahih atau tidaknya sesuatu hadis, di mana menurut seseorang dianggap sahih sedang menurut orang lain dianggap tidak sahih. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan penilaian terhadap hal-hal yang menyangkut segi periwayatannya, seperti seorang perawi bisa dipercaya oleh seseorang sedang oleh orang lain tidak, atau ia dianggap mendengar sendiri dari gurunya, sedang menurut penyelidikan orang lain tidak mendengar sendiri, atau seseorang perawi bukan dari golongannya sendiri, atau adanya penetapan syarat-syarat kesahihaan sesuatu hadis yang tidak dianggap perlu oleh orang lain. Sebagai contoh di sini ialah mengenai orang puasa yang makan karena lupa. Menurut Ulama Madzhaf Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali, orang tersebut meneruskan puasanya tanpa qadha' lagi (mengulangi puasa). Mereka berdasarkan hadis yang dipandang shahih, dan diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dari sahabat abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw sebagai berikut. "Jika orang yang sedang berpuasa makan atau minum karena lupa, maka ia (makan atau minum) adalah rezeki yang diberikan oleh Allah kepadanya dan tidak ada qadha atasnya". Menurut Imam Malik, Ibnu Abnu Abi Laila dan beberapa Ulama Syi'ah, menganggap bahwa hadis tersebut tidak shahih, oleh karena itu orang puasa yang makan atau minum karena lupa tersebut puasanya batal dan hams diqadha.
4) Pembagian hadis dha'if
Para fuqaha membagi hadis dha'if menjadi dua bagian, yaitu pertama hadis dha'if yang lemah sekali sehingga tidak memberikan dugaan sedikitpun terhadap kebenaran isinya. Hadis semacam ini tidak boleh dipakai dengan kesepakatan para fuqaha karena memperhatikan sesuatu hukum kepada syara' harus didasarkan dalil yang pasti (yakin) atau dalil dhanny (dugaan kuat) yang menunujukkan bahwa hukum tersebut adalah hukum dari Tuhan. Kedua, hadis dha'if yang tidak begitu lemah, dan hadis menurutt ulama berbeda-beda pendapat. Menurut jumhur fuqaha, hadis tersebut boleh dipakai, sedang menurut fuqaha lain seperti fuqaha Dhahiri, hadis tersebut tidak boleh dipakai, karena hadis tersebut menimbulkan keragu-raguan terhadap kedudukannya sebagai landasan perbuatan kita. Ada pula fuqaha yang mau memakai hadis dha'if, apabilabanyak jalannya dan ada penguatnya, atau apabila sesuai dengan hasil qiyas. Contoh, syarat kufu' (kesebandingan) dalam nikah, di mana sebagian fuqaha memakainya seperti I'lama-ulama Hanafi, sedang ulama lain tidak memakainya, seperti ulama Dhahiri. Adapun yang menjadi dasarnya adalah hadis sebagai berikut. "Ingatlah, tidak mengawinkan orang-orang perempuan 'kecuali wali-walinyaf mereka tidak dikuwinkan melainkan dari orang laki-luki yting sebanding dan tidak ada maskawin yang kurang dari sepuluh dirham." Hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Baihaki dan Ad-Daruquthni, masing-masing dari Mubasyir bin' Ubaid. Menurut Imam Ahmad bahwa hadis tersebut adalah maudhu' (palsu), sedangkan Imam Hanafi hadis tersebut bisa dipakai.
5)  Perlawanan antara dua hadis ahad
Sebenarnya antara hukum-hukum syara, tidak terdapat perlawanan satu sama lain, sebab kesemuanya berasal dari Tuhan, baik berupa Alquran maupun Alhadis. Kalau kita melihat adanya perlawanan/perbedaan antara dua hadis, maka hal ini disebabkan karena kita tidak mengetahui suasana keluarnya nash-nash tersebut atau pcrkara-perkara yang karenanya hadis-hadis tersebut dikeluarkan, atau tidak dikctahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian atau karena kita tidak mengetahui scc.ira p.isti pengertian (maksud) dari dua hadis tersebut. Boleh jadi salah satu hadis bcrhubungan dengan sesuatu peristiwa, sedang hadis lain berhubungan dengan peristiwa lain. Misalnya soal penciuman orang yang sedang berpuasa terhadap istrinya. Diriwayatkan bahwa nabi pernah melarang seseorang yang berpuasa untuk mencium istrinya, dan diriwayatkan pula bahwa ia pernah memperbolehkan orang lain yang jiiga berpuasa untuk mencium istrinya. Sebenarnya antara dua riwayat tersebut tidak ada perlawanan, sebab yang dilarang adalah seorang muda yang dikhawatirkan akan mendatangkan kepada perbuatan-perbuatan berikutnya lagi, sedang orang yang diperbolehkan mencium adalah orang yang sudah tua, di mana soal penciuman baginya tidak dikhawatirkan akan mendatangkan perbuatan berikutnya yang dapat merusak puasa. Boleh jadi perlawanan yang tampak adalah disebabkan karena hadis terbelakang sebenarnya membatalkan hadis yang terdahulu, karena sudah berbeda suasana dan keadaannya, akan tetapi kedua hadis tersebut sampai kepada kita tanpa dipertalikan kepada keadaan dan suasana dikeluarkannya, dan oleh karena itu kita mencari segi-segi kekuatan pada salah- satunya, terkena! dengan nama "tarjih". Oleh karena cara-cara melakukan tarjih tidak sama, maka perbedaan pendapat juga tidak dapat dihindarkan. Seseorang boleh jadi mengambil salah satu hadis yang dipandangnya lebih kuat, tetapi fuqaha lain menganggap kuat terhadap hadis yang dianggap tidak kuat oleh fuqaha pertama. Atau boleh jadi kedua hadis tersebut dipakai kedua-duanya, di mana salah satu hadis untuk keadaan tertentu dan hadis satunya untuk keadaan lain. Demikian antara lain perselisihan para ulama tentang hadis sebagai sumber hukum.
v  Perbedaan Pendapat Karena Ijma'
Pada masa rasulullah saw., tidak ada pembicaraan tentang ijma' sebagai sumber hukum syara', karena sumber segala hukum syara' adalah Rasulullah saw. Akan tetapi setelah Rasulullah saw. wafat, dan setelah kaum muslimin mengalami sesuatu peristiwa hukum yang tidak pernah dialami sebelumnya yang dengan sendirinya tidak pernah menanyakan hukumnya kepada Rasulullah saw., maka bagaimanapun juga mereka harus mencari ketentuan hukumnya. Bagi mereka tidak ada cara lain kecuali harus mempelajari dan menggali apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah saw, berupa Alquran dan hadis disamping menerapkan aturan-aturan pokok yang telah mereka peroleh selama pergaulan dengan Nabi saw. Jawaban mereka yang mempelajari hukum peristiwa-peristiwa yang terjadi kadang-kadang sama dan merupakan kebulatan pendapat, tapi kadang-kadang jawaban, mereka juga berbeda-beda. Terhadap pendapat yang masih diperselisihkan, maka diserahkan kepada khalifah untuk dipakai atau tidaknya. Sebagai contoh disini antara lain ialah masalah menjatuhkan talak tiga kali dengan sekaligus. Jumhur Ulama Fuqaha, termasuk imam-imam mazhab yang empat, mengatakan bahwa talak tiga dengan sekaligus jatuh tiga juga. Alasan-alasan mereka ialah adanya ijma' (kebulatan pendapat) atas jatuhnya tiga talak tersebut pada masa Khalifah Umar r.a. Diriwayatkan bahwa talak tiga yang dijatuhkan sekaligus pada masa-masa Rasulullah saw. dan Khalifah Abu Bakar ra., jatuh satu saja, yakni menjadi talak raj'i. Akan tetapi Khalifah Umar r.a. memandang perlu untuk dianggap jatuh tiga juga, agar menjadi pengajaran bagi orang yang suka menjatuhkan tiga talak sekaligus. Tindakan Khalifah Umar tersebut kemudian disetujui oleh para sahabat dan persetujuan tersebut dianggap sebagai ijma'. "Dalam musnad Munad, diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a. berkata sebagai berikut: Rukanah bin Abdi Yazid menceraikan istrinya tiga kali dalam satu majlis (tempat), kemudian ra menjadi susah sekali atas istrinya tersebut. Maka Nabi saw., bertanya kepadanya: Bagaimana cara kamu menceraikannya ?. Jawab Rukanah: Saya cerakan dia tiga kali dalam satu majlis. Maka berkata Nabi saw.: Itu hanya satu kali talak, maka kembalikan dia". Meskipun ada hadis tersebut, namun karena adanya anggapan telah terjadinya ijma' atas jatuhnya talak tiga juga pada masa Umar r.a. maka para fuqaha tidak mau menerima hadis tersebut dan memakai ketentuan yang telah dipakai sebelum masa Umar ra., dengan alasan bahwa terjadinya ijma' atas sesuatu perkara yang berbeda dengan ketentuan hadis tersebut menunjukkan adanya sesuatu nash yang telah membatalkan hadis tersebut telah berakhir, atau karena keluarnya hadis tersebut dipertalikan dengan hal-hal yang kemudian tidak terdapat lagi.
v  Perbedaan Pendapat Karena Qiyas
Dengan wafatnya Rasulullah saw., maka para sahabat terpaksa harus memeras otak untuk mengetahui hukum sesuatu peristiwa yang dihadapi. Kalau peristiwa tersebut ada kemiripannya dengan apa yang pernah terjadi pada masa rasul, maka mereka tinggal menerapkan hukum yang telah ada, dan kalau tidak ada kemiripannya, maka mereka dalam menetapkan hukum kadang-kadang berpedoman pada jiwa syariat yang umum, atau menghapuskan kesempitan tanpa mempunyai syarat-syarat dan aturan-aturan penetapan hukum yang dikenal pada masa kemudiannya. Cara-cara yang sama juga dipakai oleh fuqaha-fuqaha angkatan berikutnya. Akan tetapi, pada masa kemudian timbullah orang-orang yang memakai cara-cara tersebut bukan pada tempatnya, dan sebagai akibatnya sudah barang tentu. adalah penetapan hukum yang tidak tepat. Maka timbullah pembahasan tentang dalil-dalil hukum, syarat-syarat pemakaiannya dan cara-cara menerapkannya. Dari sini maka timbullah perselisihan tentang beberapa macam dalil (sumber) hukum, dan diantara ialah qiyas. Perbedaan pendirian tentang pemakaian qiyas sudah barang tentu menimbiilkan perbedaan dalam menetapkan hukum, sebab apa yang dketapkan hukumnyaberdasarkan qiyas oleh fuqaha pemakai qiyas akan dikembalikan hukumnya kepada kebolehan asli oleh fuqaha bukan pemakai qiyas. Sebagai contoh perbedaan pendapat karena qiyas ialah, mengenai hukuman minuman keras. Menurut Sahabat Ali r.a., hukumannya ialah delapah puluh kali cambukan (jilid), sebab seseorang apabila telah mabuk maka ia membuat fitnah, sedang hukuman memfitnah ialah delapan kali cambukan. Jadi minuman-minuman keras dipersamakan dengan membuat fitnah. Akan tetapi bagi fuqaha Dhahiri, disebabkan mereka tidak mau menggunakan qiyas, maka dalam penetapan hukuman bagi minuman-minuman keras mereka berpijak pada nash-nash syari'at yang umum, dan dalam hal ini, mereka menetapkan hukuman "ta'zir" artinya besarnya hukuman perbuatan tersebut diserahkan kepada kebijaksanaan penguasa sesuatu masa, bukan didasarkan atas batasan tertentu (had).

C. PEMAHAMAN NASH SEBAGAI FAKTOR TIMBULNYA PERBEDAAN      PENDAPAT
Hal-hal yang menimbulkan pemahaman yang berbeda terhadap nash-nash (dalil) pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian kata-kata tunggal dan pengertian susunan kata (uslub). Kata-kata tunggal tersebut ialah kata-kata musytarak, suruhan dan larangan, hakikat dan majaz, mutlak dan muqayyad. Adapun susunan kata-kata (uslib) yang menim-bulkan pemahaman yang berbeda ialah pengecualian dari kata-kata umum, mafhum mukhalafah, fahwul khitab, umumul muqtadha, istisna sesudah beberapa jumlah kata-kata. Berikut ini contoh-contohnya:
1.  Kata-kata Musytarak
Kata mustarak ialah kata-kata yang mempunyai pengertian rangkap. Misalnya kata-kata "quru' " pada firman Allah: 
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%
Artinya:
"Istri yang diceraikan suaminya harus menunggu dirinya (beriddah) tiga kali quru' ".
Kata-kata quru' ini mempunyai arti dua yaitu "suci" dan "haid". Kedua arti ini tidak bisa dipakai bersama-sama, melainkan hams diambil salah satunya. Menurut Imam Malik, Syafi'i, dan Dawud Ad-Dhahiri arti tersebut ialah "suci". Jadi menurut mereka iddah istri yang dicerai adalah tiga kali persucian. Menurut Imam Abu Hanifah arti tersebut ialah haid, dan kelanjutannya ialah bahwa iddah istri tersebut ialah tiga kali haid.
2.  Pengertian Suruhan dan Larangan
Dalam membcrikan suruhan/perintah dengan menggunakan bermacam-macam bentuk kata, scpcrti fi'il aniar, fi'il mudhari' yang disertai dengan lam amr dan kalimat berita yang bennakna perintah. Di kalangan fuqaha pengertian bentuk perintah tersebut masih diperselisihkan, apakah menunjukkan wajib atau sunah, kecuali kalau adaqarinuli. Sebagai contoh suruhan menulis perjanjian hutang piutang dan mendatangkan dua orang saksi pada firman Allah sebagai berikut.
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù
 Artinya: "Wahai orang-orang yang heriman, jika kamu sating berpiutang dengan sesuatu hutang sampai masa tertentu, maka tuliskan hutang piutang tersebut." (Q.S. Albaqarah/2: 282)

Menurut jumhur fuqaha perintah-perintah tersebut hanya. bersifat irsyad saja (petunjuk) atau sunat, akan tetapi menurut ulama lain perintah tersebut menunjukkan wajib. Dalam memberikan larangan syara" juga memakai bermacam-macam bentuk dan mengehai pengertiannya masih diperselisihkan. Apakah menunjukkan haram atau makruh. Hal ini tergantung qarinahnya. Sebagai contoh ialah larangan mengadakan pembelian atau pinangan pada hadis berikut. "Seseorang diantara kamu tidak boleh membeli atas pembelian (tawaran) saudaranya atau meminang atas pinangan saudaranya kecuali diizinkan kepadanya." Maksudnya membeli barang yang masih dalam penawaran orang lain atau meminang kepada wanita yang masih dalam pinangan orang lain. Sebagian fuqaha mengatakan bahwa larangan tersebut adalah pasti dan perbuatan yang dilarang adalah haram. Kelanjutannya adalah bahwa pembelian atau perkawinan yang dilakukan dalam keadaari demikian tidak sah. Akan tetapi menunit fuqaha lain, larangan tersebut tidak pasti dan tidak haram, melainkan larangan etis yang bersifat tata krama. Kelanjutannya ialah pembelian dan perkawinan yang dilakukan dalam keadaan demikian letup sah. Fuqaha yang lain lag! mongalakan bahwa larangan tersebut menunjukkan haram juga, tetapi tidak berakibat sahnya pembelian atau perkawinan, karena larangan tersebut tidak bertalian dengan perbuatan itu sendiri, melainkan dengan hal-hal yang diluamya.
3.  Kata-kata Hakikat dan Majazi
Sesuatu kata-kata kadang-kadang dipakai dalam arti hakiki (arti yang sebenarny a) dan kadang-kadang dipakai dalam arti majazi (bukan arti yang sebenarnya). Hal ini ada pengaruhnya terhadap perbedaan pendapat bagi kalangan fuqaha. Sebagai aturan pokok sudah diakui oleh semua fuqaha, bahwa selama masih bisa memakai arti hakiki maka arti majazi tidak boleh dipakai. Tetapi perselisihan tentang arti hakiki bisa dimungkinkan. Juga tentang apakah arti dan majazi kedua-duanya bisa dipakai bersama-sama sekaligus atau tidak. Sebagai contoh ialah membaca surat Fatihah dalam shalat yang berpangkal pada hadis Rasulullah saw.:                                                                                          
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَاْ الفَا تِحَةَ
Artinya: "Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat Fatihah. "

Menurut sebagian fuqaha, hadis tersebut diartikan kepada arti hakiki, yakni shalat dianggap tidak sah (tidak ada) apabila tidak membaca Fatihah. Menurut Imam Hanafi, hadis tersebut diartikan arti majazi. Jadi yang ditiadakan adalah kesempurnaannya, yakni sesuatu shalat tidak akan sempuma apabila tidak 'membaca Fatihah. Kalau diartikan kepada arti hakiki tentu akan berarti membatalkan ayat Alquran yang berbunyi "Maka bacalah apa yang mudah berupa Alquran." Menurut ketentuan Alquran ini baik surat Fatihah atau bukan, asal berupa Alquran bisa dibaca. Menurut ulama-ulama Hanafiah dengan membaca sembarang ayat Alquran maka shalat menjadi sah.
4.  Kata-kata Mutlak dan Muqayyad
Sesuatu kata-kata kadang-kadang disebutkan dalam satu tempat dengan bentuk mutlak, artinya disebutkan tanpa batasan-batasan tertentu, seperti kata-kata "tiga hari". Kemudian kata-kata tersebut disebutkan di tempat lain dengan bentuk muqayyad, artinya memakai batasan-batasan tertentu, sehingga dapat mengurangi daerah penerapannya seperti kata-kata "tiga hari berturut-turut." Contoh dalam hal ini, misalnya kata-kata "raqabah" (hamba sahaya) pada surat Annisa ayat 92.
$tBur šc%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& Ÿ@çFø)tƒ $·ZÏB÷sãB žwÎ) $\«sÜyz 4 `tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr&
Artinya: "Barang siapa membunuh orang mukmin karena tidak sengaja, maka atasnya membebaskan seorang hamba sahaya mukmin dan diyat (denda) yang diserahkan kepda keluarganya. " (Annisa/4: 92)

Kata-kata hamba sahaya mukmin ini menunjukkan "muqayyad", sedangkan dalam surat lain disebut kata hamba sahaya dengan tidak menyebut mukmin, jadi "mutlak" sobagaimana dalam surat Almujadalah ayat 3 :
tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàム`ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrߊqãètƒ $yJÏ9 (#qä9$s% ㍃̍óstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ
Artinya: "Mereka yang menyhar (mempersamakan istrinya dengan orang perempuan mahramnya) istrinya, kemudian menarik kembali kata-katanya, maka atasnya membebaskan seorang hamba sahaya, sebelum keduariya bercampur. " (Almujadalah/58: 3)

Kalau kita perbandingkan antara kedua ayat tersebut, maka ternyata bahwa hukum kedua ayat tersebut adalah sama yaitu pembebasan hamba sahaya, tetapi sebab adanya hukum tersebut berbeda, karena ayat yang pertama mengenai pembunuhan yang tidak disengaja, sedangkan ayat yang kedua mengenai zihar kepada istrinya. Maka menurut ulama-Hanafiah dan Malikiah. antara kedua ayat tersebut tidak perlu dipertalikan. Jadi kewajiban pembunuhan tidak sengaja ialah membebaskan hamba sahaya mukmin, sedangkan kewajiban pada zihar membebaskan sembarang hamba sahaya. Sebaliknya menurut ulama-ulama Syafi'iah, kata-kata mutlak harus dibawa kepada kata-kata muqayyad. Jadi kewajiban pada zihar adalah membebaskan hamba sahaya yang mukmin, sebagaimana pembunuhan yang tidak disengaja.
5.  Mafhum Mukhalafah
Kalau sesuatu hukum dipertalikan dengan sesuatu sifat (keadaan), atau syarat atau ghoyah (perhinggaan) atau bilangan tertentu, apakah bisa ditarik kesimpulah bahwa perkara-perkara lain yang tidak mempunyai sifat. atau syarat atau ghoyah atau bilangan tertentu, mempunyai hukum scbaliknya (hukum kebalikan)? Contoh mafhum mukhalafah dan sifat ialah hadis yang berbunyi: "Pada kambing yang digembalakan ado. zakatnya. "
Menurut Syafi'i dan Hanafi, penyipatan kambing dengan kata "digembalakan" menunjukkan bahwa yang tidak digembalakan tidak dikenakan zakat. Jadi mereka memakai mafhum mukhalafah. Menurut Imam Malik, kambing baik digembala maupun tidak tetap ada zakatnya. Jadi ia tidak memakai mafhum mukhalafah.
6. Fahwal Khitab/Mafhum Muwafaqah
Fahwal khitab ialah penunjukan sesuatu nash atas adanya sesuatu hukum dari perkara yang disebutkan untuk sesuatu yang tidak disebutkan dan yang seimbang atau lebih utama daripada yang disebutkan, karena alasan adanya hukum tersebut pada kedua-duanya. Perluasan sesuatu hukum dari perkara yang disebutkan kepada perkara yang tidak disebutkan masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Fuqaha mazhab Syafi'i mengakui perluasan tersebut, sedang fuqaha mazhab Hanafi tidak mengakuinya. Sebagai contoh ialah tentang pembebasan hamba sahaya pada pembunuhan yang tidak disengaja, sebagaimana ayat di atas. Berdasarkan bunyi ayat tersebut, maka kifarat bagi yang berupa pembebasan hamba sahaya mukmin dikenakan terhadap pembunuhan karena tidak sengaja. Akan tetapi, menurut fahwal khitab (mafhum muwafaqah) kifarat tersebut juga dikenakan kepada pembunuhan yang disengaja, karena kedua macam pembunuhan tersebut sama-sama memerlukan ala( pelebur dosanya, atau sama-sama kualifikasinya yaitu pembunuhan. Perbedaan yang ada antara keduanya ialah hanya sengaja dengan tidak sengaja saja, dan perbedaan semacam ini tidak perlu menimbulkan perbedaan dalam penetapan kifarat, bahkan pada pembunuhan sengaja keperluan terhadap alat pelebur dosa lebih besar lagi, karena dosa pada pembunuhan tidak sengaja hanya timbul dari kurang hati-hati. Demikianlah pendirian ulama-ulama Syafi'iyah. Menurut Ulama-ulama Hanafiyah, Ahmad, dan Maliki, pembunuhan dengan sengaja tidak ada kifaratnya, sebab dosa antara yang disebut (tidak sengaja) dengan dosa yang tidak disebut (sengaja) tidak sama. Dosa pembunuhan sengaja tidak bisa dilebur dengan ibadah, yaitu kifarat, sebab kifarat hanya bisa melebur dosa yang memang pada dasamya bisa hilang. Di sampmg itu kifarat mengandung arti hukuman (pembalasan) yang dimaksudkan sebagai pengajaran agar tidak mengulang kembali apa yang dilarang.
7.  Istisna Sesudah Serangkaian Perkataan
Kalau sesudah menyebutkan beberapa ketentuan hukum (serangkaian perkataan), kemudian diikuti pengecualian (istisna), maka ketentuan hukum mana yang harus dikenakan pengecualian tersebut. Seperti ayat Alquran sebagai berikut.
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ  

Artinya: "Mereka yang menuduh (memfitnah telah berbuat zina) orang-orang perempuan yang baik-baik. kemudian ia tidak mendatangkan empai orang saksi, maka jilidlah mereka delapan puluh kali. Dan janganlah kamu terima persaksian mereka selamanya. Mereka adalah orang-orang yang fasiq. Kecuali mereka yang bertaubat." (Q.S.Annur/24:4)

Di sini ada tiga kctentuan hukum, yaitu hukuman jilid, penolakan persaksian, dan kefasikan. Kemudian ada pengecualian, yaitu mereka yang taubat. Menurut sebagian fuqaha, pengecualian tersebut dipertalikan kepada tiga ketentuan hukum tersebut semuanya karena ke tiga ketentuan hukum tersebut bernilai sama. Di antara mereka ialah As-Syi'bi, ia mengatakan bahwa orang yang memfitnah apabila sebelum dijatuhi hukuman had (80 jilid) telah bertaubat, maka ia tidak dijatuhi hukuman had, diterima persaksiannya dan tidak dicap sebagai orang fasik. Sebagian fuqaha lain berpendapat bahwa pengecualian tersebut dipertalikan kepada dua ketentuan hukum terakir. Oleh karena itu, apabila orang tersebut bertaubat, maka hukuman had tetap dijatuhkan. Akan tetapi, persaksiannya dapat diterima dan kualifikasi sebagai orang fasiq terhapus. Menurut fuqaha Hanafiah, pengecualian pada ayat tersebut hanya dipertalikan kepada ketentuan hukum yang terakhir, yaitu yang dengan langsung berhubungan dengan pengecualian. Dengan demikian, maka orang yang memfitnah tersebut dijatuhi hukuman had dan ditolak persaksiannya, meskipun ia telah bertaubat. Akan tetapi, dengan taubamya itu kualifikasi fasiq terhapus. Perbedaan pendapat tersebut berpangkal pada perbedaan pendirian tentang tempat mempertalikan pengecualian.

D. ALIRAN-ALIRAN DALAM HUKUM ISLAM
Pada pembicaraan-pembicaraan yang telah lewat sudah disebutkan bahwa perbedaan pendapat tentang hukum-hukum Islam baru terjadi setelah Rasulullah saw., wafat sebagai akibat perlunya penerapan nash-nash hukum yang telah ada, berupa Alquran dan hadis, terhadap peristiwa-peristiwa baru yang timbul dan memerlukan penentuan hukumnya. Perbedaan tersebut adalah suatu hal yang wajar, karena keadaan mereka tidak sama tentang pengetahuan dan pemahaman terhadap nash-nash syari'at dan tujuan-tujuannya, selain karena perbedaan tinjauan dan dasar-dasar pertimbangan dalam menganalisis sesuatu persoalan hukum. Para Imam Mujtahid, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebagian besar umat Islam. Bagi Umuwan, selain imam mazhab yang empat itu, juga mereka kenal seperti Imam Daud Adz-Dzahiri, Syi'ah Zaidiyah, Syi'ah Imamiyah, dan mujtahid lainnya. Akan tetapi, untuk mengetahui pemikiran masing-masing imam mazhab itu sangat terbatas. Bahkan ada yang cenderung hanya ingin mendalami mazhab tertentu saja. Hal ini disebabkan karena pengaruh lingkungan alau karena ilmu yang diterima hanya dan ulama atau guru yang, menganut suatu mazhab saja. Mengenai suatu aliran mazhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi hendaknya jangan menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada pada mazhab yang lain yang bersumber dari Alquran dan hadis. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak panatik kepada satu mazhab. Untuk mengenal tokoh-tokoh, pikiran-pikiran dan pengaruhnya kepada kaum muslimin, maka perlu disebutkan sccara singkat tentang mazhab-mazhab tersebut, terutama empat mazhab yang terkenal di Indonesia.
1.  Imam Hanafi
a.   Nama dan tempat lahir
Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699M). Nama beliau yang sebenamya adalah Nu'man bin Tsabit bin Zautha bin Man. Menurut riwayat, bahwa ayah beliau (tsabit) dikala kecilnya pernah diajak ayahnya (zautha) untuk mengunjungi AH bin AJbi Thalib, kemudian AH berdoa: mudah-mudahan dari keturunannya ada orang yang menjadi golongan orang yang baik-baik serta luhur. Imam Hanafi setelah mempunyai beberapa anak, yang di antaranya ada yang diberi nama Hanifah, lalu beUau mendapat gelar dari orang banyak dengan gelar: Abu Hanifah. Ini menurut satu riwayat, adapun riwayat lain sebab beliau mendapat gelar Abu Hanifah, karena beliau seorang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah swt, dan sungguh-sungguh mengerjakan kewajibannya dalam agama. Karena kata "hanif' dalam bahasa Arab itu artinya "condong" kepada agama yang benar. Ada sebagian yang meriwayatkan bahwa beliau mendapat gelar Abu Hanifah, karena eratnya beliau dengan "tinta". Karena kata "hanifah" menurut bahasa Iraq artinya adalah "dawat" atau "tinta". Yakni beliau di mana-mana senantiasa membawa dawat atau tinta untuk menulis atau mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari para gurunya.
b.   Kecerdasan Imam Hanafi
Kecerdasan Imam Hanafi dapat diketahui melalui pengakuan dan pernyataan para ilmuwan, di antaranya:
1. Imam Ibnu Al-Mubarak, beliau menyatakan: Aku belum pernah melihat seorang laki-laki yang lebih cerdik dari pada Imam Abu Hanifah;
2.  Imam Ali bin Ashim berkata: Jika sekiranya ditimbang akal Abu Hanifah dengan akal kota penduduk ini, tentu akal mereka itu dapat dikalahkan;
3. Raja Harun Al-Rasyid pemah berkata : Abu Hanifah adalah seorang yang dapat melihat dengan akalnya pada barang apa yang tidak dapat ia lihat dengan mata kepalanya;
4.  Imam Abu Yusuf berkata: Aku belum pemah bersahabat dengan seorang yang cerdas dan cerdik melebihi kecerdasan akal pikiran Abu Hanifah.
Terlepas dari pernyataan di atas, kitapun tentu dapat membayangkan bahwa bagaimana mungkin beliau dikenal sebagai seorang mujtahid, bila tidak memiliki kecerdasan dan pandangan luas dalam menetapkan suatu hukum.
c.  Kepandaian Imam Hanafi tentang fiqh
Imam Hanafi dikenal sangat rajin dalam menuntut ilmu. Mula-mula ia mempelajari hukum agama, kemudian ilmu kalam. Imam Hammad bin Abi Sulaiman adalah seorang guru beliau yang sering mewakilkan kepada beliau dalam mengajarkan agama dan memberikan fatwa. Kepercayaan ini diberikan karena keluasan wawasan dan pandangan beliau dalam mengupas masalah fiqh. Imam Malik pernah ditanya orang: Pernahkah anda mclihat Imam Abu Hanifah? Jawabnya: "Ya, saya pernah melihatnya, ia adalah seorang laki-laki, jika Anda berkata tentang tiang ini supaya ia jadikan etnas, niscaya ia akan memberikan alasan-alasannya." Imam Syafi'i pemah berkata: "Manusia seluruhnya adalah menjadi keluarga dalam fiqh dan menjadi anak buah Imam Abu Hanifah." Pernyataan Imam Malik dan Imam Syafi'i tentang kepandaian Imam Abu Hanifah dalam masalah fiqh, sudah cukqp dijadikan alasan, bahwa betapa luas pandangan beliau dalam mengupas hukum-hukum Islam.
d.  Kepandaian Imam Hanafi tentang ilmu hadis
Dalam menetapkan hukum, beliau menggunakan Alquran dan hadis. Hal ini sen£aja ditekankan supaya tidak ada kesan bahwa beliau kurang memperhatikan sunah rasul, karena beliau dijuluki "ahlu al-Ra'yi". Menurut Imam Abu Yusuf, saya bclum pernah mclihut scorung yang lebih mengerti tentang hadis dan tafsirnya, selain Abu Hanifah. la tahu akan 'illah-'illah hadis, mengerti tentang ta'dil dan tarjih, mengerti tentang tingkatan-tingkatan hadis yang sah dan tidak. Imam Hanafi sendiri pemah berkata: "Jauhilah oleh kamu memperkatakan urusan agama Allah menurut pendapat sendiri, tidak menurut hadis-hadis nabi. Beliau memang sangat selektif terhadap hadis, sehingga hadis yang dianggap lemah, belim tinggalkan dan lebih mengutamakan rasio (analog! atau qiyas)."
e. Dasar-dasar Mazliab Imam Hanafi
Imam Hanafi banyak sekali mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau banyak menetapkan hukum-hukum yang belum terjadi. Sebagai dasar yang beliau jadikan dalam menetapkan suatu hukum adalah :
1.  Alquran,
2.  Alhadis,
3.  Fatwa sahabat/ijma',
4.  Qiyas,
5.  Istihsan, dan
6.  'Urf

Mazhab Hanafi dapat tersebar luas di negeri Islam bagian timur pada abad-abad pertengahan berkat kekuasaan imam Abu Yusuf sebagai Hakim Agung di Bagdad dan sebagai akibat pengutamaan Khalifah-khalifah Abasiyah terhadap mazhab-mazhab tersebut dalam lapangan pengadilan. Untuk negeri Magribi mazhab tersebut dipakai. sampai hampir tahun 400 H, sehingga dapat menguasai kepulauan Silsilia. Pada waktu sekarang mazhab tersebut mendapat pengikut yang banyak sekali di India dan mempakan mazhab yang berkuasa di Turki. Mazhab tersebut mulai masuk negeri Mesir pada permulaan masa Abassi, dan kemudian mendapat desakan-desakan dari mazhab-mazhab Maliki dan Syafi'i. Kemudian mazhab Hanafi tersebut dijadikan pegangan peradilan di Mesir sampai sekarang, meskipun dengan beberapa perubahan yang diambilkan dari mazhab-mazhab yang lain.
f. Pesan-pesan Imam Hanafi
Beliau berpesan mengenai taqlid antara lain:
1    haram bagiorangyangtidakmengetahuidalilkumernberifatwadenganperkataanku;
2   ini hanya sekedar pendapat Abu Hanifah, maka siapa saja yang datang kepadaku dengan pendapat (hasil ijtihad) yang lebih baik dari pada pendapatku mscaya akan kuterima.. Pesan beliau tentang bid' ah antara lain:
1.  jauhilah perbuatan bid'ah, mencari-cari bid'ah dan melampaui batas dalam urusan agama. Dan hendaklah kamu mengikuti perkara-perkara yang permulaan sekali,
yakni mengikuti Nabi Muhammad saw.;
2.   Hendaklah kamu mengikuti sunah Nabi saw., dan menjauhi semua perkara-perkar
baru, sebab perkara yang baru dalam urusan ibadah adalah bid'ah.
2.  Imam Malik Bin Anas (93-179 H)
a.   Nama dan Tempat lahir
Imam Malik dilahirkan di kota Madinah daerah kota Hijaz, pada tahun 93 H (712 M) Nama beliau adalah Maliki bin Abi Anir. Salah seorang kakeknya datang ke Madinah lalu berdiam di sana. Kakeknya Abu Amir seorang sahabat yang turut menyaksikan segala peperangan Nabi saw., selain perang Badar.Pada masa Maliki dilahirkan, pemerintahan klam ada ditangan kekuasaan kepala negara Sulaiman bin Abdul Maliki (dari Bani Umayyah yang ke tujuh). Kemudian setelan beliau menjadi seorang alim besar dan dikenal dimana-mana, pada masa itu pila penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui oleh sebagian kaura muslimin. Buah hasil ijtihad beliau itu dikenal oleh orang banyak dengan sebutan MaznaD Imam Malik.
b. Kepandaian Imam Malik
Kepandaian Imam Malik dapat kita ketahui melalui para ulama pada masanya, seperti pernyataan Imam Hanafi yang menyatakan bahwa: "Beliau tidak pernan menjumpai seorang pun yang lebih alim dari pada Imam Malik." Bahkan Imam A*-Laits bin Sa'ad pernah berkata, bahwa pengetahuan Imam Malik adalah pengetatiuan orang yang takwa kepada allah dan boleh dipercaya bagi orang-orang yang benar-benar hendak mengambil pengetahuan. Imam Yahya bin Syu'bah berkata:" Pada masa itu tidak ada seorang yang dapat menduduki kursi mufti di Masjid Nabi saw., selain Imam Maliki. Karena kepandaian Imam Malik, maka terkenallah beliau sebagai seorang ahli kota Madinah dan terkenal pula sebagai imam di negeri Hijaz.
c. Dasar-dasar Mazhab Imam Malik
Dasar-dasar hukum yang diambil dan dipcrgunakan oleh Imam Malik dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Kitab Allah (Alquran).
2. Hadis rasul yang ia pandang sah.
3. Ijma' para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadis apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
4.  Qiyas.
5. Maslahah Mursalah.
d.  Cara Imam Malik memberi fatwa
Imam Malik adalah seorang yang terkenal ulama besar, beliau sangat hati-hati dan teliti dalam urusan hukum-hukum keagamaan, terutama dalam urusan riwayat yang dikatakan hadis dari Rasulullah saw.. Ringkasnya bahwa cara-cara beliau memberi fatwa bisa dilihat dari cara beliau memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan beliau. Imam Syafi'i berkata: "Sungguh aku telah menyaksikan Imam Malik, bahwa beliau pernah ditanya masalah-masalah sebanyak empat puluh delapan masalah, beliau menjawab: Saya belum tahu." Dari pertanyaan ini jelaslah, bahwa beliau adalah seorang ang amat berhati-hati menjawab masalah yang bertalian dengan hukum-hukum iceagamaan dan beliau tidak terburu-buru memberi jawaban terhadap masalah yang memang belum diketahui hukumnya oleh beliau. Beberapa ulama mcriwayatkan, bahwa Imam Malik berkata: "Saya tidak memberi fatwa-fatwa dan meriwayatkan hadis, sehingga tujuh ulama membenarkan dan mengakui." Artinya bahwa segala masalah yang difatwakan oleh beliau kepada orang lain setelah disaksikan oleh tujuh puluh orang ulama, dan mereka menetapkan sepakat, bahwa beliau seorang yang ahli dalam masalah yang difatwakannya itu.
e.  Nasihat Imam Malik terhadap taqlid
Sebagai seorang mufti besar dan seorang Alim, ahli hadis beliau tidak pernah engajarkan atau bimbingan kepada muridnya untuk mengekor (bertaqlid) terhadap sndapat atau buah hasil penyelidikan beliau, bahkan sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukum halal dan haram dan sangat melarang bertaqlid buta dan sebagai bukti di bawah ini ada beberapa pesan beliau. Imam Malik pernah berkata: Saya seorang manusia dan saya terkadang benar dan terkadang saya salah, oleh karena itu lihatiah dan pikirkanlah baik-baik pendapat saya, sesuai dengan Alquran dan sunah maka ambillah dia dan jika tidak sesuai maka tinggalkanlah. Artinya, bahwa jika beliau menjatuhkan hukuman dalam masalah keagamaan dan pada waktu menetapkan buah pikirannya itu bukan dari nash Alquran dan sunah, maka masing-masing kita disuruh untuk melihat dan memperhatfkannya kembali dengan baik tentang buah pikiran beliau itu. Maksudnya semua pikiran yang dituangkannya, terlebih dahulu harus dicocokkan dengan nash Alquran dan sunah. Pada suatu waktu beliau juga pemah mengatakan bahwa: 'Tidaklah semua perkataan itu lalu diikuti sekalipun ia orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan." Kita tidak mesti mengikuti perkataan orang dengan sembarangan meskipun orang itu mempunyai kelebihan, ketinggian derajat atau terpandang mulia. Kalau perkataan orang itu jelas berlawanan atau menyalahi hukum-hukum rasul, maka kita diperbolehkan untuk tidak mengikutinya. Dengan demikian jelaslah, bahwa kita dilarang bertaqlid kepada pendapat-pendapat dan perkataan yang memang nyata tidak sesuai dengan petunjuk yang ada dalam Alquran dan sunah. Demikian nasihat Imam Malik dalam masalah bertaqlid.
f.  Nasihat Imam Malik masalah bid'ah
Beliau sangat keras terhadap bid'ah dan ahli bid'ah, antara lain beliau pemah bersyair yang artinya: "Sebaik-baik urusan agama itu adalah orang yang mengikuti sunah Nabi saw., dan sejelek-jelek urusan agama itu adalah perbuatan yang baru. Artinya bahwa sebaik-baik urusan agama mengenai peribadatan adalah yang mengikuti sunah Nabi saw., dan sejelek-jeleknya adalah yang diperbuat tanpa contoh dari nabi dan tidak pula dikerjakan oleh Nabi saw. Pada kesempatan vang berbeda beliau pernah berkata: "Barang siapa yang mengada-ada suatu perbuatan baru dalam urusan Islam dan ia telah menganggap bahwa perbuatan itu baik, maka sesungguhnya berarti ia telah menuduh bahwa Nabi saw., telah menyem-bunyikan risalahnya, padahal Allah telah berfirman: Pada hari ini aku telah sempurnakan agamamu....". Oleh sebab itu, apapun yang tidak menjadi agama pada masa itu, tidak akan menjadi agama pada masa yang lain. Artinya bahwa orang yang memandang perbuatan yang baru itu baik, berarti tidak menganggap bahwa nabi tidak sempurna dalam menyampaikan risalahnya kepada umat manusia.Dari riwayat di atas jelaslah bahwa Imam Malik sangat keras terhadap bid'ah dalam urusan agama. Demikianlah beberapa nasihat beliau tentang bid'ah.
g.  Murid-muridnya
Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Imam Syafi'i (wafat 204 H), yang kemudian mendirikan mazhab sendiri. Ibnu Wahab (wafat 197 H) yang menyiarkan mazhab Imam Maliki di Mesirdan negeri-negeri Magribi. Ibnul Qasim (wafat 191 H) yang menyiarkan mazhab tersebut di Mesir dan yang membukukan mazhab tersebut. Asyhab (wafat 204 H) dan Ibnul Furut (wafat 213 H) yang menyiarkan mazhab tersebut di negeri Magribi. Selain negeri-ncgcri tersebut, negeri Andalusia dan Sudan pada masa itu telah menggunakan/melaksanakan mazhab Imam Malik sampai sekarang.
3.  ImamSyafi'i
a.  Nama dan tempat lahir
Imam Syafi'i dilahirkan di Guzzah, suatu kampung dalam jajahan Palestina, masih wilayah Asqalan pada tahun 150 H (767 M), bersamaan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Kemudian beliau dibawa ibunya ke Mekkah dan dibesarkan di sana. Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi'i bin Syaib bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf. Dengan silsilah ini jelaslah bahwa beliau itu adalah dari keturunan bangsa Arab Quraisy, dan keturunan beliau bersatu dengan keturunan Nabi saw., pada Abdul Manaf dan Hasyim yang tersebut dalam silsilah tersebut.
b.  Kepandaian Imam Syafi'i
Kecerdasan ImamSyafi'i dapatkitaketahui melalui ri way at-riwayat yang mengatakan bahwa Imam Syafi'i pada usia 10 tahun sudah hapal dan mengetti kitab Almuwatha', kitabnya Imam Malik. Karena itulah ketika beliau belajar ilmu hadis kepada Imam Sofyan bin Uyainah, beliau sangat dikagumi oleh guru besar ini dan selanjutnya beliau dapat menempuh ujian ilmu hadis serta lulus mendapat ijazah tentang ilmu hadis dari guru besar tersebut. Imam Syafi'i setelah berumur 15 tahun diberi izin oleh gurunya untuk mengajar dan memberi fatwa kepada khalayak ramai, dan beliaupun tidak keberatan untuk menduduki jabatan sebagai guru besar dan mufti di dalam Masjid Al-Haram dan sejak itulah beliau terus memberi fatwa. Akan tetapi meskipun demikian, beliau tetap belajar untuk menuntut ilmu pengetahuan di Makkah, dan semenjak itu pula orang-orang berdatangan kepada Imam Syafi'i dan orang yang berdatangan itu tidak sembarangan orang, tetapi terdiri dari para ulama, ahli syain ahli sastra Arab, dan orang-orang terkemuka, karena dada beliau pada waktu itu telah penuh ilmu-ilmu. Kepandaian Imam Syafi'i dalam bidang fiqh, terbukti dengan kenyataan ketika beliau berusia 15 tahun, sudah termasuk orang alim ahli fiqh di Makkah dan sudah diikut sertakan dalam majelis fatwa dan lebih tegas lag! beliau disuruh menduduki kursi mufti. Kepandaiannya dalam bidang ilmu hadis dan tafsir dapat kita kctahui, ketika beliau masih belajar kepada Imam Sofyan bin Uyainah di kota Makkah. Pada waktu itu beliau boleh dikatakan sebagai seorang ahli tafsir. Sebagai bukti pula bahwa apabila Imam Sofyan bin Uyainah pada waktu mengajar tafsir Alquran menerima pertanyaan-pertanyaan tentang tafsir yang agak sulit, guru besar segera berpaling kepada beliau dulu, lalu berkata kepada orang yang bertanya: "Hendaknya kamu bertanya kepada pemuda ini, sambil menunjuk tempat duduk Imam Syafi'i." Selain kepandaiannya dalam bidang fiqh dan tafsir, beliau juga seorang alim dalam bidang hadis, karena sebelum beliau dewasa sudah hapal kitab Muwatha". Dari uraian di atas kiranya cukup menjadi bukti tentang kepandaian beliau dalam bidang ilmu agama.
c.  Dasar-dasar Mazhab Syafi'i
Dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi'i sebagai acuan pendapatnya adalah termaktub dalam kitabnya Arrisalah dan Alumm, yaitu sebagai berikut.
1. Alquran.
2. Alhadis yang shahih. S.Ijma'.
4. Qiyas.
5. Istidlal (istishab).
Imam Syafi'i adalah pakar yurisprudensi Islam, salah seorang tokoh yang tidak kaku dalam pengambilan hukum dan tanggap terhadap keadaan lingkungan tempat beliau menetapkan hukum, sehingga beliau tidak segan-segan untuk mengubah penetapan hukum yang semula ia telah lakukan untuk menggantikan dengan hukum yang bam, karena berubah keadaan lingkungan yang dihadapi. Karena pendirian beliau yang demikian itu, maka muncullah apa yang disebut qaul qadim sebagai hasil ijtihadnya yang pertama dan qaul jadid sebagai pengubah keputusan hukum yang pertama.
Qaul Qadim dan Qaul Jadid Imam Syafi'i itu terungkap datom beberapa masalah, antara lain sebagai berikut.
1.  Bersambung (muwalah) dalam berwudu.
- Qaul Qadim: Bersambung (muwaalah) dalam berwudu hukumny a wajib, karena beralasan bahwa huruf wawu dalam ayat 6 Surat Almaidah, menunjukkan harus berurutan dan beringan satu sama lainnya sampai selesai.
- Qaul Jodid: Bersambung (muwalah) dalam berwudu itu hukumny a sunat, karena berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah saw., pernah berwudu dan menunda membasuh kaki beliau.
2. Hukum shalat orang yang terdapat najis yang tidak dapat dimaafkan, sedangkan dia tidak tabu.
-   Qaul Qadim: Tidak wajib mengqadha shalat.
-  Qaul Jadid: Wajib mengqadha shalat, karena suci dalam shalat itu hukumnya wajib. Hukum wajib tidak bisa gugur, karena tidak tahu ada najis, sebagaimana halnya wajib bersuci dari hadas.
3.  Habis waktu Magrib
-   Qaul Qadim: Waktu magrib habis setelah hilang mega merah.
-  Qaul Jadid: Waktu magrib habis, kira-kira cukup waktu untuk berwudu, menutup aurat, azan dan qamat serta mengerjakan shalat lima rakaat (magrib dan sunat ba'diyah) yang dikerjakan secara wajar dan tidak tergesa-gesa. Dan sebagainya (ini hanya merupakan contoh saja).
d. Kitab-kitab Karangan Imam Syafi'i
Kitab yang pertama kali ditulis oleh Imam Syafi' i ialah kitab Ar-Risalah yang ditulis di Makkah atas permintaan Abdur-Rahman bin Mahdi. Kemudian di Mesir beliau menyusun kitab Alumm, Alamnli, dan Alimlak. Salah satu jasa Imam Syafi'i dalam lapangan hukum Islam ialah bahwa ia telah menciptakan ilmu usul-fiqh, sebagaimana yang telah dibukukan dalam kitabnya yang bernama "Ar-Risalah". Dengan adanya ilmu tersebut, maka cara-cara melakukan ijtihad dan pengambilan alasan hukum Islam sudah ditentukan jalannya, untuk menghindari kekacauan dan kesimpangsiuran sedapat-dapatnya. Karya Imam syafi'i lain yang besar ialah kitab Al-umm yang menjadi pegangan utama dalam mazhab Syafi'i. Al-Buwathi mengihtisarkan kitab-kitab As-Syafi'i dan menamakannya dengan nama "Al-Muhtashar Al-Buwaithi" dan juga oleh Al-Muzani mengihtisharkan kitab-kitab tersebut dengan nama "Al-Muhtashar Al-Muzani".
e. Murid-murid Imam Syafi'i
Di antara murid-muridnya yang di Makkah ialah Ibnu Abil Jarud, di Iraq ialah Az-Za'farani (wafat 260 H) dan Abu Al-Karbisi (wafat 245 H), di Mesir Al-Buwaithi (wafat 234 H), Al-Muzani (wafat 264 H) dan Ar-Rabi bin Sulaiman al-Muradi (wafat 270 H).
Imam Syafi'i aktif menyiarkan sendiri mazhabnya di Iraq dan di Mesir, yang kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya. Pada akhirnya mazhab tersebut dapat mendesak mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, bahkan untuk negeri Mesir bawah, Syam, beberapa negeri Yaman, Hijaz, Asia Tengah, dan Indonesia merupakan mayoritas bermazhab Syafi'i.
f. Pesan-Pesan Imam Syafi'i
1.   Tentang Taqlid
a.  Jika kamu berpendapat bahwa perkataanku menyalahi sabda Rasulullah saw, maka amalkan sabda Rasuluillah saw., dan lemparkan saja perkataanku ke luar pagar.
b.  Berkata Imam Syafi'i kepada Rabik (muridnya): "Janganlah engkau bertaqlid kepadaku tentang tiap apa yang aku katakan, melainkan engkau sendiri harus menyelidiki perkara itu, karena hal itu mengenai agama."
c.   Jika suatu hadis temyata sahih, maka itulah mazhabku.
d.   Tidak halal bertaqlid kepada seseorangpun selain kepada Nabi saw.
2.   Tentang bid'ah
Bid'ah itu ada dua macam, yaitu bid'ah yang sesat, yaitu perkara yang diada-adakan dengan menyalahi Alquran atau Alhadis atau ijma' atau atsar (keterangan sahabat). Dan kedua bid'ah yang tidak sesat, yaitu perkara yang diada-adakan dengan tidak menyalahi scdikitpun dari scmuanya itu (Yang dimaksud kan dengan bid'ah ysmg tidak tercela atau tidak sesat disini ialah yang diada-adakan dengan cara baru tetapi mengenai urusan keduniaan semata-mata. Adapun yang mcngenai urusan ibadah, maka itulah bid'ah yang tercela dan tersesat). Terhadap ahli bid'ah, Imam Syafi'i berkata: "Barang siapa menganggap baik, maka sesungguhnya ia telah membuat syara' atau peraturan agama (yakni, siapa yang menganggap baik suatu amalan ibadah yang tidak ada contohnya dari Nabi saw., dan tidak ada pula perintahnya, maka dengan perbuatannya itu berarti ia mengada-adakan syara' atau aturan agama sendiri." Terhadap perkataan Syafi'i yang demikian itu, seorang alim terkemuka berkata: sebagai tambahan atas perkataan beliau tersebut: Barang siapa mengada-adakan syar', maka kufudah ia).
3.   Tentang lain-lain
a.   Ilmu itu malu terhadap orang yang tidak mempunyai perasaan malu kepadanya,
(maksudnya, ilmu akan tetap jauh dari orang yang tidak suka menuntut ilmu).
 b.   Ilmu adalah pemimpin bagi amal, dan amal adalah pengikutnya, juga amal adalah
buahnya. Amal sedikit beserta ilmu lebih utama dari pada amal yang banyak
beserta kebodohan.
c.   Siapa rela terhadap yang telah ada, tentulah lenyap dari orang itu sifat nista, (yakni,
siapa telah memiliki sifat qanaali, dia akan terhindar dari sifat tamak dan rakus).
d.   Bersihkanlah pendengaranmu dari mendengarkan perkataan yang keji, karena
sesungguhnya yang mendengarkan perkataan yang keji bersekutu dengan yang
mengucapkannya.
4.  Imam Ahmad Bin Hambali (164 H-241 H)
a.   Nama dan Tempat Lahir
Imam Hambali nama lengkapnya ialah Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibnu Hambali bin Hilal Abdahili As-Syaibani Al-Maruzi, beliau dilahirkan di Bagdad pada tahun 164 H. Ayahandanya bemama Muhammad As-Syaibani, sedangkan ibunya bernama Syarifah binti Maimunah binti Abdul Maliki bin Sawadah binti Hindun As-Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah) dari golongan terkemuka kaum Bani Amir.
b.  Kepandaian Imam Hambali
Imam Hambali sejak masih muda sudah kelihatan kecintaannya terhadap hadis Nabi saw., dan sebagai bukti yang menunjukkan kecintaannya itu adalah kepergian beliau ke berbagai negeri dalam rangka mencari orang-orang yang meriwayatkan hadis-hadis dari nabi, bahkan tidak jarang beliau pergi ke suatu negara atau kota ketika beliau mendengar beritabahwa seorang ahli tentang riwayat dan hadis nabi, tanpa menghiraukan kepayahan dan kesulitan yang akan ditempuhnya. Karena kecintaannya beliau terhadap hadis, beliau amat keras tegurannya kepada orang-orang yang mengaku muslim tetapi berani mengerjakan bid'ah di dalam agamanya. Juga beliau seringkali membicarakan orang-orang yang mengaku ulama tetapi perbuatan yang dikerjakannya banyak menyalahi sunah Nabi saw., maka pada saat itu beliau dikenal sebagai seorang yang alim yang sangat mahir tentang urusan hadis-hadis nabi. Menurut riwayat Imam Abu Zur'ah seorang ahli hadis yang semasa dengan Imam Hambali, menyatakan: "Bahwa Imam Hambali itu telah hafal satu juta hadis". Lalu ia ditanya oleh orang: Bagaimana engkau mengerti itu ? Abu Zur'ah berkata : karena aku pernah berunding dengan dia dan aku mengambil beberapa bab darinya. Selanjutnya ia ditanya orang lagi: Apakah engkau lebih hafal dari Imam Ahmad ? Abu Zur'ah berkata: Imam Ahmad yang lebih hapal. Imam Syafl'i yang pemah menjadi gurunya Imam Ahmad berkata kepada muridnya: Engkau lebih tahu dan lebih mengerti tentang hadis-hadis nabi daripada saya, oleh karena itu jika terdapat hadis shahih sampaikanlah kepada saya, saya akan mencarinya di mana saja hadis itu berada. Demikianlah beberapa riwayat yang menyatakan tentang kepandaian Imam Hambah'.
c. Dasar-dasar mazhabnya
Dasar-dasar dalam berpendapat adalah didasarkan atas Alquran, kemudian As-sunah yang sahih dan yang dipandangnya sebagai juru penerang Alquran. Apabila tidak terdapat dalam sunah yang sahih, maka dicarinya dalam fatwa-fatwa dan keputusan-keputusan sahabat, apabila tidak diperselisihkan, apabila diperselisihkan, maka dipilih pendapat sahabat yang lebih mendekati Alquran dan hadis. Apabila dalam pendapat sahabat tidak didapati, maka dipakailah hadis-hadis rriursal atau hadis dha'if yang tidak terlalu lemah, dan kemudian lebih mengufamakan hadis mursal atas qiyas, karena hanya dalam keadaan terpaksa saja ia menggunakan qiyas, sedang keadaan terpaksa ini tidak akan terdapat, kalau masih ada hadis yang dipcrtalikan kepada rasul, meskipun hadis mursal atau dha'if. Bagi Imam Ahamad, hadis dha'if lebih disenangi daripada pendapatnya sendiri (qiyas).
Jadi dasar-dasar beliau dalam berpendapat dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Alquran.
2.  Hadis nabi.
3. Fatwa sahabat.
4. Pendapat sebagian sahabat
5. Hadis Mursal atau hadis dha'if.
6.  Qiyas, beliau memakai qiyas apabila tidak didapati ketentuan hukum pada sumber-sumber hukum yang disebutkan pada point 1-5 di atas.
d.  Pesan-pesan Imam Hambali
1.   Tentang taqlid
a.  Selidikilah perkara agamamu, karena sesungguhnya taqlid kepada orang yang tidak ma'shum itu tercela dan membuta-tulikan hati nurani. (Orang yang ma'shum atau terjaga dari kesalahan hanya nabi atau rasul).
b.  Tercela sekali orang yang telah diberi pelita untuk dijadikan penerangan, tetapi ia sendiri memadamkan pelita itu lalu ia berjalan berganlung pada orang lain. (Maksudnya orang yang mematikan atau membekukan akalnya lalu taqlid kepada pendapat orang lain).
c.  Janganlah engkau taqlid kepadaku, jangan pula taqlid kepada Malik, jangan pula kepada Auza'i, jangan kepada Nakha'i dan jangan pula taqlid kepada mereka. Ambillah hukum langsung dari mana mereka mengambil (yakni Alquran dan hadis rasul).
2.  Tentang bid'ah
Pokok pangkal sunah itu bagiku, ialah memegang dan mengikuti dengan kuat apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat nabi, dan meninggalkan perbuatan bid'ah, karena tiap-tiap bid'ah dalam perkara agama itu sesat. Dapat disimpulkan, bahwa berdasarkan pesan-pesan tersebut di atas, para imam pendiri mazhab mempunyai pendirian yang sama mengenai dua hal, yaitu sebagai berikut.
1. Mereka melarang siapapun mengikuti pendapat mereka secara taqlid. Taqlid adalah haram, kata Abu Hanifah, sedang Syafi'i mengatakan taqlid adalah tidak halal. Sedangkan kata Imam Ahmad taqlid adalah sangat tercela dan membabi-buta hati nurani. Satu-satunya taqlid yang dapat dibenarkan adalah taqlid kepada Nabi saw., kata Imam Malik.
2.  Mereka melarang kepada siapapun yang mengerjakan bid'all dalam perkara agama, menurut. Imam Malik, mengerjakan bid'ah berarti menuduh Nabi Muhammad menyembunyikan risalahnya, padahal Allah sendiri telah mengakui kesempurnaan Islam. Sedangkan menurut Imam Syafi'i menyatakan bahwa mengadakan bid'ah berarti membuat agama sendiri. Menurut beliau memang ada bid'ah yang tidak sesat, yaitu dalam perkara dunia.

E. KESATUAN MAZHAB DALAM HUKUM ISLAM
Perbedaan pendapat yang bisa dikatakan menimbulkan mazhab ialah "perbedaan pokok!' yakni yang berpangkal pada perbedaan pendirian terhadap sumber-sumber hukum itu sendiri, seperti perbedaan antara fuqaha Dhahiri yaf)g mengakui kebolehan "riba" pada pertukaran beras (dengan jumlah lebih pada salah satunya), dan kebolehan ini didasarkan atu "kebolehan asal" (ibahah asliy ah), sedangkan jumhur fuqaha menganggap haramnya riba tersebut, karena mereka mendasarkan pendapatnya pada qiyas, yakni mempersamakan beras dengan gandum yang sudah ada ketentuannya dalam hadis. Dalam hal ini masing-masing pendapat bisa dianggap sebagai mazhab. Kalau perbedaan pokok menjadi kriteria (ciri khas) mazhab, maka perbedaan-perbedaan pendapat yang terdapat antara empat mazhab Sunni (Hanafi, MaUki, Syafi'i, dan Hambali) seharusnya tidak perlu menimbulkan mazhab-mazhab yang berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain, karena dasar-dasar dalam mazhab-mazhab tersebut sebenarnya sama, dan perbedaan yang terjadi antara mereka hanya berpangkal pada pemahaman, pertimbangan, tinjauan dan cara-cara pengambilan hukum dari sumber-sumbemya. Masing-masing dari mazhab empat tersebut memakai Alquran, Alhadis, ijma', qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah, meskipun kadang-kadang terjadi selisih pendirian mengenai perincian-perincian kecil sekitar sumber-sumber tersebut. Dengan demikian, apabila kita teliti benar-benar, maka perbedaan pendapat antara Imam Abu Hanifah dengan Imam Syafi'i atau Imam Malik, tidak berpangkal pada dasar-dasar hukum. Bahkan pada garis besaraya cara-cara pengambilan hukum pun tidak banyak berbeda. Penggabungan Imam-imam Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan Zufar dengan Imam abu Hanifah tidak lain adalah karena mereka berguru dan bergaul dengannya, menyiarkan pendapat-pendapatnya dan menyatakan persetujuan pendiriannya dengan pendapat-pendapat tersebut. Imam Syafi'i sendiri pada mulanya adalah pengikut Imam Malik dan baru memisahkan diri dan dianggap memisahkan diri dengan mengemukakan mazhab bam, setelah ia mementingkan unruk menjelaskan pendapat- pendapatnya sendiri kepada orang banyak. Demikian pula halnya dengan Abu Tsaur dan At-Thabari (mazhab-mazhab fiqhnya sudah musnah) pengikut mazhab Syafi'I Dengan berpijak pada kesamaan dasar hukum, maka perbedaan pendapat tersebut tidak lebih dari pada perbedaan pendirian yang terjadi antara mazhab-mazhab tersebut dan dengan demikian maka sumber-sumber hukum yang dipegang adalah sama.

















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan beberapa hal penting yaitu  :
Perlu diketahui bahwa yang penulis maksud dengan ikhtilaf di sini adalah ikhtilaf tadladl, yaitu perbedaan pendapat yang saling menafikan (bertentangan). Di dalam ihtilaf seperti ini yang benar hanya satu. Ada juga macam ikhtilaf yang lain, yaitu ikhtilaf tanawwu’. Di dalam ikhtilaf tanawwu’ semua pendapat benar, seperti :
1. Dua perkara atau perbuatan yang disyariatkan, seperti macam-macam do’a iftitah, bacaan sujud dan lainnya. Untuk bentuk seperti ini kadang-kadang salah satunya ada yang lebih utama.
2.  Dua lafazh yang berbeda tetapi mempunyai makna yang sama atau mendekati contoh surat Al-Fatihah disebut juga dengan Ummul Kitab, aqiqah sama dengan nasikah. Kata “qadla” dalam firman Allah : wa qadla rabbuka illaa ta’buduu illaa iyyaahu” [Al-Isra : 23]. Ibnu Abbas berkata “ qadla” berarti “memerintahkan”. Mujahid mengatakan “mewasiatkan”. Rabi’ bin Anas mengatakan “mewajibkan”. Kata-kata “memerintahkan”, “mewasiatkan” dan ‘mewajibkan” mempunyai makna yang hampir sama.
3. Dua lafazh dengan makna berbeda, tetapi tidak saling menafikan bahkan saling melengkapi atau mencakup semua di dalamnya. Contoh kata “ an-na’iim” dalam firman Allah. “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” [At-Takatsur : 8]. Sebagian ahli tafsir mengatakan “an-na’iim” bermakna keamanan, kesehatan, kecukupan dalam makanan dan minuman. Sebagian mengatakan ringannya syari’at dan sebagian lagi mengatakan nikmat pendengaran dan penglihatan.
     
Dari sini jelas bahwa ikhtilaf tanawwu’ semuanya benar. Untuk ikhtilaf tanawwu, tidak boleh seseorang menyalahkan salah satunya. Syaihul Islam mengatakan, “Hanya kejahilan dan kezhaliman yang menjadikan seseorang mencela salah satunya atau lebih mengutamakan salah satunya tanpa maksud yang baik, atau tanpa ilmu atau tanpa keduanya” dan segera menyelesaikannya sehingga mereka kembali sadar akan kekeliruannya, lalu berdamai dan bersatu dalam kebenaran.

B. Saran
Demikianlah makalah ini penulis buat untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian akhir semester pada Jurusan Pendidikan Agama Islam semester III. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan penulis meminta kepada pembaca umumnya dan khususnya kepada bapak dosen mata kuliah Materi PAI ini untuk memberikan saran dan kritik yang membangun untuk makalah ini. Mudah-mudahan Allah Swt senantiasa memberkahi kita semua. Amin ya Rabbal ‘Alamin.



DAFTAR PUSTAKA



Departemen Agama. Al-Qur'an dan Terjemahannya. 1989. Semarang: Toha Putera.

A. Toto Suryana, dkk.. Pendidikan Agama Islam pada perguruan Tinggi Umum.1984 Bandung: Tiga Mutiara.

Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. 2003. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Multazam, M. Fiqih Syafi’i. 1984. CV.Gresik Surabaya: Bintang Pelajar.

Susiknan, Azhari. Ensiklopedi Hisab Rukyat. 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.









4 komentar:

  1. apa yang anda tentang Ikhtilaf atau khilafiyah benar, dan khilafiyah hanyalah terjadi pada hadits dan pendapat orang saja, tidak pada dasar hukum yang muthlaq AlQuran, sekiranya kita bisa kembali kepada AlQuran sebenarnya perbedaan itu hanyalah pada kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu, dan ini dalam quran sudah disebutkan, (Walaa nukallifu nafsaan illaa wus`ahaa, waladainaa kitaabu yanthiqu bil haqqi wahum laa yudzlamuuna.)aku tidak memebebani seseorang kecuali dengan ukuran kemampuannya, dan kami berikan dalam kitab AlHaq(AlQuran), sekalipun berbeda mereka tidak berdosa, asal semua itu berasal dengan izin dan kehendak Allah. jadi bila kembali kepada AlQuran perbedaan itu sudah diberikan oleh Allah masing-masing sesuai dengan ukurannya, dan orang lain tidak bisa menyalahkannya( belajarlah dalam berkeluarga, cara mengaturnya bagi setiap orang sudah berbeda, tidak mungkin kita dalam mengatur keluarga kita, mampu mengikuti keluarga lain, disitulah seninya perbedaan yang diberikan Allah swt, saling melengkafi apa yang kurang pada diri kita masing-masing, dan memberi bagi yang berlebih, demikian kedamaian dalam persaudaraan sesama Muslim

    BalasHapus
  2. apa yang anda tentang Ikhtilaf atau khilafiyah benar, dan khilafiyah hanyalah terjadi pada hadits dan pendapat orang saja, tidak pada dasar hukum yang muthlaq AlQuran, sekiranya kita bisa kembali kepada AlQuran sebenarnya perbedaan itu hanyalah pada kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu, dan ini dalam quran sudah disebutkan, (Walaa nukallifu nafsaan illaa wus`ahaa, waladainaa kitaabu yanthiqu bil haqqi wahum laa yudzlamuuna.)aku tidak memebebani seseorang kecuali dengan ukuran kemampuannya, dan kami berikan dalam kitab AlHaq(AlQuran), sekalipun berbeda mereka tidak berdosa, asal semua itu berasal dengan izin dan kehendak Allah. jadi bila kembali kepada AlQuran perbedaan itu sudah diberikan oleh Allah masing-masing sesuai dengan ukurannya, dan orang lain tidak bisa menyalahkannya( belajarlah dalam berkeluarga, cara mengaturnya bagi setiap orang sudah berbeda, tidak mungkin kita dalam mengatur keluarga kita, mampu mengikuti keluarga lain, disitulah seninya perbedaan yang diberikan Allah swt, saling melengkafi apa yang kurang pada diri kita masing-masing, dan memberi bagi yang berlebih, demikian kedamaian dalam persaudaraan sesama Muslim

    BalasHapus
  3. jika kita sebagai serang Muslim tidak mau berselisih faham, maka kembalilah pada jalan Allah yang Haq(benar yaitu AlQuranul Hakiim, barulah hidup kita akan memperoleh jalan yang lurus, orang pandai sekarang hanyalah pendapatnya yang diagungkan, dan kultus kepada pendapat orang lain dan perbedaannya yang diperbesar, tidak tahunya menyalahi AlQuran, surat Ali Imran.19 dan 103, tolong dikaji kembali bahwa banyak diantara orang-orang muslim tidak berpegang teguh kepada tali Allah, dan maunya dalam beragama berkhilafiah, marilah kita menjadi Islam Kaffah, bukan Islam Khilafiyah.....

    BalasHapus
  4. jika kita sebagai serang Muslim tidak mau berselisih faham, maka kembalilah pada jalan Allah yang Haq(benar yaitu AlQuranul Hakiim, barulah hidup kita akan memperoleh jalan yang lurus, orang pandai sekarang hanyalah pendapatnya yang diagungkan, dan kultus kepada pendapat orang lain dan perbedaannya yang diperbesar, tidak tahunya menyalahi AlQuran, surat Ali Imran.19 dan 103, tolong dikaji kembali bahwa banyak diantara orang-orang muslim tidak berpegang teguh kepada tali Allah, dan maunya dalam beragama berkhilafiah, marilah kita menjadi Islam Kaffah, bukan Islam Khilafiyah.....

    BalasHapus