Senin, 10 September 2012

ASURANSI, HUKUM DAN PERMASALAHANNYA


ASURANSI, HUKUM DAN PERMASALAHANNYA

MAKALAH
Disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Masail Fiqhiyah yang dibimbing oleh:
Bapak M. Nurzansyah, M. Hum
Semester VI B.
     
   Disusun oleh:
      KELOMPOK II :
1.      AYU WASIPAH
2.      NURKHOLIS
3.      SOHIBUL FAUZI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG ( UMT )
                         
FAKULTAS AGAMA ISLAM
                
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Sekretariat : Jl. Perintis Kemerdekaan I/33  Cikokol - Kota Tangerang - Banten 15118

2012 M / 1433 H

                                           
 
                                               KATA PENGANTAR          
                                                                  

Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita menuju terangnya Iman dan Islam, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Alasan penulis memilih judul: “ASURANSI, HUKUM DAN PERMASALAHANNYA   adalah agar penulis lebih memahami tentang asuransi, hukum, dan permasalahannya, dan sebagai salah satu tugas semester VI fakultas Agama Islam pada mata kuliah Masail Fiqhiyah.
Dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1.      Bapak. H. Ahmad Badawi S.Pd, M.M selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang.
2.      Bapak M. Nurzansyah, M. Hum selaku dosen pembimbing mata kuliah Masail Fiqhiyah.
3.      Rekan-rekan seperjuangan dalam menuntut ilmu di Kampus Universitas Muhammadiyah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu segala kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan  makalah atau diskusi selanjutnya dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan rekan-rekan umumnya.


                                                                                            Tangerang,       23 Maret 2012 M
                                                                                                         30 Rabiul Akhir 1433 H
           

                                                                                              Penulis









DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR …………………………………………………………………...............i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………................................ii
BAB I  PENDAHULUAN ………………………………………………………………………1
  1. Latar Belakang Masalah ………………………………………………….........................1
  2. Rumusan Masalah ………………………………………………......................................2
  3. Tujuan Penulisan …………………………………………………………………………2
  4. Sistematika Penulisan …………………………………………………………………….2

BAB II  ASURANSI, HUKUM, DAN PERMASALAHANNYA ……………………………3
  1. Pengertian Asuransi …………………………………………………………....................3
  2. Perdagangan Islam tentang hukum Asuransi......................................................................6
  3. Hukum asuransi bagi jama’ah haji………………………………………………..............10

BAB III  PENUTUP …………………………………………………………………………12
  1. Kesimpulan……………………………………………………………………………….12
  2. Saran……………………………………………………………………………………...12

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….................13





                                                       

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sehubungan dengan arus rnodernisasi dan perubahan sosial yang berkembang saat ini, tampakanya berimbas tidak hanya pada pola berperilaku manusia dengan alam kehidupannya sehari-hari, tetapi juga berpengaruh terhadap pengamalan hukum Islam. Hal ini disebabkan karena dinamika sosial terus berkembang, sedangkan nash-nash hukum Islam terbatas dan sudah terputus dengan wafatnya Rasulullah SAW. Akibatnya umat Islam terbagi dalam dua golongan yang saling kontradiktif. Satu pihak akan lebih merasa leluasa berbuat, karena ketiadaan nash itu dengan dalih persoalan baru tidak ada nashnya. Sedangkan pihak lain berpendapat, bahwa meskipun persoalan baru tersebut tidak secara tersurat ditunjukkan hukumnya oleh nash, tetapi berusaha untuk mencari posisi persoalan tersebut dalam hukum-hukum Islam melalui Ijtihad.
Mayoritas ulama menggunakan Ijtihad sebagai solusi dalam menyelesaikan hukum masalah yang tidak ada nashnya. Hal ini dapar dilihat dari pengakuan mereka terhadap produk hukum Ijtihad sebagai hukum Yang bernuansa agama sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash.[1] Salah satu persoalan hukurn yang tidak ada nashnya secara tersurat adalah Asuransi. Oleh sebab itu, masalah asuransi dapat digolongkan sebagai masalah Ijtihadiyah.
Berhubung karena masalah asuransi ini sangat luas dan banyak bahasannya, maka dalam tulisan ini hanya dibatasi pada pembahasan tentang pengertian asurani dan hukumnya serta penyelesaian masalah yang berkaitan dengan jama'ah haji Indonesia yang meninggal dalam pelaksanan ibadah haji.

B. Rumusan Masalah  
Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang dapat penulis rumuskan adalah sebagai berikut :
1.    Apakah yang dimaksud dengan asuransi?
2.    Bagaimanakah pandangan Islam tentang hukum asuransi?
3.    Bagaimanakah hukum asuransi bagi jama'ah haji?
C . Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pengertian asuransi itu.
2.      Untuk mengetahui pandangan Islam tentang hukum asuransi itu.
3.   Untuk mengetahui tentang hukum asuransi bagi jama’ah haji itu.
D.  Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini dibagi menjadi 3 bab, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II ASURANSI, HUKUM DAN PERMASALAHANNYA
Asuransi, hukum dan permasalahannya berisi uraian tentang pengertian asuransi, pandangan Islam tentang hukum asuransi, dan hukum asuransi bagi jama’ah haji.
BAB III PENUTUP
Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka berisi referensi penulis dalam menyusun makalah ini.

                                                   


                   











BAB II
ASURANSI, HUKUM, DAN PERMASALAHANNYA

A. PENGERTIAN ASURANSI
1. Pengertian Menurut Bahasa
Menurut bahasa, asuransi adalah pertanggungan (perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayaran iuran, apabila terjadi sesuatu menimpa dirinya atau barang miliknya).[2]
Dalam bahasa Arab, asuransi disebut Ta’min, penanggung disebut Mu'ammin  dan tertanggung disebut Mua’mman Lahu atau Musta’min.[3]

2. Pengertian Menurut Istilah                                                                  
          Menurut istilah, asuransi adalah jaminan atau pertanggungan yang diberikan oleh penanggung kepada yang ditanggung untuk risiko kerugian sebagaimana diterapkan dalam polis (surat perjanjian) bila terjadi kebakaran, keracunan, kerusakan, kematian atau kecelakaan lainnya dengan tertanggung membayar premi sebanyak yang ditentukan kepada penanggung tiap bulan.
Dalam pasal 246 KHUD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) disebutkan, bahwa asuransi adalah suatu perjanjian, di mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu premi untuk rnemberi penggatian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu. Jadi, pasal 246 tersebut mengatakan bahwa asuransi itu sebagai suatu perjanjian di mana penanggung dengan menikmati suatu premi, mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan dari kerugian yang akan diderita karena suatu kejadian yang tidak pasti.
Sedangkan dalam UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian dikatakan bahwa, asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau dengan pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima prerni asuransi untuk tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin ada di antara tertanggung memberikan sesuatu pembayaran yang didasarkan atas rneninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Pihak penanggung atau penjamin adalah perusahaan asuransi. Jadi, dalam suatu asuransi, terdapat perjanjian antara kedua belah pihak di mana pihak yang dijamin diwajibkan membayar uang premi dalam masa tertentu, lalu pihak yang dijamin akan membayar kerugian jika terjadi sesuatu pada diri si terjamin.
Setelah memperhatikan beberapa definisi asuransi di atas, baik dari segi bahasa ataupun istilah dan penjelasannya, maka dapat disimpulkan bahwa dalam satu perjanjian asuransi minimal terlibat dua pihak. Pihak pertama sanggup akan menanggung atau menjamin bahwa pihak lain mendapat penggantian dari suatu kerugian yang mungkin akan diderita, sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadinya atau belum dapat ditentukan saat akan terjadinya. Sebagai imbalan dalam pertanggungan inilah pihak yang ditanggung diwajibkan mernbayar sejumlah uang kepada pihak yang menanggun. Dari uang yang telah dibayarkan oleh pihak tertanggung ini akan tetap menjadi milik pihak yang menanggung, apabila kemudian ternyata peristiwa yang dimaksud itu tidak terjadi. Definisi atau pengertian asuransi yang telah disebutkan di atas, adalah merupakan pengertian Asuransi Konvensional. Sedangkan pengertian asuransi berdasarkan syari'ah adalah sebagai berikut. "Asuransi Syari'ah adalah usaha kerjasama saling melindungi dan tolong menolong, di antara sejumlah orang dalam menghadapi sejumlah risiko melalui perjanjian yang sesuai dengan syari'ah. (Al Ma'idah ayat 2 dan Al Nisa' ayat 9)".
Dari definisi tersebut nampak bahwa asuransi syari'ah bersifat saling melindungi dan tolong menolong disebut dengan Ta'awun, yaitu prinsip hidup saling melindungi dan tolong menolong atas dasar Ukhuwah Islamiyah antara anggota peserta asuransi syari'ah dalam menghadapi malapetaka (risiko). Oleh sebab itu, premi pada asuransi syari'ah adalah sejumlah dana yang dibayarkan oleh peserta yang terdiri atas dana tabungan, biaya, dan tabarru. Dana tabungan adalah dana titipan dari peserta asuransi syari'ah dan akan mendapat alokasi bagi hasil (Al Mudharabah) dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun. Dana tabungan serta alokasi bagi hasil akan dikembalikan/diserahkan kepada para peserta apabila peserta yang bersangkutan mengajukan klaim, baik klaim berupa tunai, maupun klaim manfaat asuransi, sedangkan tabarru adalah derma/dana kebajikan yang diberikan oleh para peserta asuransi yang sewaktu-waktu akan digunakan untuk membayar manfaat asuransi syari'ah bagi peserta yang dana tabungannya belum mencukupi atau lebih kecil dari manfaat asuransi yang semestinya diterima. Manfaat asuransi syari'ah adalah jumlah dana yang dibayarkan perusahaan kepada pemegang polis (pihak yang mengadakan perjanjian dengan perusahaan).
Dari beberapa pengertian dan penjelasan yang telah dikemukakan, tampak bahwa pada asuransi syari'ah dan asuransi konvensional terdapat berbagai perbedaan sebagai berikut.
1. Kepemilikan Dana
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) pada asuransi syari'ah merupakan milik peserta, dan perusahaan hanya pemegang amanah. Pada asuransi konvensional, dana yang terkurnpul pada nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Perusahaan bebas untuk menentukan investasinya.
2. Investasi Dana
Pada asuransi syari'ah, investasi dana berdasar syari'ah dengan sistem bagi hasil (mudbaraba). Pada asuransi konvensional, investasi dana berdasarkan bunga.
3. Akad
Pada dasarnya syaria’ah, akadnya atas dasar tolong menolong. Pada asuransi konvensional, akadnya adalah akad perdagangan (tijary).
4. Pembayaran Klaim
Pada asuransi syari'ah, pembayaran klaim di.ambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta, yang sejak awal sudah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong menolong bila terjadi musibah. Pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambil dari rekening dan perusahaan.
5. Keuntungan
Pada asuransi syari'ah, keuntungan dibagi antara perusahaan dengan peserta (sesuai prinsip bagi hasil/mudharabah). Pada asuransi konvensional, keuntungan seluruhnya milik perusahaan.
6.  Dewan  Pengawas Syari’ah (DPS)
Pada asuransi syari'ah, ada Dewan Pengawas Syari'ah (DPS) yang berfungsi mengawasi manajemen, produk, dan investasi dana. Sedangkan pada asuransi konvensional tidak ada Dewan Pengawas Syar’iah.




B. Perdagangan Islam Tentang Hukum Asuransi
Para ahli fikih sepakat membolehkan asuransi gotong royong dan solidaritas, yaitu asuransi tolong menolong ( اَلتَّأْمِيْنُ التَّبَادُلِيُّ ) dan asuransi ( الإجْتِمَاعِيُّ  .( اَلتَّأْمِيْنُ Hal ini mendorong untuk menciptakan dan mengembangkan gotong royong dan solidaritas dalam masyarakat. Tetapi para ahli fikih berbeda pendapat mengenai hukum asuransi dengan premi tetap. Ada yang membolehkannya dan ada pula yang mengharamkannya.
Pandangan mereka dapat dilihat dengan jelas dalam pekan Fikih Islam II - pekan Ibnu Taimiyyah di Damaskus tahun 1961, Muktamar II Lembaga Reseach Islam di Al Azhar Cairo, Mei 1965, Muktamar Internasional 1 Ekonomi di Mekah, Februari 1976, dan Muktamar Lembaga Fikih Islam Organisasi Islam (OKI), Desember 1985.
Asuransi gotong royong ( اَلتَّبَادُلِيُّ ) dilaksanakan oleh perhimpunan gotong royong, melalui sumbangan (tabarru) kepada anggota yang mengalami musibah dan bukan tukar-menukar. Orang yang memberikan sumbangan pada suatu kelompok yang mempunyai ciri khas tertentu berhak memperoleh sumbangan tersebut apabila ia mempunyai ciri khasnya. Contohnya orang yang menyumbang kepada pelajar, berhak mendapat sumbangan tersebut apabila menjadi pelajar. Begitu pula orang yang menyumbang kepada orang fakir, berhak mendapat sumbangan tersebut apabila menjadi miskin.
Asuransi seperti ini halal, karena tidak mengandung gharar (untung-untungan). Itulah sebabnya asuransi tabaduly / ta’awuny disepakati oleh para ahli fikih tentang kehalalannya. Sedangkan asuransi sosial ( الإجْتِمَاعِيُّ ) adalah asuransi yang dilaksanakan oleh Negara atau lembaga yang ditunjuk negara untuk mengasuransikan sebagian masyarakat, seperti buruh, pengangguran, penderita sakit, orang miskin, dan lanjut usia.  
Asuransi sosial hukumnya boleh karena tidak mengandung  gharar  (untung-untungan), seperti pada jual beli (akad tukar-menukar). Asuransi sosial tidak termasuk akad tukar menukar, karena status negara bukan sebagai pemberi ganti atas pembayaran dari orang yang diasuransikan, dan bukan pula sebagai untung,  namun negara ikut bersaham dengan para buruh dan pemilik usaha dalam sebagian modal. Oleh scbab iru asuransi sosial disepakati para ahli fikih atas kehalalannya. Adapun asuransi dengan premi tetap ( اَلتَّأْمِيْنُ بِقِسْطٍ ثَابِتٍ ) yang dikenal juga dengan sebutan asuransi dagang ( اَلتَّأْمِيْنُ التِّجَارِيُّ ), para ahli fikih berpendapat bahwa dalam menentukan hukumnya, karena tujuannya untuk dagang, yaitu untuk mengeruk keuntungan. Dalam praktiknya, seorang pemohon mengadakan perjanjian dengan salah satu perseroan asuransi (sebagai penanggung) untuk memikul kerugian yang mungkin menimpanya akibat suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi atau peristiwa kematian yang tidak diketahui kapan akan terjadi, dengan ketentuan bahwa si penanggung akan mcnerima premi berkala dari tertanggung. Oleh karena itu, persoalan ini dalam praktiknya mencari keuntungan untuk dirinya maka ia disebut Al Ta'min Al Tijary, atau asuransi yang bersifat perdagangan.
Asuransi tersebut berbeda sifatnya dengan kedua asuransi sebelumnya. Dalam asuransi yang bersifat dagang ini, sifatnya adalah tukar-menukar antara premi yang dibayar oleh tertanggung dengan jumlah yang dijanjikan untuk dibayar oleh penanggung akibat suatu peristiwa yang menimpa si tertanggung dan suatu waktu bisa terjadi perbedaan yang amat rnenyolok antara premi yang dibayar dengan jumlah yang harus dibayar oleh si penanggung.
Mengenai hukumnya terdapat perbedaan pendapat. Sebagian ahli hukum Islam, di antaranya Syaikh Muhammad Abu Zahrah, beliau berpandapat bahwa asuransi Tijary ini hukumnya haram karena kontrak tersebut, adalah berupa perjanjian tukar-menukar yang mengandung gharar (untung-untungan/ketidakpastian), di mana pihak tertanggung tidak dapat memastikan berapa jumlah premi yang harus dibayar dan masing-masing tidak dapat memastikan terjadi atau tidaknya atau kapan terjadinya. Ketidakpastian/gharar seperti ini terjadi dalam suatu perjanjian tukar-menukar, sebagian disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhary, Muslim, Malik, Ahmad, Tirmidzy, al Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al Daramy dari Abi Hurairah sebagai berikut:
عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ (رواه كتب الستة )                                               j نَهَى رَسُوْلُ الله
Artinya: Rasulullah SAW, melarang jual-beli hashah (lempar kerikil) dan jual beli gharar.

Abu Zahrah menggolongkan asuransi tijary ini ke dalam kelompok akad yang terlarang karena sifatnya merupakan untung-untungan, sehingga ia merupakan judi ( اَلْقِمَارُ ) yang haram hukumnya. Dalam asuransi tijary ini juga, tampak jelas sifat tidak adilnya, karena dana (premi) yang terkumpul dari nasabah menjadi milik perusahaan dan perusahaan bebas menentukan investasinya, tanpa memperhatikan halal dan haram dalam usaha tersebut dan keuntungan seluruhnya menjadi milik perusahaan. Sedangkan bagi nasabah sebagai pembayar premi, bila tidak terjadl klairn maka ia tidak mendapatkan sesuatu dari dana/premi tersebut.
Adapun ulama yang berpandapat bahwa asuransi termasuk segala macam bentuknya dan cara operasi hukumnya haram, antara lain Wahbah Al Zuhaily, Yusuf Al Qardhawy, Said Sabiq, Abdullah Al Qalqili, dan Bakhit  Al Muthi'i. Asuransi diharamkan karena beberapa alasan, yakni:                                        
1. Asuransi mengandung unsur perjudian yang dilarang dalam Islam (Al Baqarah:219 – Al Maidah: 90),      
y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 štRqè=t«ó¡our #sŒ$tB tbqà)ÏÿZムÈ@è% uqøÿyèø9$# 3 šÏ9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# ãNä3s9 ÏM»tƒFy$# لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ  ÇËÊÒÈ  
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. (Al Baqarah:219). Lihat juga Al Maidah:90.

2.   Asuransi mengandung ketidakpastian,
3. Asuransi mengandung unsur riba yang dilarang dalam Islam (Al Baqarah:278),
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
4.  Asuransi mengandung unsur eksploitasi yang bersifat menekan,
5.   Asuransi termasuk jual beli atau tukar-menukar mata uang yang tidak secara tunai (Akad Oardh), dan
6.   Asuransi obyek bisnisnya digantungkan pada hidup dan matinya seseorang, yang berarti  mendahului takdir Tuhan. Semua hal yang telah disebutkan, hukumnya haram menurut Islam. Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa asuransi hukumnya halal dalam Islam, antara lain adalah Abdul Wahab Khallaf, Muhammad Yusuf Musa, Abd Rahman Isa, Musthafa Ahmad Zarqa, dan Muhammad Najatullah Al Shiddiqy. Alasan mereka membolehkan asuransi adalah:
 1. Tidak ada ketetapan nash Al Our'an maupun Hadits yang melarang asuransi.
       2.  Terdapat kesepakatan kerelaan dan keuntungan bagi kedua belah pihak, baik                penanggung, maupun tertanggung.
      3.  Kemaslahatan dari usaha asuransi lebih besar dari madharatnya.
      4.   Asuransi merupakan akad yang madharatnya dinafikan atas dasar profil loss  sharing   (untung-rugi).
    5.  Asuransi ermasuk kategori koperasi (Syirkah ta’awuniyah) yang dibolehkan  dalam Islam.
  6.   Bertujuan gotong royong dan solidaritas antara orang-orang yang  diasuransikan, Peranan orang yang diasuransikan hanya bergabung pada persetujuan gotong-royong yang terorganisir.
       7.   Tidak mengandung gharar, karena segala sesuatunya dapat diketahui dengan  jelas.
      8.   Sesuai dengan kaidah:
                                                         اَلأصْلُ فِيْ الْعُقُوْدِ الإبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا   
            Artinya: "Hukum segala sesuatu adalah boleh, kecuali ada dalil yang  mengharamkannya”.
           (Dalam Asuransi tidak ditemukan dalil yang menghararnkannya).
      9.  Darurat dan sudah menjadi adat kebiasaan.
     10.  Akad asuransi termasuk akad mudharabah atau semakna dengan itu.
      11.  Menganalogikan akad asuransi dengan hukum-hukum yang telah diakui dalam Islam, seperti Wadi'ah  (titipan), sistem pensiun, dan lain-lain.

Dalil-dalil dan alasan-alasan yang dikemukakan oleh ulama yang membolehkan asuraransi tersebut di atas kurang mendapat dukungan dalam diskusi tentang asuransi forum-forum internasional, karena dalil-dalil dan alasan-alasan mereka dianggap lemah.
Alasan yang dikemukakan oleh golongan ulama yang membolehkan asuransi ditolak oleh ulama yang mengharamkannya, adalah sebagai berikut.
1.    Asuransi mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan, karena tidak ada sebab syar'i yang bisa dijadikan landasan bagi  seseorang untuk diwajibkan membayar ganti rugi, sebab ganti rugi dalam Islam hanya dapat dilakukan apabila disebabkan oleh sikap permusuhan dan sikap sewenang-wenang.
2.  Sesuatu yang dipertanggungkan bersifat spekulatif, dalam arti suatu risiko seperti kebakaran, kecelakaan, kematian, dan lain-lain tidak dapat diprediksi kejadiannya, jika pihak penanggung dan tergantung dapat memastikan kejadiannya maka boleh diberlakukan ganti rugi.
3. Asuransi tidak dapat digolongkan ke dalam konsep Al Wadi'ah (titipan) yang dapar dituntut ganti rugi, bila pemegang titipan lalai dalam kewajibannya karena dalam asuransi barang yang ditanggung tidak berada di tangan penanggung.
4.  Asuransi juga tidak dapat dikategorikan ke dalam akad mudharabah (bagi hasil)         karena dua sebab, yakni:
      a. Premi yang disetorkan menjadi milik perusahaan dan ia bebas untuk            menggunakannya dan peserta tidak akan mendapatkan sesuatu jika tidak            ditimpa kecelakaan atau kerugian.
       b.  Keuntungan yang diberikan kepada nasabah ( tergantung )   sudah     ditentukan               nilainya. Hal ini tidak sejalan dengan mudharabah, di mana keuntungan harus               dibagi berdasarkan kesepakatan di antara perusahaan dan nasabah.
5.   Akad asuransi mengandung gharar, oleh sebab itu dilarang oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya berbunyi:
عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ (رواه المسلم )                                                                                      j نَهَى رَسُوْلُ الله
Artinya: Rasulullah SAW melarang jual beli gharar (tidak jeias/tipuan) (H.R.Muslim).

Setelah memaparkan pendapat-pendapat para ulama tentang hukum asuransi Tijary/dagang (konvensional), nampak bahwa pendapat yang rajih (yang kuat) adalah pendapat para ulama yang mengharamkan asuransi tijary/dagang (konvensional) karena pendapat mereka ini ditopang oleh nash-nash Al Qur'an dan Hadits serta argumen-argumen yang kuat dan relevan dalam penerapan keadilan dan saling tolong menolong di antara penanggung dan tertanggung.
C. Hukum Asuransi bagi Jamaa Haji
Dalam rangka pemberian perlindungan terhadap jamaah haji, terutama bagi yang meninggal dunia, baik sebelum wuquf atau sesudahnya maka salah satu solusi untuk menanggulangi risiko yang menimpanya, adalah dengan mengasuransikannya melalui asuransi jiwa. Pada uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa mayoritas ulama mengharamkan asuransi. Hanya sedikit dari mereka yang menghalalkannya dan dalil mereka ini dianggap lemah, sebagaimana disebutkan dalam hasil muktamar Lembaga Fikih Islam OKI yang diselenggarakan pada bulan Desember 1986. DR. Husen Hamid Hassan menyimpulkan, bahwa semua penganalisis asuransi konvensional sependapat mengatakan bahwa akad asuransi konvensional, adalah gharar dari segi hubungan antara perusahaan asuransi dan orang yang diasuransikan.
Sehubungan dengan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan, bahwa hukum asuransi (konvensional) haram karena mengandung gharar (untung-untungan/tidak ada kepastian), maka hendaklah Depag RI mengasuransikan jamaah haji Indonesia lewat asuransi-asuransi syariah yarg sudah ada di Indonesia secara bersama-sama. Asuransi syariah merupakan sistem baru bagi dunia asuransi yang bercirikan manajemen terbuka dan bagi hasil. Segala bentuk biaya dan keuntungan dibicarakan bersama antara perusahaan dan peserta, karena dana yang masuk ke perusahaan adalah milik peserta. Peserta adalah sebagai "Shahibu Al Mal” dan perusahaan hanya sebagai pernegang amanah. Dalam kegiatannya, asuransi syariah atas dasar syariah dengan sistem tolong-menolong dan bagi hasil bukan dengan bunga. Oleh sebab itu, dana yang diserahkan peserta pada perusahaan ada tiga macam, yaitu tabarru', tabungan dan biaya. Mengenai asuransi syariah ini, sudah dijelaskan secara singkat uraian tentang pengertian asuransi (konvensional) dan perbedaannya dengan asuransi syariah. Jadi jamaah haji boleh diasuransikan dan dianjurkan agar melalui asuransi yang sesuai dengan prinsip syari'ah. Wallahu  A’alam.
                                                      

















BAB III
      PENUTUP

A.  Kesimpulan
Setelah memaparkan pendapat-pendapat para ulama tentang hukum asuransi Tijary/dagang (konvensional), nampak bahwa pendapat yang rajih (yang kuat) adalah pendapat para ulama yang mengharamkan asuransi tijary/dagang (konvensional) karena pendapat mereka ini ditopang oleh nash-nash Al Qur'an dan Hadits serta argumen-argumen yang kuat dan relevan dalam penerapan keadilan dan saling tolong menolong di antara penanggung dan tertanggung.
Oleh karena itu solusi terbaiknya hendkalah kita semua khususnya umat Islam menggunakan Asuransi Syaria’ah karena asuransi syari'ah bersifat saling melindungi dan tolong menolong disebut dengan Ta'awun, yaitu prinsip hidup saling melindungi dan tolong menolong atas dasar Ukhuwah Islamiyah antara anggota peserta asuransi syari'ah dalam menghadapi malapetaka (risiko).  
Sehubungan dengan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan, bahwa hukum asuransi (konvensional) haram karena mengandung gharar (untung-untungan/tidak ada kepastian), maka hendaklah Depag RI mengasuransikan jamaah haji Indonesia lewat asuransi-asuransi syariah yarg sudah ada di Indonesia secara bersama-sama.

A.     Saran
Demikianlah makalah ini penulis buat untuk memenuhi tugas mata kuliah  Masail Fiqhiyah  pada Jurusan Pendidikan Agama Islam semester VI. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan penulis meminta kepada pembaca umumnya dan khususnya kepada bapak dosen mata kuliah M asail Fiqhiyah ini untuk memberikan saran dan kritik yang membangun untuk makalah ini. Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberkahi kita semua. Amin ya Rabbal ‘Alamin.







DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama. Al-Qur'an dan Terjemahannya. 1989. Semarang: Toha  Putera.

Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. 2003. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Tahido Yanggo, Huzaimah. Masail Fiqhiyah. 2009. Bandung: Angkasa

Mudjib, Abdul. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih. 2010. Jakarta: Kalam Mulia





                                                          
























































































































































[1]Lihat Manna’ Khalil Qaththan, Tarikh Al Tasyri’ Al Islami, Bairut, Dar Al Fikr, tersebut, th.,h.58-63.
[2] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1988, Cet. Islam, h, 54.
[3] Jubran  Mas’ud, Al Ra’id, Mu’jam Lughowy ‘Ashry, Bairut, Dar Al Islami Li Al Malayin, t.th., Jilid Islam, h.30.






















































































































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar