ASURANSI, HUKUM DAN PERMASALAHANNYA
MAKALAH
Disusun sebagai salah satu tugas mata
kuliah Masail Fiqhiyah yang dibimbing oleh:
Bapak M. Nurzansyah, M. Hum
Semester VI B.
Disusun oleh:
KELOMPOK II :
1. AYU WASIPAH
2. NURKHOLIS
3. SOHIBUL FAUZI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG ( UMT )
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Sekretariat : Jl. Perintis
Kemerdekaan I/33 Cikokol - Kota
Tangerang - Banten 15118
2012 M / 1433 H
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puja dan puji
syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan
limpahan rahmat-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita menuju terangnya Iman
dan Islam, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
sebaik-baiknya.
Alasan penulis memilih judul: “ASURANSI, HUKUM DAN PERMASALAHANNYA ”
adalah agar penulis lebih memahami tentang asuransi, hukum,
dan permasalahannya, dan sebagai salah satu tugas semester VI fakultas
Agama Islam pada mata kuliah Masail Fiqhiyah.
Dan ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Bapak. H. Ahmad
Badawi S.Pd, M.M selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang.
2. Bapak M.
Nurzansyah, M. Hum selaku dosen pembimbing mata kuliah Masail Fiqhiyah.
3. Rekan-rekan
seperjuangan dalam menuntut ilmu di Kampus Universitas Muhammadiyah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu segala kritik dan saran yang membangun
akan penulis terima demi kesempurnaan
makalah atau diskusi selanjutnya dimasa yang akan datang. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan rekan-rekan umumnya.
Tangerang,
23 Maret 2012 M
30 Rabiul Akhir 1433 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………...............i
DAFTAR ISI
………………………………………………………………................................ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………1
BAB II ASURANSI, HUKUM, DAN PERMASALAHANNYA ……………………………3
BAB III PENUTUP …………………………………………………………………………12
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….................13
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sehubungan
dengan arus rnodernisasi
dan perubahan sosial yang berkembang saat ini, tampakanya berimbas tidak hanya pada pola berperilaku manusia dengan alam kehidupannya sehari-hari, tetapi juga berpengaruh terhadap pengamalan hukum Islam. Hal ini disebabkan karena
dinamika sosial terus berkembang, sedangkan nash-nash hukum Islam terbatas dan sudah terputus dengan wafatnya Rasulullah SAW. Akibatnya umat Islam terbagi dalam dua golongan yang saling kontradiktif. Satu pihak akan lebih merasa leluasa berbuat,
karena ketiadaan nash itu dengan dalih persoalan baru tidak ada nashnya. Sedangkan pihak lain berpendapat, bahwa meskipun
persoalan baru tersebut tidak secara tersurat ditunjukkan hukumnya oleh nash,
tetapi berusaha untuk mencari posisi
persoalan tersebut dalam hukum-hukum Islam
melalui Ijtihad.
Mayoritas ulama menggunakan Ijtihad sebagai solusi dalam menyelesaikan hukum masalah yang tidak ada nashnya. Hal
ini dapar dilihat dari pengakuan mereka terhadap produk hukum Ijtihad sebagai hukum Yang bernuansa agama sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash.[1] Salah satu persoalan hukurn yang tidak ada nashnya secara
tersurat adalah Asuransi. Oleh
sebab itu, masalah asuransi dapat digolongkan sebagai
masalah Ijtihadiyah.
Berhubung karena masalah asuransi ini sangat luas
dan banyak bahasannya, maka dalam tulisan
ini hanya dibatasi pada pembahasan
tentang pengertian asurani dan hukumnya serta penyelesaian masalah yang
berkaitan dengan jama'ah haji Indonesia yang meninggal dalam pelaksanan ibadah
haji.
B.
Rumusan Masalah
Berangkat
dari latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang dapat penulis
rumuskan adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan asuransi?
2.
Bagaimanakah pandangan Islam tentang hukum asuransi?
3.
Bagaimanakah hukum asuransi bagi jama'ah haji?
C . Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui
pengertian asuransi itu.
2. Untuk mengetahui
pandangan Islam tentang hukum asuransi itu.
3. Untuk
mengetahui tentang hukum asuransi bagi
jama’ah haji itu.
D.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini
dibagi menjadi 3 bab, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi uraian tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II ASURANSI, HUKUM DAN
PERMASALAHANNYA
Asuransi,
hukum dan permasalahannya berisi uraian tentang pengertian asuransi, pandangan Islam tentang hukum
asuransi, dan hukum asuransi bagi jama’ah haji.
BAB III PENUTUP
Penutup
berisi tentang kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar
Pustaka berisi
referensi penulis dalam menyusun makalah ini.
BAB II
ASURANSI, HUKUM, DAN
PERMASALAHANNYA
A. PENGERTIAN ASURANSI
1. Pengertian Menurut Bahasa
Menurut bahasa, asuransi adalah pertanggungan
(perjanjian antara dua pihak, pihak yang
satu membayar iuran dan pihak yang lain
berkewajiban memberikan jaminan
sepenuhnya kepada pembayaran iuran, apabila terjadi sesuatu menimpa dirinya atau
barang miliknya).[2]
Dalam bahasa Arab, asuransi disebut Ta’min, penanggung
disebut Mu'ammin dan tertanggung disebut Mua’mman Lahu atau Musta’min.[3]
2. Pengertian Menurut Istilah
Menurut istilah, asuransi adalah
jaminan atau pertanggungan yang diberikan oleh penanggung
kepada yang ditanggung untuk risiko kerugian sebagaimana diterapkan dalam polis (surat perjanjian) bila terjadi kebakaran, keracunan, kerusakan,
kematian atau kecelakaan lainnya dengan tertanggung membayar premi
sebanyak yang ditentukan kepada
penanggung tiap bulan.
Dalam
pasal 246 KHUD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) disebutkan, bahwa asuransi adalah
suatu perjanjian, di mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu
premi untuk rnemberi penggatian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena
suatu peristiwa yang tak tentu. Jadi, pasal 246 tersebut mengatakan bahwa
asuransi itu sebagai suatu perjanjian di mana penanggung dengan menikmati suatu
premi, mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan dari kerugian
yang akan diderita karena suatu kejadian yang tidak pasti.
Sedangkan dalam UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha
perasuransian dikatakan bahwa, asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau
dengan pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima
prerni asuransi untuk tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin ada di antara tertanggung memberikan sesuatu pembayaran yang didasarkan
atas rneninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Pihak penanggung atau penjamin adalah perusahaan
asuransi. Jadi, dalam suatu asuransi, terdapat perjanjian antara kedua belah
pihak di mana pihak yang dijamin diwajibkan membayar uang premi dalam masa
tertentu, lalu pihak yang dijamin akan membayar kerugian jika terjadi sesuatu
pada diri si terjamin.
Setelah memperhatikan beberapa definisi asuransi di atas, baik dari segi
bahasa ataupun istilah dan penjelasannya, maka dapat disimpulkan bahwa dalam
satu perjanjian asuransi minimal terlibat dua pihak. Pihak pertama sanggup akan menanggung
atau menjamin bahwa pihak lain mendapat penggantian dari suatu kerugian yang
mungkin akan diderita, sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum
tentu akan terjadinya atau belum dapat ditentukan saat akan terjadinya. Sebagai
imbalan dalam pertanggungan inilah pihak yang ditanggung diwajibkan mernbayar
sejumlah uang kepada pihak yang menanggun. Dari uang yang telah dibayarkan oleh pihak tertanggung
ini akan tetap menjadi milik pihak yang menanggung, apabila kemudian ternyata
peristiwa yang dimaksud itu tidak terjadi. Definisi atau pengertian asuransi yang telah
disebutkan di atas, adalah merupakan pengertian Asuransi Konvensional.
Sedangkan pengertian asuransi berdasarkan syari'ah adalah sebagai
berikut. "Asuransi Syari'ah adalah usaha kerjasama saling
melindungi dan tolong menolong, di antara sejumlah orang dalam menghadapi
sejumlah risiko melalui perjanjian yang sesuai dengan syari'ah. (Al Ma'idah
ayat 2 dan Al Nisa' ayat 9)".
Dari definisi tersebut nampak bahwa asuransi syari'ah
bersifat saling melindungi dan tolong menolong disebut dengan Ta'awun,
yaitu prinsip hidup saling melindungi dan tolong menolong atas dasar
Ukhuwah Islamiyah antara anggota peserta asuransi syari'ah dalam menghadapi
malapetaka (risiko). Oleh sebab itu, premi pada asuransi syari'ah adalah
sejumlah dana yang dibayarkan oleh peserta yang terdiri atas dana tabungan,
biaya, dan tabarru. Dana tabungan adalah dana titipan dari peserta asuransi
syari'ah dan akan mendapat alokasi bagi hasil (Al Mudharabah) dari
pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun. Dana tabungan serta
alokasi bagi hasil akan dikembalikan/diserahkan kepada para peserta apabila
peserta yang bersangkutan mengajukan klaim, baik klaim berupa tunai, maupun
klaim manfaat asuransi, sedangkan tabarru adalah derma/dana kebajikan yang
diberikan oleh para peserta asuransi yang sewaktu-waktu akan digunakan untuk
membayar manfaat asuransi syari'ah bagi peserta yang dana tabungannya belum
mencukupi atau lebih kecil dari manfaat asuransi yang semestinya diterima.
Manfaat asuransi syari'ah adalah jumlah dana yang dibayarkan perusahaan kepada
pemegang polis (pihak yang mengadakan perjanjian dengan perusahaan).
Dari beberapa pengertian dan penjelasan yang telah
dikemukakan, tampak bahwa pada asuransi syari'ah dan asuransi konvensional
terdapat berbagai perbedaan sebagai berikut.
1. Kepemilikan
Dana
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) pada asuransi
syari'ah merupakan
milik peserta, dan
perusahaan hanya pemegang amanah. Pada asuransi konvensional, dana
yang terkurnpul pada nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Perusahaan bebas untuk menentukan investasinya.
2. Investasi Dana
Pada asuransi syari'ah, investasi dana berdasar syari'ah
dengan sistem bagi hasil (mudbaraba). Pada asuransi konvensional, investasi
dana berdasarkan bunga.
3. Akad
Pada dasarnya
syaria’ah, akadnya atas dasar tolong menolong. Pada asuransi konvensional,
akadnya adalah akad perdagangan (tijary).
4. Pembayaran Klaim
Pada asuransi syari'ah, pembayaran klaim
di.ambil dari rekening tabarru (dana
sosial) seluruh
peserta,
yang sejak awal sudah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong menolong bila terjadi musibah. Pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambil dari rekening dan perusahaan.
5. Keuntungan
Pada asuransi syari'ah, keuntungan dibagi antara perusahaan dengan peserta (sesuai prinsip bagi hasil/mudharabah). Pada asuransi konvensional, keuntungan seluruhnya milik perusahaan.
6. Dewan Pengawas Syari’ah (DPS)
Pada asuransi syari'ah, ada Dewan Pengawas Syari'ah (DPS) yang berfungsi mengawasi manajemen, produk, dan investasi dana. Sedangkan pada asuransi konvensional tidak ada Dewan Pengawas Syar’iah.
B.
Perdagangan Islam Tentang Hukum Asuransi
Para ahli fikih sepakat membolehkan asuransi gotong royong
dan solidaritas, yaitu asuransi tolong menolong ( اَلتَّأْمِيْنُ التَّبَادُلِيُّ ) dan asuransi ( الإجْتِمَاعِيُّ .( اَلتَّأْمِيْنُ Hal ini mendorong untuk menciptakan dan mengembangkan gotong royong dan solidaritas
dalam masyarakat. Tetapi para ahli
fikih berbeda pendapat mengenai hukum asuransi dengan premi tetap. Ada yang membolehkannya dan ada pula yang
mengharamkannya.
Pandangan mereka dapat dilihat dengan jelas dalam pekan Fikih Islam II - pekan Ibnu Taimiyyah di Damaskus tahun 1961, Muktamar II Lembaga
Reseach Islam di Al Azhar
Cairo, Mei 1965,
Muktamar Internasional 1 Ekonomi
di Mekah, Februari
1976, dan Muktamar Lembaga Fikih Islam Organisasi Islam (OKI), Desember 1985.
Asuransi gotong royong ( اَلتَّبَادُلِيُّ ) dilaksanakan
oleh perhimpunan gotong royong, melalui sumbangan (tabarru) kepada
anggota yang mengalami musibah dan bukan tukar-menukar. Orang yang memberikan
sumbangan pada suatu kelompok yang mempunyai ciri khas tertentu berhak memperoleh sumbangan tersebut apabila ia mempunyai ciri khasnya. Contohnya orang yang
menyumbang kepada pelajar, berhak mendapat sumbangan tersebut apabila menjadi pelajar. Begitu pula orang yang
menyumbang kepada orang fakir, berhak
mendapat
sumbangan tersebut apabila menjadi miskin.
Asuransi seperti ini halal, karena tidak mengandung gharar (untung-untungan). Itulah sebabnya asuransi
tabaduly / ta’awuny disepakati oleh para ahli fikih tentang
kehalalannya. Sedangkan asuransi sosial ( الإجْتِمَاعِيُّ ) adalah
asuransi yang dilaksanakan oleh Negara atau lembaga yang ditunjuk negara untuk
mengasuransikan sebagian masyarakat, seperti buruh, pengangguran, penderita
sakit, orang miskin, dan lanjut usia.
Asuransi sosial hukumnya boleh karena tidak mengandung gharar
(untung-untungan), seperti
pada jual beli (akad tukar-menukar). Asuransi
sosial tidak termasuk akad tukar menukar, karena status negara bukan sebagai pemberi ganti atas pembayaran dari orang
yang diasuransikan, dan bukan pula sebagai untung, namun negara ikut bersaham dengan
para buruh dan pemilik usaha dalam sebagian
modal. Oleh scbab iru asuransi sosial disepakati
para ahli fikih atas kehalalannya. Adapun asuransi
dengan premi tetap ( اَلتَّأْمِيْنُ بِقِسْطٍ ثَابِتٍ ) yang dikenal juga dengan sebutan
asuransi dagang ( اَلتَّأْمِيْنُ التِّجَارِيُّ ), para
ahli fikih berpendapat bahwa dalam menentukan hukumnya, karena tujuannya
untuk dagang, yaitu untuk mengeruk keuntungan. Dalam praktiknya, seorang pemohon mengadakan perjanjian dengan salah satu
perseroan asuransi (sebagai penanggung) untuk memikul kerugian yang mungkin
menimpanya akibat suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi
atau peristiwa kematian yang tidak diketahui kapan akan terjadi, dengan
ketentuan bahwa si penanggung akan mcnerima premi berkala dari tertanggung.
Oleh karena itu, persoalan ini dalam praktiknya mencari keuntungan untuk
dirinya maka ia disebut Al Ta'min Al Tijary, atau asuransi yang bersifat
perdagangan.
Asuransi tersebut berbeda sifatnya
dengan kedua asuransi sebelumnya. Dalam asuransi yang bersifat dagang ini,
sifatnya adalah tukar-menukar antara premi yang dibayar oleh tertanggung dengan
jumlah yang dijanjikan untuk dibayar oleh penanggung akibat suatu peristiwa
yang menimpa si tertanggung dan suatu waktu bisa terjadi perbedaan yang amat
rnenyolok antara premi yang dibayar dengan jumlah yang harus dibayar oleh si
penanggung.
Mengenai hukumnya terdapat perbedaan
pendapat. Sebagian ahli hukum Islam, di antaranya Syaikh Muhammad Abu Zahrah,
beliau berpandapat bahwa asuransi Tijary ini hukumnya haram karena
kontrak tersebut, adalah berupa perjanjian tukar-menukar yang mengandung gharar
(untung-untungan/ketidakpastian), di mana pihak tertanggung tidak dapat
memastikan berapa jumlah premi yang harus dibayar dan masing-masing tidak dapat
memastikan terjadi atau tidaknya atau kapan terjadinya. Ketidakpastian/gharar
seperti ini terjadi dalam suatu perjanjian tukar-menukar, sebagian disebutkan
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhary, Muslim, Malik, Ahmad, Tirmidzy, al
Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al Daramy dari Abi Hurairah sebagai berikut:
عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ
بَيْعِ الْغَرَرِ (رواه كتب الستة )
j نَهَى رَسُوْلُ الله
Artinya: Rasulullah
SAW, melarang jual-beli hashah
(lempar kerikil) dan jual beli gharar.
Abu Zahrah menggolongkan asuransi tijary ini
ke dalam kelompok akad yang terlarang karena
sifatnya merupakan untung-untungan, sehingga ia merupakan
judi ( اَلْقِمَارُ ) yang haram hukumnya. Dalam asuransi
tijary ini juga, tampak jelas
sifat tidak adilnya, karena dana (premi) yang
terkumpul dari nasabah menjadi milik perusahaan dan perusahaan bebas menentukan
investasinya, tanpa memperhatikan halal dan haram dalam usaha tersebut dan
keuntungan seluruhnya menjadi milik perusahaan. Sedangkan bagi nasabah sebagai
pembayar premi, bila tidak terjadl klairn maka ia tidak mendapatkan sesuatu
dari dana/premi
tersebut.
Adapun
ulama yang berpandapat bahwa asuransi termasuk segala macam bentuknya dan cara
operasi hukumnya haram, antara lain Wahbah Al Zuhaily, Yusuf Al Qardhawy, Said
Sabiq, Abdullah Al Qalqili, dan Bakhit Al Muthi'i.
Asuransi diharamkan karena beberapa alasan, yakni:
1. Asuransi mengandung
unsur perjudian yang dilarang dalam Islam (Al Baqarah:219 – Al Maidah:
90),
y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ÌôJyø9$# ÎÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è%
!$yJÎgÏù ÖNøOÎ) ×Î72
ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çt9ò2r& `ÏB
$yJÎgÏèøÿ¯R 3 tRqè=t«ó¡our #s$tB tbqà)ÏÿZã È@è% uqøÿyèø9$# 3 Ï9ºxx. ßûÎiüt7ã
ª!$#
ãNä3s9
ÏM»tFy$# لَعَلَّكُمْ
تَتَفَكَّرُوْنَ ÇËÊÒÈ
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu
apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. (Al
Baqarah:219). Lihat juga Al Maidah:90.
2. Asuransi mengandung ketidakpastian,
3.
Asuransi mengandung unsur riba yang dilarang dalam Islam (Al Baqarah:278),
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
(#qà)®?$# ©!$#
(#râsur $tB uÅ+t/
z`ÏB
(##qt/Ìh9$#
bÎ) OçFZä.
tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
4. Asuransi mengandung unsur
eksploitasi yang bersifat menekan,
5. Asuransi
termasuk jual beli atau tukar-menukar mata uang yang tidak secara
tunai (Akad
Oardh), dan
6. Asuransi obyek bisnisnya
digantungkan pada hidup dan matinya seseorang, yang berarti
mendahului takdir Tuhan. Semua hal yang telah
disebutkan, hukumnya haram menurut Islam. Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa asuransi hukumnya
halal dalam Islam, antara lain
adalah Abdul Wahab Khallaf, Muhammad Yusuf Musa, Abd
Rahman Isa, Musthafa Ahmad Zarqa, dan Muhammad Najatullah Al Shiddiqy. Alasan mereka membolehkan asuransi
adalah:
1. Tidak ada ketetapan nash Al Our'an maupun Hadits yang melarang asuransi.
2. Terdapat kesepakatan
kerelaan dan keuntungan bagi kedua belah pihak, baik
penanggung, maupun tertanggung.
3. Kemaslahatan dari usaha asuransi lebih besar dari madharatnya.
4. Asuransi merupakan akad yang madharatnya dinafikan atas dasar profil loss sharing (untung-rugi).
5. Asuransi ermasuk kategori
koperasi (Syirkah ta’awuniyah) yang
dibolehkan dalam
Islam.
6. Bertujuan gotong royong
dan solidaritas antara orang-orang yang diasuransikan, Peranan orang yang diasuransikan hanya bergabung pada persetujuan gotong-royong
yang terorganisir.
7. Tidak mengandung
gharar, karena segala sesuatunya dapat diketahui dengan jelas.
8. Sesuai dengan kaidah:
اَلأصْلُ فِيْ الْعُقُوْدِ الإبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى
تَحْرِيْمِهَا
Artinya: "Hukum segala sesuatu adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
(Dalam Asuransi tidak ditemukan dalil yang
menghararnkannya).
9. Darurat dan sudah menjadi
adat kebiasaan.
10. Akad asuransi termasuk akad mudharabah atau semakna dengan itu.
11. Menganalogikan akad asuransi dengan hukum-hukum yang telah diakui dalam Islam, seperti Wadi'ah (titipan), sistem pensiun, dan lain-lain.
Dalil-dalil dan alasan-alasan yang dikemukakan oleh ulama yang membolehkan asuraransi tersebut di atas kurang
mendapat dukungan dalam diskusi tentang asuransi forum-forum
internasional, karena dalil-dalil dan alasan-alasan mereka dianggap lemah.
Alasan yang dikemukakan oleh golongan ulama yang
membolehkan asuransi ditolak oleh ulama yang mengharamkannya, adalah sebagai berikut.
1. Asuransi
mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan, karena tidak ada sebab
syar'i yang bisa dijadikan landasan
bagi seseorang
untuk diwajibkan membayar ganti rugi, sebab ganti rugi dalam Islam hanya dapat
dilakukan apabila disebabkan oleh sikap permusuhan dan sikap sewenang-wenang.
2. Sesuatu yang dipertanggungkan bersifat spekulatif, dalam arti suatu risiko seperti
kebakaran, kecelakaan, kematian, dan lain-lain tidak dapat diprediksi kejadiannya, jika pihak
penanggung dan tergantung dapat memastikan kejadiannya maka boleh diberlakukan ganti rugi.
3. Asuransi tidak
dapat digolongkan ke dalam konsep Al Wadi'ah (titipan) yang dapar
dituntut ganti rugi, bila pemegang titipan lalai dalam kewajibannya karena dalam asuransi barang yang ditanggung tidak berada di tangan penanggung.
4. Asuransi juga tidak dapat
dikategorikan ke dalam akad mudharabah (bagi hasil) karena dua sebab, yakni:
a. Premi yang
disetorkan menjadi milik perusahaan dan ia bebas untuk menggunakannya dan peserta tidak akan mendapatkan sesuatu jika tidak ditimpa kecelakaan atau kerugian.
b. Keuntungan yang diberikan kepada
nasabah ( tergantung ) sudah ditentukan nilainya. Hal ini tidak sejalan dengan mudharabah, di mana keuntungan harus dibagi berdasarkan kesepakatan di antara perusahaan dan nasabah.
5. Akad asuransi mengandung gharar, oleh sebab itu dilarang oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya berbunyi:
عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ (رواه المسلم )
j نَهَى رَسُوْلُ الله
Artinya: Rasulullah SAW melarang jual beli gharar (tidak jeias/tipuan) (H.R.Muslim).
Setelah memaparkan pendapat-pendapat para ulama
tentang hukum asuransi Tijary/dagang
(konvensional), nampak bahwa pendapat yang rajih
(yang kuat) adalah pendapat para ulama yang mengharamkan asuransi tijary/dagang
(konvensional) karena pendapat mereka ini ditopang oleh nash-nash Al Qur'an dan
Hadits serta
argumen-argumen yang kuat dan relevan dalam penerapan keadilan dan saling
tolong menolong di antara
penanggung dan tertanggung.
C. Hukum Asuransi
bagi Jamaa Haji
Dalam rangka pemberian
perlindungan terhadap jamaah haji, terutama bagi yang meninggal dunia, baik
sebelum wuquf atau sesudahnya maka salah satu solusi untuk menanggulangi risiko
yang menimpanya, adalah dengan mengasuransikannya melalui asuransi jiwa. Pada uraian sebelumnya telah disebutkan
bahwa mayoritas ulama mengharamkan asuransi. Hanya
sedikit dari mereka yang menghalalkannya dan dalil
mereka ini dianggap
lemah, sebagaimana disebutkan dalam hasil muktamar Lembaga Fikih Islam OKI yang
diselenggarakan pada bulan Desember 1986. DR. Husen Hamid Hassan menyimpulkan, bahwa semua penganalisis asuransi konvensional sependapat mengatakan bahwa akad asuransi
konvensional, adalah gharar dari
segi hubungan antara perusahaan asuransi
dan orang yang diasuransikan.
Sehubungan dengan pendapat
mayoritas ulama yang mengatakan, bahwa hukum asuransi (konvensional) haram karena
mengandung gharar (untung-untungan/tidak ada kepastian), maka hendaklah Depag RI mengasuransikan jamaah haji Indonesia lewat asuransi-asuransi syariah yarg sudah ada di Indonesia secara bersama-sama.
Asuransi syariah merupakan sistem baru bagi
dunia asuransi yang bercirikan manajemen terbuka dan bagi hasil. Segala bentuk biaya dan keuntungan dibicarakan bersama antara perusahaan
dan peserta, karena dana yang masuk ke perusahaan
adalah milik peserta. Peserta adalah sebagai "Shahibu Al Mal” dan perusahaan hanya sebagai
pernegang amanah. Dalam kegiatannya, asuransi syariah atas dasar syariah dengan sistem
tolong-menolong dan bagi hasil bukan
dengan bunga. Oleh sebab itu, dana yang diserahkan peserta pada perusahaan ada
tiga macam, yaitu tabarru', tabungan dan
biaya. Mengenai asuransi
syariah ini, sudah dijelaskan secara singkat uraian tentang pengertian asuransi
(konvensional) dan perbedaannya dengan
asuransi syariah. Jadi jamaah haji boleh diasuransikan dan dianjurkan
agar melalui asuransi yang sesuai dengan prinsip syari'ah. Wallahu A’alam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah memaparkan
pendapat-pendapat para ulama tentang hukum asuransi Tijary/dagang
(konvensional), nampak bahwa pendapat yang rajih
(yang kuat) adalah pendapat para ulama yang mengharamkan asuransi tijary/dagang
(konvensional) karena pendapat mereka ini ditopang oleh nash-nash Al Qur'an dan
Hadits serta
argumen-argumen yang kuat dan relevan dalam penerapan keadilan dan saling
tolong menolong di antara
penanggung dan tertanggung.
Oleh karena itu solusi terbaiknya
hendkalah kita semua khususnya umat Islam menggunakan Asuransi Syaria’ah karena
asuransi syari'ah bersifat saling melindungi dan tolong
menolong disebut dengan Ta'awun,
yaitu prinsip hidup saling melindungi dan tolong menolong atas dasar
Ukhuwah Islamiyah antara anggota peserta asuransi syari'ah dalam menghadapi
malapetaka (risiko).
Sehubungan dengan pendapat
mayoritas ulama yang mengatakan, bahwa hukum asuransi (konvensional) haram karena
mengandung gharar (untung-untungan/tidak ada kepastian), maka hendaklah Depag RI mengasuransikan jamaah haji Indonesia lewat asuransi-asuransi syariah yarg sudah ada di Indonesia secara bersama-sama.
A.
Saran
Demikianlah makalah
ini penulis buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Masail Fiqhiyah pada Jurusan Pendidikan Agama Islam semester
VI. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan penulis meminta
kepada pembaca umumnya dan khususnya kepada bapak dosen mata kuliah M asail
Fiqhiyah ini untuk memberikan saran dan kritik yang membangun untuk makalah
ini. Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberkahi kita semua. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama. Al-Qur'an
dan Terjemahannya. 1989. Semarang: Toha
Putera.
Rasjid,
Sulaiman. Fiqih Islam. 2003. Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Tahido
Yanggo, Huzaimah. Masail Fiqhiyah. 2009. Bandung: Angkasa
Mudjib,
Abdul. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih. 2010. Jakarta: Kalam Mulia
[1]Lihat
Manna’ Khalil Qaththan, Tarikh Al Tasyri’ Al Islami, Bairut, Dar Al
Fikr, tersebut, th.,h.58-63.
[2]
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1988,
Cet. Islam, h, 54.
[3] Jubran Mas’ud,
Al Ra’id, Mu’jam Lughowy ‘Ashry, Bairut, Dar Al Islami Li Al Malayin, t.th.,
Jilid Islam, h.30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar