Sabtu, 03 September 2011

ISTISHHAB

ISTISHHAB
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih yang dibimbing oleh Bapak Drs. M. Nurzansyah, M.Hum.
Jurusan Pendidikan Agama Islam Semester III B.

Disusun oleh :
KELOMPOK IV :
1. NITA KAMALASARI
2. NURHASAN
3. NURJUWAEDAH
4. NURKHOLIS
5. SAHRUL ERLANDO
6. TB. A. MAMBAUL HIKAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG ( UMT )
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Sekretariat : Jl. Perintis Kemerdekaan I / 33 Cikokol - Kota Tangerang Banten 15118
2010 M / 1432 H

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur kami penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat-Nya kepada kita semua selaku para hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita menuju terangnya Iman dan Islam, sehingga kami penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Alasan kami penulis memilih judul :“ISTISHHAB ” adalah agar kami lebih memahami tentang masalah ISTISHHAB, dan sebagai salah satu tugas kuliah pada semester III fakultas Agama Islam pada mata kuliah Ushul Fiqih.
Dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada :
1. Bapak. H. Ahmad Badawi S.Pd, M.M selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang.
2. Bapak Drs. M. Nurzansyah, M.Hum selaku dosen pembimbing mata kuliah Ushul Fiqih.
3. Rekan-rekan seperjuangan dalam menuntut ilmu di Kampus Universitas Muhammadiyah.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami penulis khususnya dan rekan-rekan mahasiswa umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu segala kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan diskusi atau pun ilmu pengetahuan kami selanjutnya dimasa yang akan datang.

Tangerang, 19 Desember 2010 M

13 Muharram 1432 H

Penyusun


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………...i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………....1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………..1
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………………2
D. Sistematika Penulisan……………………………………………………………….2

BAB II ISTISHHAB……………………………………………………………………...3
A. Pengertian Istishhab………………………………………………………………...3
B. Kehujahan Istishhab………………………………………………………………...4
C. Macam-macam Istishhab …………………………………………………………...5

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………….7
A. Kesimpulan………………………………………………………………………...7
B. Saran……………………………………………………………………………….7

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................8






BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah Swt untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsif-prinsif dan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut.
Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang dapat kami penulis rumuskan adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian istishhab itu?
2. Apa kehujahan istishhab itu.
3. Apa macam-macam istishhab itu.?

C . Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian istishhab itu.
2. Untuk mengetahui kehujahan istishhab itu.
3. Untuk mengetahui macam-macam istishhab itu.

D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini dibagi menjadi 3 bab, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II ISTISHHAB
Istishhab berisi uraian tentang pengertian Istishhab, kehujahan istishhab dan macam-macam istishhab.
BAB III PENUTUP
Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka berisi referensi kami penulis dalam menyusun makalah ini.





BAB II
ISTISHHAB

A. Pengertian Istishhab
الإسْتِصْحَا بُ عِنْدَ اْلاُصُوْلِيِّّيْنَ هُوَ اْلحُكْمُ عَلى الشَّيْئِ بِالْحَا لِ الَّتِيْ كَانَ عَلَيْهَا مِنْ قَبْلُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلى تَغُيُّرِ تِلْكَ الْحَا لِ أوْ هُوَ جَعَلَ الْحُكْمَ الَّذِيْ كَانَ ثَابِتًا فِى الْمَاضِ بَاقِيًا فِى الْحَا لِ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلى تَغَيُّرِهِ.
“Istishhab menurut ulama’ usuliyin adalah menerapkan hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang merubahnya atau ia menjadikan hukum suatu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya kecuali ada dalil yang merubah ketentuan itu”.
Sedangkan istishhab secara harfiyah (bahasa) artinya “pengakuan adanya perhubungan”. Jadi dengan kata lain Istishhab adalah “menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya”. Oleh sebab itu apabila seorang mujtahid ditanya tentang sesuatu perkara atau hukum, yang mana hukum tersebut tidak bisa dicari kaidah hukumnya baik didalam Al Quran atupun Al hadis ataupun didalam dalil-dalil syara’ maka alternatif terakhir ialah menggunakan dasar hukum Islam yang kedelapan yaitu istishhab dan di hukumi boleh sebab pada dasarnya semua apa yang ada di bumi ini adalah hukumnya boleh, sebelum ada dalil-dalil yang melarangnya. Sesuai dengan kaidah ushul fiqih :
اَلأصْلُ فِى الأشْياَءِ الإبَاحَةُ
artinya : ”pada dasarnya sesuatu itu adalah boleh”.
Kemudian apabila seorang mujtahid ditannya tentang hukum binatang, benda-benda, tumbuh-tumbuhan, makanan dan minuman atu sesuatu amal yang hukumnya tidak ditemukan di dalam dalil syara’ maka hukumnya ialah boleh sesuai dengan hukum pada asal mula perkara tersebut. Sebelum ada dalil yang mengubahnya menjadi tidak boleh. Kebolehan disini adalah merupakan pangkal (asal) meskipun tidak ada dalil yang menunjukkan atas kebolehannya. Dengan demikian pangkal sesuatu itu adalah boleh seperti firman Allah dalam surat Al Baqarah;29:
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِى الأرْضِ جَمِيْعًا
artinya : “Dialah Allah yang menjadikan segala apa yang ada dibumi”.
Istishhab merupakan dalil syara’ yang terakhir yang dipakai mujtahid untuk menggali hukum. Sedangkan ulama’ ushul mengatakan pada dasarnya istishhab merupakan tempat berputarnya fatwa yang terakhir untuk mengetahui sesuatu berdasarkan hukum yang telah di tetapkan sebelum ada dalil yang merubahnya. Hal tersebut merupakan metode didalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan atau adat manusia pada seluruh pemeliharaan dan penetapan mereka. Karena jika seseorang mengetahui adanya seseorang yang hidup, maka dia itu dihukumi hidup dan dasar hidupnya itu dipelihara hingga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa dia itu sudah meninggal.
Dengan dasarnya ialah:
• الأصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلى مَا كَانَ حَتَّى يَثْبُتَ مَا يُغَيِّرُهُ
artinya : “asal sesuatu itu merupakan ketetapan terhadap sesuatu yang telah ada berdasarkan keadaan semula hingga adanya ketetapan sesuatu yang merubahnya”.
• الأصْلُ فِى الأشْيَاءِ الإبَاحَةَُ
artinya: “asal segala sesuatu adalah kebolehan”
• مَا ثَبَتَ بِا لْيَقِيْنِ لا يَزُوْلُ بِالشّّكِّ
artinya: “sesuatu yang tetap sebab keyakinan tidak hilang sebab keragu-raguan”
• الأصْلُ فِى الإنْسَانِ الْبَرَاءَةُ
artinya: “asal yang ada pada manusia itu adalah kebebasan” .

B. Kehujahan Istishhab
Istishhab merupakan dalil syara’ terakhir yang dipakai oleh mujtahid sebagai hujah untuk mengetahui hukum sesuatu kejadian yang dihadapkan kepadanya. Sedangkan istishab menurut ulama’ usul merupakan berputarnya fatwa yang terakhir untuk mengetahui sesuatu berdasarkan hukum yang telah di tetapkan selama tidak ada dalil yang merubahnya. Sedangkan apabila setelah itu ada dalil yang melarangnya, maka hukum yang tadinya boleh menjadi tidak boleh.
Jika seseorang memiliki sesuatu berdasarkan sebab pemilikan, maka pemilikan itu tetap berlaku sampai adanya ketetapan lain yangmenggugurkan pemilikan hal itu. Halalnya hubunganan suami isteri karena ikatan akad nikah, berlaku seterusnya hingga adanya ketetapan yang mengharamkan hubungan itu atau tanggungan hutang tetap berlaku hingga adanya ketetapan akan gugurnya tanggungan itu.
Sedangkan dalam masalah kehujahan istishhab ini ada tiga pendapat di kalangan para ulama’ ushul fiqih:
• Mayoritas dari pengikut Maliki, Syafi’i, Ahmad dan sebagian ulama’ Hanafi berpendapat bahwa istishhab bisa menjadi hujah dalam menetapkan hukum syara’. Alasan mereka ialah sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qothi’ maupun zhonni maka hukum yang telah ditetapkan itu terus berlaku karena ada dugaan keras, belum ada perubahan.
• Sebagian besar ulama’ muta’akhirin, seperti Hanafi berpendapat, bahwa istishhab dapat menjadi hujah dalam menetapkan hukum syara’. Sedangkan alasan mereka seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masaah yang telah ada, mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah dibatalkan.
• Segolongan ulama’ mutakalimin seperti Hasan al bashri dan yang sependapat dengannya berpendapat bahwa istishhab secara mutlaq tidak dapat dipakai (dijadikan hujah) didalam menentukan hukum syara’ karena hukum yang ditetapkan adalah hukum yang sama pada masa lampau yang menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan masa yang akan datang harus pula berdasarkan dalil.
C. Macam-Macam Istishhab
Para ulama’ fiqih mengemukakan bahwasanya istishhab itu terbagi menjadi lima macam yang sebagiannya disepakati dan sebagian yang lain masih diperselisihkan. Kelima istishhab ini antara lain:
• Istishhabu hukmil ibahatil ashliyyah ( حكم الاباحة الاصليّة استصحا ب )
Maksudnya ialah menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
• Istishhab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlaku terus. Maksudnya ialah sifat yang melekat pada suatu hukum sampai ditetapkannya hukum yang berbeda dengan hukum itu. Misalnya hak milik sesuatu benda adalah tetap dan berlangsung terus disebabkan adanya transaksi pemilikan, yaitu aqad sampai ada sebab lain yang meyebabkan hak milik itu berpindah tangan kepada orang lain.
• Istishhab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya.
• Istishhab dengan nash selama tidak ada dalil nash yang membatalkannya.
• Istishhab hukum akal sampai datangnya hukum syara’.

CONTOH TENTANG ISTISHHAB:
• Apabila telah jelas adanya pemilikan terhadap sesuatu harta karena adanya bukti terjadinya pemilikan seperti karena membeli, warisan, hibbah atau wasiat, maka pemilikan tadi terus berlangsung sehingga ada bukti-bukti lain yang menunjukkan perpindahan pemilikan pada orang lain.
• Orang yang hilang tetap dianggap hidup sehingga ada bukti atau tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa dia meniggal dunia.
• Seorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami-isteri sampai ada bukti lain bahwa mereka telah bercerai, misalnya dengan talak.

















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan mencermati pendapat-pendapat para ulama’ di atas maka kami bisa menarik kesimpulan bahwasanya apabila kita dihadapkan pada suatu masalah atau perkara yang mana perkara tersebut tersebut menuntut adanya sebuah hukum, maka kita harus mencarinya di dalam Al Quran dan Al Hadits dan namun bila kita tidak menemukan dasar hukum untuk perkara tersebut maka bolehlah kita beristishhab tentang perkara tersebut. Karena hal ini sesuai dengan dalil الاصل فى الأشياء الا باحة dan firman Allah هوالذي خلق لكم ما فى الارض جميعا.
Dengan melihat dalil di atas, maka segala sesuatu itu pada dasarnya adalah mubah (boleh) sebelum ada dalil yang melarangnya. Oleh karena itu kami sangatlah mendukung tentang istishhab ini sebagi landasan hukum Islam yang terakhir. Sebab bila ada sesuatu masalah yang timbul dan tidak ada hukum yang menetapkannya baik itu di dalam Al Quran dan Al Hadits apakah perkara itu akan kita biarkan begitu saja, sedangkan orang-orang itu dibuat bingung akan masalah itu karena tidak jelas hukumnya, menurut kami tidak seperti itu, jelas Allah Swt menciptakan akal itu untuk kebaikan agar manusia itu bisa memilah dan memilih mana yang dianggap benar dan yang dianggap salah, dan jelaslah kalau dalam tataran hukum maka akal lah yang difungsikan untuk menggali hukum, bila tidak ada hukum yang pasti di dalam Al Quran dan Al Hadits dan yang lain-lain maka jalan satu-satunya ialah menggunakan istishhab demi kemaslahatan umat.
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami penulis susun untuk memenuhi salah satu tugas kuliah Jurusan Pendidikan Agama Islam semester III pada mata kuliah Ushul Fiqih. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan, kami penulis meminta kepada pembaca umumnya dan khususnya kepada bapak dosen mata kuliah Ushul Fiqih ini untuk memberikan saran dan kritik yang membangun untuk makalah ini. Mudah-mudahan Allah Swt senantiasa memberkahi kita semua. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama. Al-Qur'an dan Terjemahannya. 1989. Semarang: Toha Putera.
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. 2003. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. 2009. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Khallaf, Abd. Wahab. Ilmu Ushul Al-Fiqh (alih Bahasa: Noer Iskandar). 2000. Jakarta: Raja Grafindo Persada.





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar