PERUMUSAN TUJUAN DAN PEMBINAAN/
PENYELENGGARAAN PONDOK PESANTREN
DALAM MASA PEMBANGUNAN
Diajukan sebagai syarat mengikuti Ujian Akhir Semester Genap pada mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam (KSPI).
Dosen Pemimbing: Drs. Abdul Basyit, MA.
Disusun oleh:
KELOMPOK IV:
1. NITA KAMALASARI
2. NURKHOLIS
3. RAHMAWATI
4. SITI ARPIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEMESTER IV B
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG (UMT)
TANGERANG
2011 M
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………................................................................................................................ .i
A. PENDAHULUAN ………..………………………………………………………………..1
B. PEMBAHASAN ……….………………………………………………………………….2
1. Latar Belakang Historis Pondok Pesantren ……….…………………………………..2
2. Dasar Yuridis Formal dan tujuan Pendiidkan Pondok Pesantren ……….…………….6
3. Pembinaan/Penyelenggaraan Pondok Pesantren ……………………………………...9
C. KESIMPULAN …………………………………………………………….......................13
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………..14
A. PENDAHULUAN
Masalah perumusan tujuan dan pembinaan/penyelenggaraan pondok pesantren dalam masa pembangunan ini bukanlah suatu yang mudah dianalisis, karena kita belum mempunyai bahan-bahan landasan formal yang didasarkan atas data-data hasil research yang reliable pada taraf nation wide (secara nasional). Memang kita mengkonstatir bahwa topik di atas adalah perlu dipandang sebagai suatu masalah umat Islam dan masalah negara yang perlu mendapatkan clearance yang integral, yaitu bagaimana dasar yuridis formalnya; bagaimanakah efek psikologis pedagogisnya dalam masyarakat, bagaimana perannya dalam pembinaan bangsa sebagai suatu integritas dan sebagainya. Di samping itu, juga harus kita lihat sikap masyarakat kita sendiri terhadap berfungsinya Pondok Pesantren sebagai suatu integritas dan sebagainya. Di samping itu, juga harus kita lihat sikap masyarakat kita sendiri terhadap berfungsinya Pondok Pesantren sebagai suatu sistem pendidikan dalam hubungannya dengan pembangunan/ pengembangan masyarakat modern dan sebagainya. Pokoknya membahas topik tersebut harus memberikan peninjauan masalah-masalah yang kompleks yang relevan dengan itu, yaitu sosiologis, filosofis, psikologis. politis, yuridis serta pedagogis, juga administratif. Pondok pesantren tidak hanya cukup kita tanggapi atau pahami sebagai suatu kompleks asrama di mana para santri bertempat tinggal untuk belajar agama yang diberikan oleh Kiai, fnelainkan harus juga kita pahami sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam yang mempunyai sistem pendidikan yang karakteristik berbeda dengan sistem pendidikan klasikal dalam proses administratifnya serta perkembangan pedagogisnya. Kita melihat kenyataan bahwa dalam proses perkembangan pondok pesantren sampai pada penghujung abad ke-20 ini terjadilah suatu ketidakseragaman atau variasi-variasi dalam pembinaan/penyelenggaraannya sehingga tanpa suatu internal variance yang kompleks, meskipun dapat juga kita temukan ciri-ciri umumnya (generalisasinya) yang dapat kita jadikan pembeda terhadap sistem pendidikan lembaga-lembaga yang lain.
Oleh karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pengertian definitif tentang apa yang kita sebut Pondok Pesantren itu sulit untuk dirumuskan. Akan tetapi, untuk bahan appersepsi dalam pembahasan lebih lanjut, kami mencoba merumuskan konsep definisi Pondok Pesantren sebagai berikut: "Pondok Pesantren adalah suatu Lembaga Pendidikan Agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang Kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatis serta independen dalam segala hal. Untuk mendalami pengertian tentang hal ini kita perlu memahami latar belakang (background) kehidupan Pondok Pesantren dari pelbagai seginya, melalui living reality oriented approach (pendekatan yang berorientasi kepada kenyataan hidup) menurut pengetahuan penulis sebagai berikut.
B. PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Historis Pondok Pesantren
a. Sejarah pondok pesantren
Dilihat dari segi latar belakang historisnya, pondok pesantren tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dalam masyarakat yang terdapat implikasi-implikasi politis dan kultural yang menggambarkan sikap ulama-ulama Islam sepanjang sejarah. Pesantren adalah satu-satunya lembaga yang tersedia untuk segala pangajaran agama Islam, baik untuk tingkat dasar, menengah, maupun tinggi. Karena tuanya sistem pendidikan pesantren, Hasbullah menyebutnya sebagai "Bapak" pendidikan Islam Indonesia. Menurut Karel Steenbrink, istilah "pesantren" itu sendiri dan seperti halnya "mengaji", "pondok", bukanlah berasal dari istilah Arab, melainkan berasal dari India. Dan menurut Manfred, seperti yang dikutip oleh Hanum Asrihah, istilah "pesantren" berasal dari bahasa "tamil", yang berarti tempat tinggal para santri dan santri berarti guru mengaji. Sedang menurut Robson yang dikutip oleh Asrohah, santri berarti orang yang tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan secara umum. Sejak negara kita dijajah orang-orang Barat (yang selalu beragama Kristen), ulama-ulama kita bersikap noncooperation terhadap kaum penjajah serta mendidik santri-santrinya dengan sikap politis antipenjajah serta nonkompromi terhadap mereka dalam bidang pendidikan agama pondok pesantren. Dari segi kultural para ulama Islam pada saat itu berusaha menghindarkan tradisi serta ajaran agama Islam dari pengaruh kebudayaan Barat, teratama yang terbawa oleh penjajah. Segala suatu yang berbau Barat secara apriori ditolak oleh mereka, termasuk sistem pendidikan, bahkan juga cara dan mode pakaian Barat dipandang haram oleh ulama-ulama Islam pada masa itu. Semua bentuk kebudayaan ala Barat dipandang sebagai suatu kekufuran yang harus dijauhi oleh umat Islam. Sikap yang demikian membawa ulama Islam dengan pondok pesantrennya kepada sistem kehidupan isolatif dari stratifikasi sosial lainnya yang timbul di kemudian hari, yaitu isolasi dari lapisan sosial (golongan), Priayi (pegawai-pegawai Pemerintah Hindia Belanda), dan juga dari golongan Abangan yang kehidupannya berorientasi kepada animisme dan klenikisme. Stratifikasi sosial yang tajam batas-batasnya teratama di masyarakat Jawa dalam zaman penjajahan Belanda ialah tiga golongan, yaitu Santri (kaum muslimin), Priayi, dan Abangan yang orientasi politik-kebudayaannya satu sama lain. Oleh karena itu, pada masa penjajahan tersebut pondok pesantren menjadi satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang menggembleng kader-kader umat yang tangguh dan gigih mengembangkan agama serta menentang penjajahan berkat dari Jiwa Islam yang berada di dalam dada mereka. Jadi, di dalam pondok pesantren tersebut tertanam patriotisme di samping fanatisme agama yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masa itu. Sebagai suatu lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren dari sudut historis-kultural dapat dikatakan sebagai training center yang otomatis menjadi cultural center Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat, setidak-tidaknya oleh masyarakat Islam sendiri yang secara de facto tidak dapat diabaikan oleh Pemerintah. Dengan demikian, jelaslah bahwa pondok pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang tertua di negara kita yang umumnya sudah ratusan tahun. Yang menjadi perhatian kita sekarang ialah: apakah sistem pendidikan pesantren yang telah dilembagakan masyarakat dengan sikap politis-kultural (nonce-operation, nonkompromis, dan sebagainya) masih dapat dipertahankan terhadap perkembangan gerakan-gerakan modernisasi pendidikan dalam hubungannya dengan tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan GBHN dan UU No. 2/1989. Kalau masih perlu dipertahankan, bagaimanakah cara mempertahankannya atau bahkan mengembangkannya dan sebagainya? Dari sudut pedagogis, sistem pondok pesantren memberikan dampak-dampak psikologis anak didik (santri) yang positif dan yang negatif. Dampak ini tampak dalam kenyataan/kehidupan pondok pesantren sehari-hari yang ciri-ciri khasnya diuraikan di bawah.
b. Sistem pondok pesantren
Sistem pondok pesantren selalu diselenggarakan dalam bentuk asrama atau kompleks asrama di mana santri mendapatkan pendidikan dalam suatu situasi lingkungan sosial keagamaan yang kuat dalam ilmu pengetahuan yang diperlengkapi dengan atau tanpa ilmu pengetahuan umum. Ilmu pengetahuan agama yang diajarkan itu sangat tergantung pada kegemaran atau keahlian Kiai yang bersangkutan. Pada umumnya santri-santri dalam pondok disiplin dalam mengamalkan ibadah sehari-hari sehingga segi practical religion tampak lebih lonjong, sedang segi theoritical kurang mendapatkan motivasi yang semestinya, terutama dalam soal kedisiplinan belajar kurikulum yang formal tersusun tidak terdapat di dalam pondok-pondok yang masih memakai sistem lama. Metodik/ditaktik pengajaran juga hanya terbatas pada pengajian (baik sorongan maupun weton) dalam pondok sistem lama tersebut. Dan pengajian inilah metode khas dari pesantren yang asli. Dapat dikatakan bahwa pengarahan belajar anak didik tidak mendapatkan perhatian sewajarnya sehingga hanya santri yang berpembawaan cerdas saja yang dapat sukses menjadi alim sesuai dengan idaman mereka. Dalam perkembangannya lebih lanjut (setelah merdeka), pondok pesantren di samping memberikan pelajaran ilmu agama, juga ilmu pengetahuan umum dengan sistem madrasah atau sekolah. Ilmu pengetahuan umum hanya sekadar pelengkap. Jadi, sistem pengajian masih tetap diberikan mereka yang menghendaki pada waktu sesudah sekolah (pagi, sore, atau malam, tergantung madrasah tersebut diselenggarakan waktu kapan). Akan tetapi, dalam perkembangan sistem kependidikannya, pondok itu juga ada yang hanya rnendidik santri-santrinya dengan system madrasah (klasikal) dengan mendisiplin belajar serta praktik ibadah mereka (misalnya Pondok Modern Gontor). Penyimpangan perkem-bangan lebih lanjut, terdapat pondok pesantren yang berfungsi tidak lebih daripada semacam internet di mana santri-santrinya kebanyakan belajar di sekolah-sekolah di luar pondok yang bersangkutan, sedang yang di dalam pondok sendiri tidak diwajibkan untuk mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan oleh Kiai. Gejala-gejala ini terdapat di kalangan beberapa pondok di kota-kota besar. Oleh karena itu, dari sudut administrasi pendidikan pondok pesantren dapat dibedakan dalam 4 kategori berikut ini.
1) Pondok pesantren dengan sistem pendidikan yang lama pada umumnya terdapat jauh di luar kota: hanya memberikan pengajian.
2) Pondok pesantren modern dengan sistem pendidikan klasikal berdasarkan atas kurikulum yang tersusun baik, termasuk pendidikan skill atau vocational (keterampilan).
3) Pondok pesantren dengan kombinasi yang di samping memberikan pelajaran dengan sistem pengajian, juga madrasah yang diperlengkapi dengan pengetahuan umum menurut tingkat atau jenjangnya. Inilah yang terbanyak.
4) Pondok pesantren yang tidak lebih baik dari asrama pelajar dari¬pada pondok yang semestinya.
c. Pendirian pondok pesantren
Para ahli berbeda pendapat mengenai kapan permulaan pesantren berdiri. Ada yang yang berpendapat berdiri abad ke-15 M di jaman wali songo. Oleh karena pondok pesantren didirikan secara individual oleh seseorang atau beberapa orang Kiai (biasanya bersaudara), maka segala sesuatu yang berlaku dalam pondok tersebut sangat bergan-tung pada sistem leardership Kiai yang bersangkutan. Oleh karena itu, masing-masing pondok pesantren mempunyai tipe khas keilmuan yang dijadikan mata pelajaran pokok yang menonjol berbeda dari lainnya. Bilamana Kiai yang bersangkutan ahli dan gemar ilmu pengetahuan alat, maka pondoknya pun terkenal dengan ilmu pengetahuan tersebut. Di sinilah timbul kesulitan-kesulitan besar untuk menyeragamkan kurikulum dan kitab-kitab di antara pondok-pondok. Oleh karena itu, charismatic leardership Kiai yang mengasuhnya. atau kedaulatan penuh di tangan Kiai yang bersangkutan. Itulah sebabnya pondok pesantren dari sudut sosiologis dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan tersendiri di mana Kiai menjadi rajanya atau sebagai subsosial sistem dalam sosial sistem, atau bahkan sebagai organisasi yang berporos pada leadership Kiai. Jadi, segala pembaruan atau inovasi sudah tentu harus melalui leader (Kiai) yang bersangkutan. Dalam hal ini harus dilakukan pendekatan tersendiri. Segi yang merugikan dari sistem pondok ialah hidup matinya sangat bergantung pada Kiai, baik karena kharismanya maupun karena keahliannya atau karena asetnya. Kecuali itu, ada pula unsur-unsur kultus individu terhadap Kiai merupakan suatu pengaruh pada psikologis yang tidak sehat di kalangan santri-santrinya, karena dapat menimbulkan semacam fanatisme kelompok Kiai yang bersangkutan.
d. Administrasi dan organisasi keuangan
Administrasi dan organisasi keuangan pondok pesantren pada umumnya diatur sendiri oleh masing-masing, sehingga berbeda-beda pula taraf keteraturannya, karena bergantung pada pengalaman para pengurus serta pembantu-pembantu Kiai itu sendiri. Hidup finansial pondok pada umumnya berdikari (self-help) yang bersumber pada barang-barang wakaf, hibah, donasi lainnya atau bahkan milik Kiai pribadi. Adapun administrasi dan organisasi pondok juga tidak mempunyai struktur yang seragam, misalnya ada yang membentuk Dewan Musyawarah sebagai badan yang tertinggi yang diketahui oleh Kiai, yang terdiri dari:
1) Majelis Kiai yang mengurusi soal pengajian kitab-kitab.
2) Majelis pelajar yang mengurusi santri.
3) Majelis guru yang bertugas mengurusi soal-soal yang berhubungan dengan pengajaran di madrasah.
4) Majelis pengurus yang mengurus soal-soal organisasi dan administrasi.
Ciri-ciri umum organisasi pondok pesantren ialah tidak bureaucratic, melainkan democratic dalam bentuk sebagai berikut.
1) Kiai dan pembantunya (badannya), sebagai central core (inti pusat).
2) Lurah pondok yang dipilih oleh santri dalam jangka waktu tertentu.
3) Pengurus dari masing-masing grup santri yang tinggal dalam satu subkompleks yang biasanya disebut komisariat dan sebagainya.
Meskipun secara formalnya sistem kepengurusan pondok ditetapkan seperti tersebut di atas, akan tetapi masing-masing santri bilamana perlu dapat juga langsung berhubungan dengan Kiainya tidak usah melalui lurah atau komisariat. Jadi, dalam hal ini tidak berlaku apa yang disebut hierarchical bureaucracy. Dalam pondok-pondok pesantren yang sudah modern yang jumlah santrinya besar, sudah tampak adanya administrasi/manajemen yang baik seperti adanya planning, organizing, staffing, directing, co¬ordinating, reporting, dan budgeting (POSDCORB), berkat kemajuan berpikir Kiai dan pengurus pondok yang bersangkutan. Dalam pondok kecil (s.d. 100 orang) segala sesuatu ditangani oleh Kiai sendiri. Jadi, sistem administrasi dan organisasi pondok tidak sama bagi semua pondok pesantren, meskipun cara pembiayaannya sama.
e. Sosial psikologis dan pedagogis
Dari sudut sosial psikologis dan pedagogis, pondok pesantren merupakan lingkungan tempat santri berkumpul sebagai suatu kelompok yang heterogen dan background ilmiah serta kejiwaan-nya terjadilah proses interaksional dalam aktivitas belajar yang meng-untungkan, meskipun hal ini belum ada pe'ngarahan yang planmating (terutama dalam pondok-pondok sistem lama). Sebagai suatu grup di dalamnya juga berkembang grup dinamik yang terpengaruh oleh sikap fanatisme serta egocentrisme yang berorientasi kepada ingroup-nya. Hal ini tampak bila berhadapan dengan outgroup. Sikap demikian menjadi sebab utama bagi terbentuknya closed system organization yang rigid terhadap pembaruan-pembaruan dari luar. Sebagai hidup kelompok, pendidikan kesehatan rohani dan jasmani dalam banyak pondok kurang mendapatkan perhatian dari pimpinan. sehingga terjadi konsekuensi-konsekuensi seperti penyakit kulit, yang merugikan pertumbuhan individu santri dalam masyarakat. Rekreasi juga pada umumnya sangat terbatas dalam corak (yakni yang berbau kesenian padang pasir) serta fasilitasnya. Bahkan beberapa pondok sistem lama di desa-desa masih berlaku larangan terhadap olahraga seperti sepak bola dan sebagainya, dan kesenian seperti musik, nyanyian, bersiul, dan sebagainya apalagi gamelan jawa. Dengan kata lain, pendidikan ekspresi estetika belum men-dapatkan pembinaan dalam banyak pondok pesantren kita.
f. Kepribadian hasil pendidikan
Ciri kepribadian hasil pendidikan pondok pesantren sistem lama tampak dalam sikap mental maupun tingkah laku yang dapat dibedakan dari hasil pendidikan sekolah modern dalam masyarakat. Misalnya, kesederhanaan dalam hidup sehari-hari, fanatisme dalam agama, mudah terlibat dalam pengkultusan terhadap figur kepemimpinan karena jiwa "sami'na wa atho'na", critical thinking kurang karena dogmatisme lebih kuat, minderwaardigheid complex menjadi penghalang dalam pergaulan di kalangan lapisan/golongan intelektual pada umumnya oleh karena antara lain kurangnya pengetahuan duniawi; namun berjiwa ikhlas dan amaliyah dalam ibadah lebih menonjol, dan sebagainya. Ciri-ciri tersebut lebih diperkompleks lagi oleh perbedaan pola individu psikologis masing-masing santri yang sulit untuk digeneralisasi. Penggambaran tentang background kehidupan pondok pesantren tersebut di atas meskipun belum merupakan generalisasi yang sempurna, akan tetapi kami harapkan dapat dijadikan bahan appersepsi dalam diskusi lebih lanjut.
2. Dasar Yuridis Formal dan Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren
a. Pondok pesantren sebagaimana yang telah kami gambarkan di atas adalah lembaga pendidikan Islam (Islamic Educational Institution) yang berdiri serta tumbuh dengan sendirinya dalam masyarakat, yang secara de facto disahkan oleh masyarakat, sedang landasan yuridis formal belum dirumuskan oleh pemerintah dalam arti khusus. Nurkholis Madjid mengatakan tentang fungsi dan sekaligus menjadi tujuan tradisional dari pendidikan Pesantren yaitu transmisi dan transfer ilmu-ilmu agama, memlihara tradisi Islam dan reproduksi ulama Barangkali dasar-dasar yuridis formal yang bersifat umum bagi landasan berkembangnya pondok pesantren ialah UUD 1945 Pasal 31 yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan ngajaran, yang kemudian dalam undang-undang pendidikan dan pengajaran No. 12 Tahun 1954 jo. No. 4 Tahun 1950 serta dalam menyelenggarakan atau memajukan pendidikan.
Selain itu juga dapat kita pergunakan sebagai landasan yuridis for¬mal Ketetapan MPRS Tahun 1966 No. XXVII/MPRS/1966 Bab II Pasal 2 yang menyatakan sebagai berikut. Pendidikan nasional bertujuan untuk:
1) Mempertinggi mental moral budi pekerti dan memperkuat keyakinan agama.
2) Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan.
3) Membina/mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.
Demikian pula dalam Tap-Tap MPR No. IV/MPR/1973, No. IV/MPR/ 1978, dan No. II/MPR/1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan tiap 5 tahun sekali oleh MPR.
Bidang Agama
Dalam hubungan ini pondok pesantren baru dapat merealisasikan sebagian dari ketetapan MPRS tersebut No. 1), sedang ketetapan No. 2) dan 3) baru sebagian pondok mulai merealisasikannya, oleh karena beberapa faktor sikap/pengertian pimpinan; kurangnya tenaga pengajar yang terlatih; kurangnya fasilitas dan sebagainya. Meskipun landasan yuridis formal ini terlalu umum bagi landasan berdiri atau berkembang pondok pesantren, akan tetapi rasanya sudah dapat menjamin hak tersebut, asal mereka dapat menyesuaikan diri dengan dasar-dasar idiil negara yang dijadikan cita-cita/tujuan akhir pendidikan Indonesia. Kecuali itu dalam sistem pesantren tersebut harus tidak mengandung tendensi baik dengan sengaja untuk merugikan masyarakat atau sesama warga negara sebagai sesuatu totalitas, oleh karena dalam undang-undang atau peraturan manapun di negara kita tidak tercantum pemberian hak kewarganegaraan untuk menyelenggarakan pendidikan yang negatif atau destruktif dalam masyarakat. Barangkali inilah yang dapat dijadikan pegangan sampai di mana pondok pesantren mempunyai hak berkembang dalam masyarakat.
b. Berbicara mengenai tujuan pendidikan pondok pesantren, kita perlu mengingat kembali hitericofilosofis berdirinya pondok, oleh karena tujuan pendidikan yang tidak dapat terlepas dari hal tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan swasta yang didirikan oleh perseorangan (Kiai) sebagai figur sentral yang berdaulat menetapkan tujuan pendidikan pondoknya adalah mempunyai tujuan tidak tertulis yang berbeda-beda. Filsafat pendidikan menentukan nilai-nilai apakah yang dijunjung tinggi yang akan dididikkan kepada anak didiknya dengan bahan-bahan pelajaran (kitab-kitab dan sebagainya) dan cara-cara mencapainya, sedangkan latar belakang ilmiah serta sikap filosofis para Kiai secara individual tidak sama, ada yang luas ada yang sempit. Tujuan tersebut dapat kita asumsikan sebagai berikut.
1) Tujuan khusus: "mempersiapkan para santri untuk menjadi orang yang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh Kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat".
2) Tujuan umum: "membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya".
Akan tetapi, untuk menciptakan rumusan formal dari tujuan pondok pesantren yang bersifat integral, komprehensif, atau total meliputi segala jenis pondok dalam hubungannya dengan masa pembangunan sekarang, harus tidak terlepas dari cita-cita/tujuan bangsa kita sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 serta diperkuat dengan Ketetapan MPRS Tahun 1966 serta Tap-Tap MPR selanjutnya. Oleh karena bilamana suatu tujuan pendidikan dalam negara kita tidak relevan atau kongruen dengan tujuan asasi bangsa, akan menimbulkan kecurigaan yang merugikan kelangsungan hidup pondok pesantren itu sendiri, misalnya isolationisme atau exlusivisme dalam kewarganegaraan. Menurut penafsiran MPRS No. XXVII Tahun 1966 Pasal 2: "Dasar Pendidikan adalah falsafah Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Sedang menurut Tap MPR No. IV Tahun 1973 dan Tahun 1978 serta Tap-Tap MPR tentang GBHN berikutnya, Dasar Pendidikan Nasional adalah Pancasila. Sedangkan tujuan pendidikan menurut ketetapan tersebut dalam Pasal 3, dinyatakan bahwa: "Tujuan pendidikan ialah membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 1945." Dan menurut Tap MPR No. IV 1978: Pendidikan bertujuan untuk meningkat-kan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, cinta tanah air, berbudi luhur, berjiwa pembangunan terhadap diri sendiri dan bertanggung jawab atas pembangunan masyarakat. Dalam GBHN 1988 tujuan Pendidikan Nasional lebih diperjelas lagi aspek-aspeknya. Jadi, jelaslah bahwa negara kita menghendaki agar semua rakyat Indonesia dididik menjadi manusia Pancasila yang sebenar-benarnya. Manusia Pancasilais adalah insan yang di dalam dirinya berbentuk men¬tal moral budi pekerti serta keyakinan agama yang kuat yang diimbangi dengan kecerdasan dan keterampilan yang tinggi dalam jasmani yang sehat. Tujuan ini mengandung pengertian bahwa semua usaha pendidikan harus dapat menghasilkan manusia yang harmonis antara lahir dan batin, jasmaniah dan rohaniah yang tidak hanya mampu hidup secara self-standing melainkan juga menjadi warga negara yang berbakti kepada masyarakat, negara, bangsa, dan agama yang berjiwa sosial konstruktif. Istilah manusia Pancasilais sejati sebenarnya masih belum jelas perumusannya atau katakanlah masih ambiguos, karena Pancasila sendiri terbuka kepada penafsiran yang luas sekali, yang relatif berbeda-beda menurut keyakinan masing-masing orang. Akan tetapi, dengan mengabaikan masalah penafsiran Pancasila dapat diwarnai dengan jiwa Islam dan memang prinsipnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dengan demikian, perlu adanya perumusan tujuan yang bersifat in¬tegrated yang dapat menampung cita-cita negara dan ulama. Kalau demikian tujuan tersebut dapat kita rumuskan sebagai berikut:
1) Tujuan Umum
"Membentuk mubalig-mubalig Indonesia berjiwa Islam yang Pancasilais yang bertakwa, yang mampu baik rohaniah maupun jasmaniah mengamalkan ajaran agama Islam bagi kepentingan kebahagiaan hidup diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa, serta negara Indonesia."
2) Tujuan Khusus/Intermediair
a) Membina suasana hidup keagamaan dalam pondok pesantren sebaik mungkin sehingga terkesan pada jiwa anak didiknya (santri).
b) Memberikan pengertian keagamaan melalui pengajaran ilmu agama Islam.
c) Mengembangkan sikap beragama melalui praktik-praktik ibadah.
d) Mewujudkan ukhuwah Islamiah dalam Pondok Pesantren dan di sekitarnya.
e) Memberikan pendidikan keterampilan, civic dan kesehatan, serta olahraga kepada anak didik.
f) Mengusahakan terwujudnya segala fasilitas dalam pondok pesantren yang memungkinkan pencapaian tujuan umum tersebut.
3. Pembinaan/Penyelenggaraan Pondok Pesantren
Dalam melakukan hal ini kita harus memperhatikan sikap dasar pendiri/pimpinan pondok pesantren sendiri yang telah menetapkan policy dan strategi dalam Muktamar Ikatan Pesantren (Robithotul Mu'ahidil Islamiah) yang ke-1, Januari 1959, yaitu "Mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil hal-hal yang baru yang lebih baik." Jadi, tampaknya tidak mungkin kita paksakan suatu pembaruan (inovasi) yang bersifat radikal atas Pondok Pesantren kita. Segala usaha ke arah itu harus kita lakukan melalui pendekatan-pendekatan psikologis dan pedagogis. Pada dasarnya pembinaan yang kita inginkan adalah terletak pada intensifikasi dan ekstensifikasi dalam bidang pendidikan dan pengajaran Pondok Pesantren. Hal ini akan menyangkut masalah "POSDCORB", yaitu Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, dan Budgeting (Perencanaan, pengorganisasian, pembinaan staf, pengarahan, pengkoordinasian, pelaporan, dan anggaran belanja).
a. Masalah perencanaan (planning)
Kenyataan bahwa sebagian besar pondok pesantren belum mempunyai rencana jelas dalam pelaksanaan policy pendidikan dan pengajaran, maka perlu kita buat pola-pola perencanaan uniform yang prinsipil tidak mengurangi nilai dari kepemimpinan dalam pondok pesantren tersebut. Planning ini akan meliputi masalah-masalah/bidang-bidang:
1) Idiil: dasar dan cita-cita pondok pesantren perlu mendapatkan penegasan secara formal oleh karena sampai sekarang belum ada perumusan yang konkret yang disahkan, baik oleh Pemerintah maupun masyarakat pondok pesantren sendiri.
2) Operasional: menyangkut ketatalaksanaan, metodologi, serta pengembangan melalui kurikulum (minimum dan maksimum).
3) Fungsional: menyangkut rehabilitasi pondok pesantren dalam hubungannya dengan berfungsinya dalam masyarakat, karena terdapat gejala-gejala antara lain peyimpangan dari pondok pesantren menjadi semacam internet; surutnya pondok pesantren oleh karena Kiainya dipegawainegerikan dan sebagainya.
b. Masalah pengorganisasian (organizing)
Kenyataan menunjukkan bahwa Pondok Pesantren tidak memiliki keseragaman dalam struktur organisasi serta administrasi, dan bahkan tidak sama dalam tingkat keilmuan dan ke-takhashshushan keilmuan, maka hal ini perlu diadakan semacam guidance (petunjuk) yang berupa pola-pola struktur organisasi dan administrasi dasar yang dapat berlaku bagi pondok-pondok pesantren dalam segala jenis/kategori.
1) Pengkategorian Pondok Pesantren perlu diadakan untuk memudahkan peningkatan mutu dalam pendidikan/pengajaran-nya. Kategori tersebut dapat dilakukan sebagai berikut.
(a) Pondok Pesantren Modern sebagai teladan
(b) Pondok Pesantren takhassus:
(1) Takhassus ilmu alat
(2) Takhassus ilmu Fiqh/Ushul Fiqh
(3) Takhassus ilmu Tafsir/Hadis
(4) Takhassus ilmu Tasawuf/Tariqat
(5) Takhassus Qiroat Alquran
(c) Pondok Pesantren campuran (kombinasi)
Masing-masing Pondok Pesantren tersebut hendaknya dapat memberikan pendidikan/pengajaran agama yang bulat.
2) Struktur oganisasi hendaknya mempunyai pola dasar sama.
(a) Strukturnya sebagai berikut.
(1) Pimpinan tertinggi: Kiai beserta pembantu-pembantu-nya.
(2) Pengurus pondok terdiri dari: lurah, sekretaris, dan pembina-pembina dalam bidang-bidang tertentu seperti bidang ilmiah (pengajian/madrasah), administrasi, keuangan dan dana, kesejahteraan dan kesehatan, serta hubungan luar (public relation).
(b) Dewan Musyawarah yang anggota-anggotanya terdiri dari Kiai sebagai Ketua. Pembantu Kiai dan Pengurus keseluruhannya ditambah santri yang dipandang pantas menjadi anggota. Katakanlah misalnya, pengurus, berfungsi sebagai "Majelis Eksekutif' dan Dewan Musyawarah sebagai "Majelis Legislatif".
c. Masalah staffing
Staf pelaksana pendidikan/pengajaran Pondok Pesantren kecuali Pengurus Pondok, juga guru-guru madrasah. Masalah ini termasuk apa yang kita namakan "Pembinaan Personel". Pembinaan Personel ini dapat dilakukan dengan cara-cara:
1) Up grading/penataran, kursus-kursus, dan sebagainya.
2) Pengkaderan (untuk guru madrasah ataupun pengganti Kiai).
3) Pencakokan (dengan mengambil orang luar yang berilmu cukup sebagai badal Kiai).
d. Masalah pengarahan (directing)
Kenyataan menunjukkan bahwa masing-masing Pondok Pesantren berjalan menurut pengalaman atau kernampuan mereka sendiri-sendiri. Hal ini perlu ada pengarahan yang baik guna mencapai efisiensi yang menguntungkan anak didik (santri). Oleh karena itu, perlu direncanakan kurikulum sesuai dengan kategori Pondok Pesantren yang telah kami sebutkan di atas. Di samping adanya kurikulum madrasah yang ada. Suatu kurikulum bagaimanapun baiknya tidak akan berhasil dilaksanakan tanpa pelaksanaannya yang konsekuen. Pelaksana dalam hal ini ialah staf pelaksana/pengurus Pondok Pesantren dan terutama BP. Kiainya sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan-pendekatan dari pihak Pemerintah c.q. Departemen Agama untuk membina staf pelaksana tersebut dengan jalan apa pun, sehingga dengan demikian mereka bisa memahami pentingnya efisiensi dalam tugas mereka sebagai pendidik. Dalam hubungan ini maka system pembinaan personel yang telah disebutkan di atas sangat penting artinya.
e. Masalah pengkoordinasian (coordinating)
Sampai sekarang belum ada suatu usaha yang sungguh-sungguh dalam bidang ini. Kalau toh ada hanya bersifat federatif dari Pondok Pesantren sendiri seperti "Ikatan Pesantren Islam" yang lebih bersifat politis daripada pedagogis. Oleh karena itu, perlu adanya pembinaan melalui sistem koordinasi yang titik beratnya pada masalah perbaikan-perbaikan ilmiah dan pendidikan Pondok Pesantren kita. Koordinasi berarti penghimpunan yang bersifat kerja sama, bukan peleburan organisasi. Hal ini akan memudahkan pelaksanaan pembinaan Pondok Pesantren di segala bidang, misalnya dibentuk "Majelis Pembina Pondok Pesantren" yang berintikan para sarjana Islam/ Muslim dan bapak-bapak Kiai yang dipandang ber-gezag dan mampu. Majelis ini secara langsung bertanggung jawab kepada Menteri Agama. Majelis tersebut bertaraf nasional yang mempunyai susunan hierarkis ke bawah sampai ke daerah-daerah provinsi dan kabupaten di mana paling sedikit terdapat lebih dari dua buah Pondok Pesantren. Majelis bertingkat daerah berfungsi sebagai koordinator Pondok Pesantren di daerahnya yang bertugas membantu merealisasikan ide-ide Majelis Pembina Pondok Pesantren Pusat. Status Majelis Pembina Pusat ini:
1) Advisory (memberi saran-saran) mengenai kebijaksanaan Menteri Agama tentang pembinaan/penyelenggaraan Pondok Pesantren.
2) Pelaksana yang bertanggung jawab atas wewenang yang didelegasikan oleh Menteri Agama kepadanya.
Jadi, majelis tersebut dalam bidang perencanaan tentang pembinaan Pondok Pesantren berfungsi sebagai Badan Pembimbing dan Penyuluhan yang mempunyai kewibawaan moril atas pimpinan Pondok Pesantren di daerah-daerah. Dalam hubungannya dengan tugas majelis tersebut, bagian research memegang peranan sangat penting, karena hanya dengan research maka data-data objektif tentang Pondok Pesantren diperoleh yang selanjutnya dijadikan bahan penganalisaan yang akan menelurkan segala perencanaan tentang pembinaan Pondok Pesantren, administrasi, pengorganisasian, kurikulum, pembinaan personel dan materiil dan sebagainya adalah tugas utama majelis tersebut. Coor¬dinating juga perlu dilakukan oleh tiap Pondok Pesantren atas bagian-bagian organisasinya yang ada.
f. Pembuatan laporan (reporting)
Setiap Pondok Pesantren yang teratur administrasi dan organisasinya perlu memberikan laporan tahunan yang objektif mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan pembinaan Pondok Pesantrennya kepada instansi yang berwenang atau kepada majelis ini atau Yayasan Pengelola. Laporan yang demikian merupakan bahan yang berharga bagi kelengkapan data-data research yang pernah dilakukan atau yang akan dilakukan. Kecuali itu suatu laporan yang objektif juga merupakan bahan evaluasi tentang kehidupan Pondok Pesantren yang bersangkutan yang selanjutnya dapat dijadikan dasar-dasar perbaikan.
g. Anggaran belanja (budgeting)
Oleh karena Pondok Pesantren bersifat swasta, maka pembiayaannya bersumber pada kekayaan mereka sendiri yang pada umumnya berapa barang-barang wakaf, hibah, donasi-donasi dan iuran-iuran santri, dan sebagainya. Dalam hal ini tampak sifat self standing yang lain dari Pondok Pesantren, meskipun sifat tersebut kadang-kadang tidak kreatif, tapi lebih defendant pada kekayaan atau donasi-donasi. Sikap keberdikarian yang kreatif dari Pondok Pesantren harus diper-kembangkan dan perlu mendapat reinforcement moril dan material dari Pemerintah dalam arti tuntunan-tuntunan yang konstruktif. Hal ini menyangkut kepada bentuk-bentuk usaha-usaha keberdikarian yang memungkinkan dapat dikembangkan menjadi sumber-sumber budget/pembiayaan lebih lanjut, misalnya bimbingan kepada pengurus Pondok Pesantren tentang peternakan, pertanian yang baik, perikanan, perkoperasian dan tentang industri desa dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk tidak menghilangkan jiwa self help dan untuk tidak melemahkan pengaruh kharismatik leadership dari para Kiai, Pondok Pesantren tidak perlu dinegerikan. Penegerian Pondok Pesantren akan membawa akibat lenyapnya nilai-nilai tradisional serta ideal dari Pondok Pesantren itu sendiri.
C. KESIMPULAN
Sekali lagi perlu dikemukakan bahwa pembahasan topik tersebut didasarkan pada living-reality approach, sehingga penganalisaannya lebih bersifat praktis daripada teoritis. Hal demikian dimaksudkan untuk lebih memudahkan perencanaan pembinaan yang akan di-follow-up-kan. Sebenarnya faktor terpenting dalam suatu seminar adalah terletak pada bagaimana mem-follow-up-kan segala konsepsi yang telah dirumuskan. Dalam hubungan ini salah satu cara yang penting bagi follow-up tersebut ialah dengan membentuk Badan pelaksana konsep-konsep seminar yang kompeten dan konsekwen sebagai usul kami di atas yaitu Majlis Pembina Pondok Pesantren yang tugasnya memberi bimbingan dan penyuluhan dalam rangka pembinaan dalam bidang-bidang yang telah diuraikan di atas.
Kita telah berpengalaman mengikuti seminar-seminar seperti ini akan tetapi segala konsep-konsep atau keputusan yang telah diambil tidak nampak di follow-up-kan secara konsekwen, sehingga innovasi-innovasi ataupun rekonstruksi yang kita inginkan khususnya dalm bidang pendidikan Islam tidak kunjung muncul. Jadi kita masih tetap berada dalam keadaan statis, tidak dinamis kalau toh dinamis, tetapi dinamis yang lamban.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. 1995. Kapita Selekta Pendidikan(Islam Dan Umum). Jakarta: Bumi Aksara.
--------. 2008. Kapita Selekta Pendidikan Islam Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara.
Nata, Abudin. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Angkasa.
Steenbrink, Karel A. 1994. Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kamus Modern. Jakarta: LP3ES.
Madjid, Nurkholis. 1977. Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramidana.
Asrohah, Hanum. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos.
Hasbullah. 1996. Sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: LSIK.
Sabtu, 03 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar