Sabtu, 03 September 2011

MANTIK; HAKIKAT DAN SEJARAHNYA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Mantik yang dibimbing oleh: Bapak Drs. H. Nahrawi, M.Pd.

Disusun oleh :
NURKHOLIS


FAKULTAS AGAMA ISLAM

SEMSTER IV B

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG ( UMT )
Sekretariat : Jl. Perintis Kemerdekaan I / 33 Cikokol - Kota Tangerang - Banten 15118

TANGERANG

2011 M / 1432 H


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur kami penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat-Nya kepada kita semua selaku para hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita menuju terangnya Iman dan Islam, sehingga kami penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Alasan kami penulis memilih judul:"MANTIK; HAKIKAT DAN SEJARAHNYA" adalah agar kami lebih memahami tentang masalah Mantik; Hakikat dan Sejarahnya dan sebagai salah satu tugas kuliah pada semester IV B fakultas Agama Islam pada mata kuliah Ilmu Mantik.
Dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada :
1. Bapak. H. Ahmad Badawi S.Pd, M.M selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang.
2. Bapak Drs. H. Nahrawi, M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Mantik.
3. Rekan-rekan seperjuangan dalam menuntut ilmu di Kampus Universitas Muhammadiyah.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami penulis khususnya dan rekan-rekan mahasiswa umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu segala kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan diskusi atau pun ilmu pengetahuan kami selanjutnya dimasa yang akan datang.

Tangerang, 02 Juli 2011 M

30 Rajab 1432 H

Penyusun




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………..1
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………………1
D. Sistematika Penulisan…………………………………………………………………2

BAB II MANTIK; HAKIKAT DAN SEJARAHNYA …………………………………...3
A. Hakikat Mantik………………………………………………………………………..3
B. Sejarah Mantik………………………………………………………………………..5

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………….9
A. Kesimpulan………………………………………………………………………......9
B. Saran…………………………………………………………………………………9

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................10










BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menuju keharusan ijtihad guna mengiringi gerak zaman memaksa kita untuk
mengkaji semua perangkat yang mendukung sahnya sebuah ijtihad. Sebab
ijtihad, yang disebut ahli ushul sebagai pengerahan segenap upaya (bazlul
majhud) untuk menyimpulkan hukum syara' dari sumber-sumber aslinya, bukan
perkara mudah. Paling tidak, upaya ini memaksa kita untuk mengkaji ulang
furu' dan ushul fiqih kita, bahkan pola pikir yang mendasari produk
pemikiran ini. Salah satunya adalah pembahasan tentang mantik sebagai
aturan-aturan berpikir yang, diakui atau tidak, berpengaruh sangat besar
dalam proses penyimpulan hukum. Berikut ini diskusi antar generasi yang
terpisahkan jarak ratusan tahun, dengan Al Ghazali dan Ibn Taymiah sebagai
aktor pelakunya.

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang dapat kami penulis rumuskan adalah sebagai berikut :
1. Apa itu Hakikat Mantik?
2. Apa itu Sejarah Mantik?

C . Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Hakikat Mantik.
2. Untuk mengetahui Sejarah Mantik .



D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini dibagi menjadi 3 bab, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II MANTIK; HAKIKAT DAN SEJARAHNYA
Mantik; Hakikat dan Sejarahnya berisi uraian tentang Hakekat Mantik dan Sejarah Mantik.
BAB III PENUTUP
Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka berisi referensi kami penulis dalam menyusun makalah ini.














BAB II
MANTIK; HAKIKAT DAN SEJARAHNYA
A. Hakikat Mantik
Salah satu perbedaan manusia dari binatang adalah kemampuannya untukmengabstraksi sesuatu. Yakni, ketika inderanya mencerap suatu benda, akal bekerja melepaskan benda itu dari sifat-sifat material, lalu membandingkannya dengan benda-benda lain yang serupa dengannya dan memproduksi sebuah konsep bersama. Akal terus menerus mengabstraksi hingga mencapai sebuah konsepsi universal paling abstrak (basith) yang mewadahisemua wujud. Ketika ia melihat manusia, misalnya, imajinasinya mengabstraksi benda itu menjadi sebuah spiecies (nau') yang menaungi semua manusia yang lain. Ia kemudian membandingkan konsep ini dengan konsep binatang, lalu mengabstraksinya menjadi sebuah genus (jenis) yang menaungi keduanya. Proses abstraksi ini berlanjut ketika ia membandingkannya dengan konsep tumbuhan, demikian seterusnya hingga mencapai genus tertinggi yang disebut substansi (jauhar). Pada saat itu, akal berhenti mengabstraksi. Ahli mantik berkata bahwa pengetahuan yang dicapai manusia hanya dua macam, yakni tashawwur (pengetahuan konseptual),tanpa menetapkan hukum apa-apa atasnya, dan tashdiq (pengetahuan relasional) antara dua hal dengan menetapkan penilaian benar atau salah. Atas dasar ini, aktifitas berpikirmanusia hanyalah menyusun satu persatu konsepsi universal (kulliyyat) di otaknya untuk menghasilkan konsepsi universal baru yang sesuai dengan realitas, atau menilai sesuatu dengan sesuatu lainnya. Aktifitas berpikir ini bisa keliru dan bisa juga benar. Maka dibutuhkan sebuah aturan-aturan berpikir tertentu untuk menjaga akal dari kekeliruan berpikir. Dan kumpulan aturan-aturan berpikir itu disebut mantik (logika).
B. Sejarah Mantik
Sebenarnya, Aristoteles bukan orang pertama yang menyusun aturan-aturan berpikir ini, sebab sebelumnya Socrates dan Plato pernah berbicara tentang hal ini. Namun karena Aristoteles adalah orang pertama yang mengumpulkan danmenyusunnya, menetapkannya sebagai kunci ilmu pengetahuan serta menulisnya dalam sebuah karya, ia digelari sebagai "guru pertama". Organon, bukunya tentang mantik, terdiri dari delapan bagian: Categoria (membahas tentang genus dan bagian-bagiannya), Hermeneutika (tentang proposisi), Sylogisme (tentang qiyas), Demonstrasi (tentang qiyas yang menyimpulkan keyakinan), Dialektika (ilmu debat),Sofistika (qiyas yang menyesatkan), Retorika (seni agitasi massa) dan Poetica (seni menyusun kata-kata puitis). Pada masa penerjemahan literatur asing atas perintah Khalifah Al Makmun (w.218 H), buku-buku ini menarik perhatian banyak cendikiawan muslim pada saat itu hingga beberapa dekade setelahnya. Abu Nashr Al Farabi, Abu Ali Ibn Sina dan Ibn Rusyd menulis berbagai komentar dan penjelasan tentang cabang ilmuini. Kemudian datang generasi selanjutnya yang menyempurnakan ilmu ini
dengan memandangnya sebagai ilmu tersendiri, bukan hanya ilmu alat (organon), dengan menambah yang kurang dan membuang yang tidak perlu. Orang pertama yang melakukan ini adalah Imam Fajruddin bin Al Khatib laluAfdhaluddin Khawanji. Proyek mereka sungguh sukses sehingga berhasil menenggelamkan karya tokoh-tokoh sebelumnya danmengalahkan metode mereka.
Al Ghazali dan Mantik
Sejak awal kehadirannya di dunia Islam, mantik menyalakan perdebatan sengit
di kalangan para ulama, terutama ahli kalam. Mereka sangat anti kepada
mantik dan melarang manusia untuk mempelajarinya. Ibn Khaldun berkata bahwa
antipati ini lahir karena persinggungan prinsip ilmu kalam dengan mantik
yang melahirkan pilihan: terima mantik maka tinggalkan kalam atau terima
kalam maka tinggalkan mantik. Padahal, ilmu kalam adalah ilmu dasar yang
bertugas menetapkan akidah islamiah menyangkut keesaan Allah dan kebaharuan
alam semesta. Bahkan Al Qadhi Abu Bakar Al Baqillani menyatakan bahwa
prinsip-prinsip ilmu kalam adalah bagian dari akidah. Menyerangnya sama
dengan berusaha menghancurkan sendi-sendi akidah islamiah. Kemudian datang Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghazali (w. 505 H) yang mendamaikan keduanya. Kharisma dan argumentasinya berhasil mengakhiri perdebatan ini dan membuat ilmu mantik diterima di kalangan sunni. Mesk iterkenal sebagai musuh besar filsafat, bahkan berhasil membuatnya pingsan dengan Tahafut ul Falasifah-nya, Al Ghazali sangat menyayang anak kandungfilsafat ini. Ia menulis beberapa karya tentangnya, antara lain Mi'yar ul-
'Ilm, Al Mankhul, Mihak un-Nazhar, beberapa lembar di mukaddimah Al
Mustashfa dan secara tersirat dalam dialog dengan seorang penganut Syiah
Ismailiah di Al Qisthas ul-Mustaqim.
Berikut sedikit ringkasan tentang mantikala Al Ghazali yang bisa penulis tampilkan pada kesempatan kali ini. Seperti Al Farabi dan Ibn Sina, Al Ghazali berpendapat bahwa mantik adalah aturan-aturan berpikir yang berfungsi meluruskan akal dalam menarik kesimpulan dan membebaskannya dari campuran prasangka dan imajinasi. Tugas utama mantik dengan demikian adalah menjaga akal dari kesalahan berpikir. Mantik bagi akal sepadan dengan posisi nahwu bagi bahasa Arab dan ilmu 'Arud
bagi ritme puisi (syair). Meminjam analogi Al-Farabi, mantik bagi akal
ibarat neraca dan takaran yang berfungsi mengukur bobot benda yang tak bisa
diketahui ukurannya dengan tepat jika hanya menggunakan indera. Atau ibarat
penggaris untuk mengukur panjang dan lebar sesuatu yang indera manusia
sering keliru dalam memastikannya. Al-Ghazali bahkan menegaskan bahwa mantik merupakan mukaddimah (organon) seluruh ilmu bukan hanya pengantar filsafat. Maka barangsiapa yang tidak menguasai mantik, seluruh pengetahuannya rusak dan diragukan.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, pengetahuan manusia terbagi dua, yaitu
tashawur dan tashdiq. Pengetahuan tashawur terbagi dua: pertama, pengetahuan
yang telah ada di otak manusia sejak awal (apriori) sehingga pengetahuan
tentangnya tidak membutuhkan penjelasan panjang lebar. Contoh, pengetahuan
tentang makna "ada", "banyak" dan beberapa benda-benda inderawi lainnya.
Kedua, pengetahuan tentang konsep-konsep samar yang memerlukan penjelasan
lebih lanjut. Untuk yang kedua ini diperlukan sebuah definisi (had/ta'rif)
yang memperjelas makna kata tersebut.
Sementara itu, pengetahuan tashdiq juga terbagi menjadi dua: relasi aksiomatik (musallamah) yang kebenarannya tidak perlu pembuktian dan relasi hipotetik (nazhariah) yang harus dibuktikan kebenarannya. Alat pembuktian itu disebut demonstrasi (sylogisme). Dengan demikian, pokok bahasan mantik tersimpul pada empat komponen, yaitu pembahasan tentang tashawwur, had (definisi), tashdiq dan sylogisme. Di atas kita telah membahas tentang makna tashawwur dan tashdiq, maka pembahasan berikutnya adalah tentang had dan sylogisme.
1. Definisi (Had)
Ahli mantik sepakat bahwa definisi menghasilkan pengetahuan hakikat sesuatu
dan tanpanya pengetahuan tashawwur tidak bisa didapatkan. Untuk membuat
sebuah definisi sempurna, harus diperhatikan beberapa aturan (qanun)
penting berikut ini. Aturan pertama, definisi adalah jawaban untuk sebuah
pertanyaan. Karena bentuk pertanyaan yang dilontarkan bermacam-macam, maka
jawabannya pun bermacam-macam pula, sehingga mempengaruhi bentuk definisi.
Memahami bentuk pertanyaan dengan demikian menentukan kualitas sebuah
jawaban, maka pembahasan tentang bentuk-bentuk pertanyaan harus dikuasai
terlebih dahulu. Pertanyaan "apa" menuntut tiga hal: penjelasan kata (apa
itu reformasi? Reformasi adalah pembentukan kembali), penjelasan tentang
uraian sesuatu yang membedakannya dengan sesuatu yang lain dengan ciri-ciri
lazimnya (apa itu khamr? Khamr adalah benda cair yang berbusa), dan
penjelasan hakikat serta essensi sesuatu (apa itu khamr? Khamr adalah
minuman memabukkan yang dibuat dari perasan anggur).
Definisi pertama disebut definisi lafzhi, sebab hanya menjelaskan makna kata. Kedua disebut rasmi, sebab hanya menjelaskan ciri eksternal (rasm) sesuatu, bukan
hakikatnya. Dan yang ketiga disebut definisi hakiki, sebab ia menjelaskan
hakikat dan essensi sesuatu dengan mendalam. Pertanyaan 'mengapa' menuntut
pembuktian dengan sylogisme yang akan dijelaskan nanti. Dan pertanyaan 'yang
mana' meminta pemilahan antara dua hal yang hampir serupa. Pertanyaan dengan
"bagaimana", "dimana", "kapan" dan bentuk-bentuk lain termasuk dalam
penjelasan dari pertanyaan "apakah"' yakni menuntut penjelasan tentang sifat
sesuatu. Aturan kedua, seorang pembuat definisi harus bisa membedakan antara sifat
essensial (dzati), aksidental ('aridh) dan lazim dari sesuatu. Sifat essensial (dzati) adalah sifat yang masuk dalam essensi dan hakikat sesuatu, tidak mungkin sesuatu itu dipahami tanpa menyertakan sifat ini. Contoh sifat essensial adalah makna "warna" yang dipahami dari kata "hitam", dan makna "benda" dari kata "pohon", misalnya. Sifat lazim adalah sifat yang selalu menyertai benda namun pemahaman hakikat benda itu tidak tergantung padanya.
Seperti bayangan yang menyertai fostur manusia ketika matahari terbit. Memahami hakikat manusia bisa dilakukan tanpa menyertai kata bayangan sedikitpun. Sifat aksidental ('aridh) adalah sifat yang harus menyertai benda namun bisa hilang cepat atau lambat. Untuk menyusun sebuah definisi yang logis, diperlukan sifat essensial untuk menjelaskan hakikat sesuatu. Sifat essensial terbagi menjadi umum, selanjutnya disebut genus (jins), dan khusus, selanjutnya disebut spesies (nau'). Makhluk adalah genus untuk kata manusia, binatang dan tumbuhan. Selanjutnya, manusia adalah genus untuk kata Usman, Fatimah dan lain-lain.
Aturan ketiga, dalam membuat definisi logis, pertama kali yang harus Anda
lakukan adalah memasukkan semua komponen definisi, yakni genus dan
differensia (fashal). Contoh, manusia adalah hewan (genus) yang berpikir (differensia). Kedua, Anda harus inventaris sifat-sifat essensial dari obyek yang hendak didefinisikan. Ketiga, jika Anda menemukan genus yang dekat, jangan pilih yang lebih jauh. Contoh, genus terdekat untuk khamar adalah minuman, maka jangan pilih kata benda cair untuk mendefinisikannya. Keempat, hindari sebisa mungkin kata-kata samar dan kiasan. Singkatnya,sebuah definisi yang baik harus terbuka-tertutup (muththarid wa mun'akis), yakni terbuka untuk semua entitas dari sesuatu yang hendak didefinisikan (kulli fardin min afrad al mu'arraf) dan tertutup untuk selain entitas-entitas itu.
2. Sylogisme
Ahli mantik sepakat bahwa sylogisme adalah satu-satunya jalan mencapai
pengetahuan tashdiq dan melahirkan pengetahuan meyakinkan. Sylogisme adalah
beberapa proposisi yang disusun sedemikian rupa dengan syarat-syarat
tertentu sehingga melahirkan kesimpulan (natijah) yang dicari. Proposisi ini
disebut premis (muqaddimah), ysng terbagi dua menjadi mayor (muqaddimah
kubra) dan minor (muqaddimah shughra). Sylogisme yang baik adalah yang
tersusun dari premis-premis sahih dan meyakinkan, serta disusun dengan cara
yang benar. Ibarat membangun sebuah rumah, yang harus diperhatikan pertama
kali adalah bahan material (batu, semen dan kayu) yang membentuk rumah itu,
kemudian cara pembuatannya dan terakhir bentuk rumah tersebut. Begitu juga
dalam membangun sebuah sylogisme, yang harus diperhatikan pertama kali
adalah kata dan makna yang menjadi materi premis, kemudian cara penyusunan
premis-premis yang sah, lalu bentuk sylogisme yang dapat menghasilkan
kesimpulan. Maka pembahasan sylogisme ini akan dimulai dengan pembahasan
tentang makna dan kata, dilanjutkan dengan pembahasan tentang cara
penyusunan premis dan terakhir pembahasan tentang bentuk-bentuk sylogisme.
a. Makna dan Kata
Penunjukan kata untuk makna terjadi dalam tiga bentuk: muthabaqah, tadhdmmun
dan iltizam. Kata rumah disebut muthabaqah jika merefers kepada makna rumah secarakonvensional. Disebut tadhammun jika kata tersebut merefers kepada atap saja, misalnya. Dan relasi sebuah kata dengan makna disebut iltizam jika kata tersebut merefers kepada hal yang diluar pengertian kata itu namun sesuatu yang selalu mengiringinya. Seperti menyebut kata atap untuk menunjuk tembok. Relasi kata dan makna yang lain adalah sebuah kata disebut mu'ayyan jika hanya merujuk kepada satu obyek tertentu, namun jika merujuk kepada banyak obyek disebut mutlaq. Contoh mu'ayyan, kata Zaid, Ahmad dan lain-lain.
Contoh mutlaq, kata manusia, pohon dan seterusnya. Pembagian kata yang lain adalah mutaradifah, mutabayinah, mutawathiah dan musytarakah. Hubungan antara kata "bisa" dan "racun" disebut mutaradifah (sinonim). Hubungan antara kata "singa", "langit", "kunci" disebut mutabayinah (tak ada kesamaan). Hubungan antara kata "Zaid", "Ahmad", "Hasan" dengan kata laki-laki disebut mutawathiah (hiponimi). Hubungan antara kata "bisa" yang berarti racun dan kata "bisa" yang berarti mampu disebut musytarakah (homonim).
b. Proposisi
Penyusunan dua makna yang melahirkan justifikasi benar-salah disebut
proposisi (qadhiyah). Proposisi terbagi empat: ta'yin (contoh, Zaid seorang
sekretaris), umum (contoh, setiap benda pasti berbobot), khusus (contoh,
sebagian manusia berilmu) dan muhmal (contoh, manusia dalam kerugian).
c. Kontradiksi
Suatu proposisi kadang dengan mudah disimpulkan kebenarannya hanya dengan
melihat kelirunya proposisi yang menjadi lawannya. Contoh, alam ini kekal atau alam ini tidak kekal. Jika proposisi yang pertama benar, maka yang kedua salah, demikian sebaliknya. Syarat sahnya kontradiksi ada enam, yaitu satu dalam subyek, satu dalam predikat, satu dalam relasi (idhafah), satu alam potensi dan aktual, satu dalam universal dan partikular, satu dalam
tempat dan waktu.
d. Macam-macam Qiyas (Sylogisme)
Ahli mantik berkata bahwa dalil yang menghasilkan pengetahuan hanya tiga,
yaitu deduksi, induksi dan penyerupaan (tamtsili). Sebab pembuktian hanya
bisa dilakukan dengan pembuktian universal atas particular (kulli 'ala juz'i), partikular atas universal (juz'i 'ala kulli) dan partikular atas particular (juz'i 'ala juz'i). Yang pertama disebut deduksi (menempati peringkat pertama dalam pembuktian). Yang kedua disebut induksi (menempati peringkat kedua). Dan yang ketiga disebut penyerupaan (menempati peringkat terendah). Qiyas penyerupaan adalah perpindahan dari satu particular ke particular lain yang memiliki keserupaan dalam sifat dengannya. Qiyas ini sering digunakanpara fuqaha dalam menyimpulkan hukum syar'i atas sesuatu. Jika seseorangbertanya, "Apa itu roti," lalu diperlihatkan kepadanya sebuah roti, maka selanjutnya ia akan menyebut roti untuk sesuatu yang serupa dengan yang ia lihat itu, meski bentuk dan warnanya berbeda. Induksi terbagi dua: jika bagian-bagiannya (al afrad) terbatas sehingga bisa diteliti semuanya maka induksi ini sempurna dan melahirkan pengetahuan meyakinkan. Namun jika bagian-bagiannya takterbatas sehingga hanya menetapkan hukum atas sebagian besarnya, maka disebut induksi tidak sempurna dan tidak menghasilkan keyakinan (zhan). Terakhir deduksi, jika premis-premisnya terdiri dari materi meyakinkan dengan bersandarkan kepada dalil-dalil aksiomatik (yaitu inderawi lahir, perasaan batin, ekperimental, berita mutawatir dan kepastian rasional),
menghasilkan kesimpulan meyakinkan. Qiyas ini disebut demonstrasi (burhan).
Jika tidak, maka salah satu dari retorika (khithabi), dialektika (jadali),
poetika (syi'ri) atau sofistika (sufusthah).
e. Bentuk demonstrasi
Bentuk demonstrasi ada tiga: Bentuk pertama, yakni proposisi yang saling
sepadan (ta'adul) terdiri dari tiga skema; Pertama, illat (kopula) berada di predikat (premis I) dan di subyek (premis II).
Setiap bir memabukkan.
Setiap yang memabukkan hukumnya haram
Kesimpulan : Setiap bir hukumnya haram

Kedua, illat berada di predikat kedua premis.
Sang Pencipta tidak tersusun
Setiap benda tersusun
Kesimpulan : Sang Pencipta bukan benda

Ketiga, illat berada di subyek kedua premis.
Setiap hitam adalah sifat
Setiap hitam adalah warna
Kesimpulan : Sebagian sifat adalah warna

Bentuk kedua, yaitu proposisi yang saling menentukan (talazum). Pakar logika
menyebutnya syarat bersambung (syarti al muttashil). Bentuk ini terdiri dari
empat skema, namun hanya dua yang berkesimpulan. Keduanya adalah:

Pertama, menerima sebab berarti menerima akibat.
Jika shalat sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu)
Shalat itu sah
Kesimpulan : pelakunya suci

Kedua, menerima negasi akibat berarti menerima negasi sebab.
Jika shalat sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu)
Pelakunya tidak suci
Kesimpulan : shalatnya tidak sah

Kedua skema yang tidak berkesimpulan adalah:
Pertama, menerima akibat belum tentu menerima sebab.
Jika shalat sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu)
Pelakunya suci, tapi belum tentu shalatnya sah (sebab boleh jadi shalat itu batal karena hal lain).
Kedua, menerima negasi sebab, belum tentu menyimpulkan akibat atau negasi akibat.
Jika shalat sah, maka pelakunya suci (telah berwudhu)
Shalatnya tidak sah, belum tentu karena pelakunya tidak suci.

Bentuk ketiga, disebut bentuk saling menentang (ta'anud). Pakar logika
menyebutnya syarat terpisah (syarti al munfashil), sementara ahli kalam
menyebutnya Sabr wa Taqsim. Bentuk ini juga terbagi menjadi empat
pengandaian:
Contoh: Alam ini kekal atau diciptakan
Pengandaian pertama: Alam ini diciptakan
Kesimpulan: Alam ini tidak kekal

Pengandaian kedua: Alam ini kekal
Kesimpulan: Alam ini tidak diciptakan

Pengandaian ketiga: Alam ini tidak diciptakan
Kesimpulan: Alam ini kekal

Pengandaian keempat: Alam ini tidak kekal
Kesimpulan: Alam ini diciptakan

f. Mantik di Dalam Al Qur'an?
Menariknya, Abu Hamid al Ghazali mengatakan bahwa Al Qur'an menggunakan tiga
cara penyimpulan logis ini (ta'adul, talazum dan ta'anud) dalam menjawab
argumentasi penentangnya. Sang Hujjatul Islam menamakan ketiganya dengan
'Neraca Al Qur'an' (mizan Al Qur'an), serta menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an
yang menyebut mizan dengan model pembuktian logis ini. Untuk neraca ta'
anud, Al Ghazali mengajukan tiga ayat yang sekaligus menandai tiga bentuk
skemanya. Ayat pertama, ucapan Ibrahim As ketika berdebat dengan Namruz,
"Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka (jika kau Tuhan)
terbitkanlah dari barat!" (Qs Al Baqarah [2]: 258). Al Ghazali kemudian
merangkainya dalam bentuk burhan, ia berkata:

Setiap yang mampu menerbitkan matahari adalah tuhan (premis I)
Allah mampu menerbitkan matahari (premis II)
Kesimpulan: Allah tuhan

Al-Ghazali menamakan skema pertama dari neraca ta'adul ini dengan neraca
besar. Berikutnya adalah neraca pertengahan, yaitu terdapat dalam ayat (masih tentang Ibrahim As, kali ini ketika ia mencari tuhan lalu kebetulan melihat bulan), "Ketika bulan itu terbenam, ia berkata aku tak suka sesuatu yang tenggelam." (Qs Al An'am [6]: 7) Uraiannya sebagai berikut:
Bulan tenggelam
Tuhan tidak mungkin tenggelam
Kesimpulan: Bulan bukan tuhan
Skema terakhir dari neraca ta'adul adalah neraca kecil, yaitu terdapat dalam firman Allah, "Mereka tidak menghargai Allah dengan seharusnya ketika mereka berkata Allah tidak menurunkan (wahyu) apapun kepada manusia. Katakanlah, 'Lalu siapa yang menurunkan Kitab kepada Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia?'" Uraian logisnya sebagai berikut:
Musa As manusia
Musa As menerima wahyu (Al Kitab) dari Allah
Kesimpulan: Sebagian manusia ada yang menerima wahyu

Neraca talazum terdapat dalam ayat, "Jika ada tuhan selain Allah, niscaya langit dan bumi akan hancur." (Qs Al Anbiya [21]: 22). Rinciannya:
Jika di dunia ini ada tuhan lain, maka dunia akan hancur
Nyatanya dunia tidak hancur
Kesimpulan: Tidak ada tuhan lain

Terakhir, neraca ta'anud terdapat dalam ayat, "Katakanlah (wahai Muhammad),
'Siapa yang memberi rizki kepada kalian dari langit dan bumi?' katakanlah,
'Allah, dan kami atau kalian yang mendapat petunjuk atau dalam kesesatan
yang nyata.'" (Qs Saba [34]: 24). Uraiannya adalah:
Kami atau kalian (salah satu dari kita) berada di dalam kesesatan
Kami tidak dalam kesesatan
Kesimpulan: Kalian berada dalam kesesatan

Perhatikan bagaimana Al Ghazali menempatkan mantik bukan sebagai warisan
tradisi Hellenistik, tetapi merupakan bagian inheren dari Al Qur'an. Maka
jangan heran jika kemudian hari Hujjatul Islam ini memfatwakan bahwa
mempelajari ilmu mantik sebuah fardhu kifayah, dan barangsiapa tidak
menguasai ilmu ini pengetahuannya patut diragukan.
Ibn Taymiah dan Kritik Mantik
Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah Ibn Taymiah
lahir di Haran pada Rabi' ul Awal 661 H. Pada tahun 667 H, ayahnya
membawanya ke Damaskus ketika bangsa Tartar menyerbu Haran. Di kota ini, ia
mempelajari hadis, fiqih, ushul, tafsir bahkan juga fiksafat dan logika.
Allah menganugerahinya banyak buku, kecerdasan dalam memahami sesuatu serta
hafalan kuat sehingga tidak pernah melupakan sesuatu yang pernah dihafalnya.
Selain itu, ia juga seorang zuhud dan ikhlas dalam memerintahkan kebaikan
dan melarang kemunkaran. Persengketaan yang terjadi antara dirinya dan para
pendengki membuahkan penahanan dirinya di benteng (qal'ah) Damaskus, dekat
makam Abu Darda. Setelah beberapa hari menderita sakit dipengasingannya,
pada tahun 728 H beliau meninggal dunia lalu dimakamkan di pekuburan Shufiah
dengan diiringi ribuan manusia. Ibn Taymiah terkenal sebagai ulama yang sangat keras mempertahankan sunnah dan menentang bid'ah. Termasuk dalam hal ini adalah penentangannya terhadap mantik sebagai produk pemikiran Yunani yang bertentangan dengan tradisi para salaf saleh. Buku-bukunya tentang hal ini antara lain adalah Naqdh
ul-Mantiq, Ar-Rad 'ala Manthiqiyyin dan Nashihat Ahl il-Iman fir Radd 'ala
Mantiq il-Yunan. Dalam tulisan kali ini, saya akan memfokuskan pembahasan
kritik mantik Ibn Taymiah kepada satu pengantar, yaitu pernyataan bahwa
hukum mempelajari mantik adalah fardhu kifayah, dan dua bahasan pokok yang
berkenaan dengan definisi dan sylogisme.
a. Pengantar: Mantik Wajib Dipelajari?
Penegasan Al Ghazali yang menyatakan bahwa hukum mempelajari mantik fardhu
kifayah menyulut kritikan dari berbagai ulama hingga berabad-abad kemudian.
Abu Bakar Ibn Al 'Arabi, murid Al Ghazali sendiri, mengomentari, "Al
Ghazali, guru kita, menelan filsafat lalu mencoba memuntahkannya kembali,
namun ia tidak bias. Abu Amr Ibn Shalah menolak pendapat Al Ghazali dan
mengatakan bahwa setiap orang yang otaknya cerdas otomatis berpikirnya logis
tanpa harus belajar mantik. Berdiri dalam barisan penolak ini, Ibn
Taymiah berkata, "Pendapat Abu Hamid (Al Ghazali) ini salah besar, baik
dilihat dari segi rasional maupun agama. Dari segi rasional, terbukti bahwa
manusia-manusia cerdas yang berbicara tentang ilmu bisa menguraikan
pengetahuan mereka tanpa mantik Yunani. Secara agama, siapapun tahu bahwa
agama tidak pernah mewajibkan kita untuk mempelajari mantik.

Ibn Taymiah juga menyalahkan penafsiran kata al mizan dalam Al Qur'an dengan
mantik Yunani dengan beberapa alasan. Pertama, Allah telah menurunkan Neraca
Qur'ani jauh sebelum Aristoteles menemukan mantik. Kedua, umat Islam telah
menggunakan Neraca Qur'ani ini sebelum buku-buku mantik diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Ketiga, sejak masa penerjemahan buku-buku ini hingga
sekarang, tokoh-tokoh Islam selalu mengajukan keberatannya terhadap mantik
dan menulis bantahan-bantahan terhadapnya. Neraca yang Allah turunkan
bersama Al Kitab itu, menurut Ibn Taymiah, adalah neraca keseimbangan (mizan
'adilah) yang memuat aktualisasi fitrah manusia yang menyamakan dua hal yang
mirip satu sama lain (mutamatsilain) dan memisahkan dua hal yang berbeda
(mukhtalifain). Sebagai contoh, firman Allah, "Apakah kalian mengira bahwa
kalian akan masuk surga padahal kalian belum menemui (kesulitan) seperti
umat sebelum kalian?" (Qs Al Baqarah [2]: 214) dalam menyamakan antara
generasi saat ini dengan generasi sebelumnya. Dan Allah berfirman, "Apakah
(kalian mengira) bahwa Kami akan memperlakukan orang-orang yang beriman
seperti para durjana?" (Qs Al Qalam [68]: 35) dalam membedakan antara kedua
golongan yang berbeda ini.
b. Bantahan Terhadap Definisi
Benarkah pengetahuan tashawwuri tidak bisa diperoleh tanpa definisi logis
dengan lima universalitasnya (kulliyat al khams), yakni genus (jins),
differensia (fashl), species (nau'), aksiden umum ('ardh 'am) dan aksiden
khusus ('ardh khash)? Ibn Taymiah mengajukan 11 kritik untuk membantah
pernyataan ini. Pada kesempatan kali ini, saya hanya akan mencantumkan empat
dari sebelas kritik itu.
1. Penegasian (nafy), seperti juga penetapan (itsbat), jika bukan
aksiomatik harus dilandasi bukti. Karena tidak ada bukti yang mendukungnya,
maka pernyataan ini wajib ditolak.
2. Jika definisi adalah ucapan seorang pembuat definisi, maka ia telah
mengetahui benda yang akan didefinisikan ini lewat definisi atau tidak. Jika
ya, maka mewajibkan argumentasi berputar (daur) dan berantai (tasalsul) yang
tidak akan habis. Jika tidak, maka batal ucapan negasi mereka.
3. Konsepsi hakikat tidak bisa dilakukan kecuali lewat definisi hakiki
yang terdiri dari essensi universal (musytarakah) dan terpilah (mutamayyizah), yakni yang tersusun dari genus dan defferensia, dan ini mustahil atau sangat sulit sebagaimana pengakuan mereka sendiri. Dengan demikian, mustahil atau sangat sulit mengkonsepsikan hakikat, padahal terbukti hakikat itu bisa dikonsepsikan manusia, maka batallah pernyataan
mereka.
4. Benda-benda konseptual bisa diketahui dengan indera lahir (seperti
warna, rasa dan bau) atau dengan indera batin (seperti lapar, cinta, benci,
keinginan dan lain-lain). Semua ini bisa diketahui tanpa memerlukan definisi. Jadi, batal pernyataan mereka bahwa konsepsi (tashawwur) tidak bisa dicapai tanpa definisi. Persoalan berikutnya, benarkan definisi menghasilkan pengetahuan tentang hakikat sesuatu? Menurut Ibn Taymiah, definisi tidak memberikan pengetahuan tentang hakikat, akan tetapi hanya membedakan sesuatu dari lainnya. Definisi seperti nama, hanya membedakan seseorang dari orang lain tanpa menjelaskan hakikatnya. Untuk ini, Ibn Taymiah mengajukan beberapa bukti 1. Definisi hanyalah pernyataan pembuatnya tanpa bukti. Ketika seseorang berkata, "Manusia adalah hewan yang berpikir", ini hanya kalimat informatif tanpa bukti. Maka sudahkah pendengar mengetahui kebenarannya tanpa ucapan ini atau belum? Jika sudah, definisi ini tidak menghasilkan pengetahuan tentang sesuatu itu. Jika belum, bagaimana ia bisa meyakini kebenarannya hanya berdasarkan informasi satu orang yang tidak terjaga dari
kesalahan?
2. Mereka berkata bahwa definisi tidak bisa dibuktikan, hanya bisa
ditentang. Jawab: jika seorang pembuat definisi tidak mengajukan bukti,
pendengar bisa saja tidak menerima definisi itu. Sebab ia tidak bisa
mengetahui sesuatu yang didefinisikan itu tanpa ucapannya, sementara
ucapannya mengandung kemungkinan benar dan salah, maka ia bisa menolak
menerimanya. Sumber kesalahan ahli mantik yang lain adalah pemilahan antara hakikat dan wujud sesuatu. Menurut mereka, keduanya ada di alam nyata. Jadi,
hakikat-hakikat universal dari benda-benda parsial, seperti manusia, kuda
dan lain-lain, adalah realitas sebagaimana wujudnya yang kita lihat ini.
Realitas-realitas ini azali dan tidak bisa berubah, inilah yang mereka sebut
sebagai "ide-ide platonis". Menurut Ibn Taymiah, ini pemilahan yang sangat
keliru. Pemilahan yang benar adalah pemilahan antara abstraksi yang ada di
otak manusia dengan benda yang ada di alam nyata, sebab pemilahan ini tak
diragukan kebenarannya. Dan hakikat berada di alam nyata, bukan di benak
manusia (al haqiqah fil a'yan la fil azhan). Sementara memperkirakan adanya
hakikat yang tidak didukung dalil ilmiah dan realitas hanyalah sebuah
kebodohan.
c. Bantahan Terhadap Sylogisme
Menurut Ibn Taymiah, sylogisme tidak menghasilkan apa-apa selain kerumitan
dan kepusingan. Seperti orang yang ditanya, "Mana telingamu?", ia lalu
mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi kemudian menunjukkan telinga
kirinya. Meski begitu, Ibn Taymiah mengakui bahwa sebuah sylogisme yang
terdiri dari premis-premis meyakinkan (atau disebut demonstrasi [burhan])
menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Kritik Ibn Taymiah hanya ditujukan
kepada pernyataan mereka bahwa sylogisme satu-satunya cara mencapai
kesimpulan meyakinkan dengan menafikan cara-cara lainnya. "Mereka benar
dalam apa yang mereka tetapkan, namun keliru dalam apa yang mereka
negasikan," demikian Ibn Taymiah, "dan negasi mereka inilah sumber kesesatan
dan kefasikan mereka. Ibn Taymiah kemudian menyebutkan bukti-bukti kelirunya pernyataan ini. Ia menyebutkan bahwa para nabi dan para wali memiliki pengetahuan yang merekaperoleh tanpa jalan sylogisme. Begitu juga, ilmu firasat yang terbukti kebenarannya, diperoleh tanpa sylogisme. Bagi orang tertentu, terbit bintang tertentu menunjukkan arah Ka'bah, terbitnya bintang ini menunjukkan tenggelam atau terbitnya bintang lain di ufuk, dan lain-lain. Allah berfirman, "Dan dengan bintang, mereka mendapatkan petunjuk." Juga, bagi orang yang mengetahui jarak antar bintang, melihat posisi bintang memberitahunya waktu malam yang tersisa. Begitu juga, orang tertentu bisa mengetahui nama negeri yang ia datangi dengan gunung, sungai dan angin yang ia lihat dan rasakan. Semua ini tidak menggunakan sylogisme logis ala Yunani sama sekali.
Oleh karena itu, para tokoh muslim tidak menggunakan dalil sylogisme ini. Sebab menurut mereka, dalil adalah sarana yang membawa kepada tujuan. Yakni mengetahui dalil harus membawa kepada pengetahuan yang dituju, atau kepada keyakinan yang benar. Mereka lebih menyukai pembuktian dengan dalil persamaan (tamsil), sebab pembuktian ini lebih meyakinkan dan lebih dekat dengan metode Al Qur'an. Pembuktian ini bertumpu kepada dalil sesuatu melazimkan sesuatu yang lain, atau keduanya saling me-lazim-kan.
Contoh: adanya alam semesta melazimkan adanya pencipta. Selain itu,
pembuktian ini juga bertumpu kepada kemungkinan yang benar-benar nyata
(imkan khariji), bukan kemungkinan rasional semata (imkan dzihni) yang belum
tentu ada kenyataannya. Kemungkinan nyata dapat diketahui dengan melihat
terjadinya sesuatu yang mirip dengannya atau yang lebih sulit darinya. Ini
cara Al Qur'an dalam membuktikan adanya hari kebangkitan. Yakni dengan
menguraikan fakta historis terjadinya kebangkitan orang yang telah mati
sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Musa, penghuni gua (ashhabul kahfi),
dan mukjidzat Nabi Isa. Atau dengan menjelaskan proses penciptaan manusia,
sebab menghidupkan kembali lebih mudah daripada menciptakannya pertama
kali.
















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengaruh ibn Taymiah: Ketika sekilas saya mengamati buku "Kubra Al Yaqiniat Al Kauniah: Wujud ul-Khaliq wa Wazifat ul-Makhluq" karya Dr Said Ramadhan Al Buthi, saya
menemukan sedikit peninggalan Ibn Taymiah di dalamnya. Dalam pengantar
cetakan ketiga-nya, Dr Said menulis, "Apakah dalam menguraikan pembahasan
akidah islamiah dalam buku ini kami berpedoman kepada filsafat Yunani dan
logika formal (mantik shuri)? Kami tidak menggunakannya sama sekali. Kami
hanya menyajikan kepada pembaca dalil-dalil dan bukti-bukti yang diakui
akurasinya sepanjang sejarah meski diungkapkan dengan bahasa yang
berbeda-beda. Selanjutnya, setelah menyebutkan kekurangan dan kelebihan mantik, Dr Buthi
berkata, "Kami tidak berkata bahwa filsafat Yunani dan logika Aristoteles
semuanya salah. Tidak ada alasan sama sekali untuk menutup mata dan pikiran
darinya. Di dalamnya banyak hal yang bermanfaat, namun banyak pula yang
menyulut kritikan dari para ulama dan filosof muslim. Orang yang selalu
hendak membangun pemikirannya dengan dasar-dasar ilmiah harus mampu memilih
yang baik dari orang lain, daripada menolaknya sama sekali. Ini
pendirian Ibn Taymiah yang mengakui adanya hal-hal positif dalam mantik,
karena itu ia tidak membantah demonstrasi yang didukung premis-premis
meyakinkan, meski negatifnya lebih banyak daripada positifnya.
Kemudian, di pembukaan (tamhid) yang membandingkan metode ilmiah pemikir
muslim dan pemikir Barat, Dr Buthi menyebutkan bahwa analisa rasional yang
digunakan kaum muslimin dalam membahas sesuatu yang tidak diberitakan oleh
Al Qur'an dan hadis mutawatir adalah dilalah iltizam dan qiyas 'illat.
Dan keduanya benar-benar metode alternatif yang ditawarkan Ibn Taymiah.
Wallahu A'lam bish-shawwab.

B. Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia biasa yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Ilmu Mantik, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.

DAFTAR PUSTAKA

Al Buthi, Said Ramadhan. 1998. Kubra Al Yaqiniat il Kauniah: Wujud ul-Khaliq wa Wazifat ul-Makhluq. Damaskus: Dar ul-Fikr
Khaldun, Abdurrahman bin. 2003. Diwan ul-Mubtada wal Khabar fi Tarikh 'Arab wal Barbar wa man 'asharahum min Dzaw il-Sya'n il-Akbar (Muqaddimah Ibn Khaldun) Damaskus: Dar ul-Fikr.
Muflih bin Ibrahim ,Muhammad bin. 1990. Al Maqshad Al Al Arsyad fi Dzikr
Ashhab Al Imam Ahmad. Riyad: Maktabah Rusyd.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar