KAIDAH KELIMA ( QAWA'ID FIQHIYYAH )
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Qawaid Fiqih yang dibimbing oleh: Bapak Drs. M. Nurzansyah, M.Hum.
Disusun oleh :
KELOMPOK VII :
1. NURKHOLIS
2. NURJUWAEDAH
3. SANURIAH
4. SITI KHOTIMAH
5. SYARIPUDIN
6. SOHIBUL FAUZI
7. EEF HERIYANTO
FAKULTAS AGAMA ISLAM
SEMSTER IV B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG ( UMT )
Sekretariat : Jl. Perintis Kemerdekaan I / 33 Cikokol - Kota Tangerang- Banten 15118
TANGERANG
2011 M / 1432 H
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur kami penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat-Nya kepada kita semua selaku para hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita menuju terangnya Iman dan Islam, sehingga kami penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Alasan kami penulis memilih judul :“KAIDAH KELIMA ( QAWAID FIQHIYYAH ) ” adalah agar kami lebih memahami tentang masalah KAIDAH KELIMA (QAWAID FIQHIYYAH), dan sebagai salah satu tugas kuliah pada semester IV B fakultas Agama Islam pada mata kuliah Qawaid Fiqih.
Dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada :
1. Bapak. H. Ahmad Badawi S.Pd, M.M selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang.
2. Bapak Drs. M. Nurzansyah, M.Hum selaku dosen pembimbing mata kuliah Qawaid Fiqih.
3. Rekan-rekan seperjuangan dalam menuntut ilmu di Kampus Universitas Muhammadiyah.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami penulis khususnya dan rekan-rekan mahasiswa umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu segala kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan diskusi atau pun ilmu pengetahuan kami selanjutnya dimasa yang akan datang.
Tangerang, 02 Juli 2011 M
30 Rajab 1432 H
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………...i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………..1
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………………1
D. Sistematika Penulisan……………………………………………………………….2
BAB II KAIDAH KELIMA……………………………………………………………...3
A. Dasar Kaidah Kelima……………………………………………………………….3
B. Anak Kaidah Kelima ( 6 sampai 11 )……………………………………………….5
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………….9
A. Kesimpulan………………………………………………………………………...9
B. Saran……………………………………………………………………………….9
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah ( kaidah-kaidah fiqh ) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang dapat kami penulis rumuskan adalah sebagai berikut :
1. Apa dasar kaidah kelima itu?
2. Apa anak kaidah kelima ( 6 sampai 11 ) itu?
C . Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dasar kaidah kelima.
2. Untuk mengetahui anak kaidah kelima ( 6 sampai 11 ).
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini dibagi menjadi 3 bab, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II KAIDAH KELIMA
Kaidah kelima berisi uraian tentang dasar kaidah kelima dan anak kaidah kelima ( 6 sampai 11 ).
BAB III PENUTUP
Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka berisi referensi kami penulis dalam menyusun makalah ini.
BAB II
KAIDAH KELIMA
A. Dasar Kaidah Kelima
الْعَادَةُ مُحْكََمَةٌ
"Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum"
Dasar kaidah adalah Hadits Mauqup:
ماَرَآهُ الْمُسْلِمُِوْنَ حَسَنًا فَهُوَعِنْدَاللّهِ حَسَنٌ. (اخرجه أحمد عن إبن مسعود)
"Apa yang dipandang baik oleh orang Islam, maka baik pula di sisi Allah".
Sebagian ulama' berpendapat bahwa dasar kaidah di atas adalah Firman Allah:
"Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh". (QS. Al-A'raaf:199).
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُفِ.
"Dan bergaulah dengan mereka secara patut".
Setelah memperhatikan kaidah serta ayat-ayat dan hadits yang menjadi dasar kaidah, perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu tentang ta'rif dari Al-'Aadah dan Al-'Urf serta hubungannya dengan hadits.
Menurut Al-Jurjany:
الْعَادةُ مَا اسْتَمَرَّ النَّاسُ عَلَيْهِ عَلىَ حُكْمِ الْمَعْقثوءلِ وَعَادُوْا إلَيْهِ مَرَّةً اُخْرَى.
"Al-'Aadah ialah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, kareana dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus".
الْعُرْفُ مَا اسْتَقَرَّتِ النُّفُوْسُ عَلَيْهِ بِشَهَادَةِالْعُقُوْلِ وَتَلَقَّتْهُ الطَّبَا ئِعُ بِالْعُقُوْلِ. وَهُوَحُجَّةٌ أيْضًا لكِنَّهُ أسْرَعُ إلىَ الْفَهْمِ بَعْدَ اُخْرَى.
'Al-'Urf ialah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang jiwa merasa tenang dalam mengerjakannya , karena sejalan dengan akal (sehat) dan diterima oleh tabiat (yang sejahtera)".
Al-'Urf juga merupakan hujjah, bahkan lebih cepat untuk difahami.
Menurut Abdul Wahab Kholaf:
الْعُرْفُ هُوَ مَا تَعَارَفَه ُالنَّاسُ وَسَارُوْا عَلَيْهِ مِنْ قَوْلٍ أوْفِعْلٍ أوْتَرْكٍ وَيُسَمَّى الْعَادَةَ. وَفِى لِسَانِ الشَّرْعِيَّيْنَ لاَفَرْقَ بَيْنَ الْعُرْفِ وَالْعَادَةِ.
"Al-'Urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, dari: perkataan, perbuatan atau (sesuatu) yang ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula dengan Al-'Aadah". Dan dalam bahasa ahli syara' tidak ad perbedan antara Al-'Urf dengan Al-'Aadah.
Dari memperhatikan ta'rif-ta'rif di atas, dan juga ta'rif yang diberikan oleh ulama'-ulama' yang lain, dapat difahami bahwa Al-'urf dan Al-'Aadah adalah searti, yang mungkin merupakan perbuatan atau perkataan. Keduanya harus betul-betul telah berulang-ulang dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal dan pertimbangan yang sehat tabiat yang sejahtera. Hal yang demikian itu tentu merupakan hal yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara, sehingga merupakan apa yang dimaksud oleh hadits di atas, yaitu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin.
Dengan sendirinya tidaklah termasuk dalam pengertian 'Aadah dan 'Urf di sini, hal-hal yang membawa kerusakan, kedurhakaan, tidak ada faedahnya sama sekali. Misalnya: Muamalah dengan riba. Judi, saling perdaya memperdayakan, menyabung ayam dan sebagainya. Meskipung perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan dan bahkan mungkin sudah tidak dirasa lagi keburukannya.
Juga bukanlah termasuk dalam pengertian 'Urf di sini, berulang-ulangnya keadaan tau perbuatan yang bertentangandengan nash-nashj syara', ruknya dan hikmah-hikmahnya. Suatu perbuatan dalam masyarakat, apabila sudah dapat dikategorikan dalam definisi di atas, dapat ditetapkan sebagai hokum atau dapat dijadikan sebagai sumber hokum. Dan itulah maksud dari kaidah. Di antara perbuatan yang hukumnya oleh Rasulullah saw diterangkan hadits:
قَدِمَ النَّيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَهُمْ يُسْلِفُوْنَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَا لَ: مَنْ سَلَفَ فِى ثَمَرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ (أخْرجه البخاري عن إبن عباس).
"Ketika Nabi saw dating di madinah, mereka (penduduk madinah) telah (biasa) memberi uang panjar (uang muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua bulan. Maka Nabi saw bersabda: Barangsiapa memberi uang panjar pada buah-buahan, maka berikanlah uang panjar itu pada takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan waktu yang tertentu".
Demikanlah maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara' dalam mu'amalat eperti dalam jual beli, sewa menyewa, kerjasamanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya, adalah merupakan dasar hokum, sehingga seandainya terjadi perselisihan pendapat di antara mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pad adat kebiasaan atau 'urf yang berlaku. Demikian pula dalam munakahah seperti tentang banyaknya mahar, atau nafakah, juga harus dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlawanan dengan nash-nash menyuap, disajikannya minuman keras dan sarana perjudian dalam pesta-pesta atau dalam respsi, tentu tidak boleh dianggap/dijadikan dasar hukum.
Dalam hubungannya dengan kaidah ini para fuqoha mengatakan:
كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلاَضَابِطَ لَهُ فِيْهِ وَ لاَفِى اللُّغَةِ يُرْجَعُ فِيْهِ إلىَ الْعُرْفِ.
"Semua yang datang dari syara', secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada 'urf.
Seperti Al-hirzu, penyimpanan barang hail curian, dalam jinayah, Al-tafarruqu, perpisahan dan Al-qobdlu, penerima, yangberlaku Ta'rif pengumuman tentang barang yang ditemukan dan lain-lainnya. Semuanya ini pemahaman dan pelaksanaannya dikembalikan pada kebiasaan yang berlaku di mana kesemuanya itu terjadi.
B. Anak Kaidah Kelima ( 6 sampai 11 )
Dari kaidah kelima ini dapat dikemukakan beberapa anak kaidahnya, penulis hanya membahas mulai dari anak kaidah 6 (enam) sampai anak kaidah 11 (sebelas).
Anak Kaidah 6 (enam)
التَّعْْيِيْنُ بِالْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّاصِ "Menentukan dengan dasar 'urf, seperti menentukan dengan berdasarkan nash".
Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada 'urf (adat), dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang didarakan pada nash. Tetapi perlu diketahui bahwa kaidah ini banyak dipakai pada 'urf-'urf khusus, misalnya 'urf yang berlaku di antara para pedagang, 'urf yang berlaku di daerah tertentu dan lain-lain. Sebagai contoh di kota Madiun upah seseorang menanam pdi adalah seperenam dari hasil tanman itu jika telah pann (dipetik). Seperti penetapan hukum di atas maka kekuatan hukumnya juga seperti kekuatan hukum yang ditetapkan oleh nash. Atau dengan kata lain bahwa suatu ketetpan hokum yang berdasarkan 'urf tersebut harus dikerjakan serbagaimana ketetapan yang didasarkan pada nash.
Anak Kaidah 7 (tujuh)
صْلُ إعْتِباَرُ الْغَيْبِ وَتَقْدِمُهُ عَلىَ النَّادِرِ اَلأ "Hukum yang kuat adalah menghargai yang biasa dan mendahulukan atas yang sedikit sekali terjadi".
صْلُ إعْتِباَرُ الْغَيْبِ لا لِلنَّادِرِ اَلأ "Jadi perhatikan, ialah yang biasa terjadi".
Kaidah ini merupakan kaidah yang berupa syarat bagi berlakunya suatu 'urf (adat) yang dijadikan sebagai dasar hokum. Maksudnya bila suatu perbuatan atau perkataan itu dapat dijadikan suatu dasar hokum, manakala perbuatan atau perkataan itu sering dilakukannya daripada tidaknya.
Misalnya orang yang mempunyai rasa permusuhan, tidak dapat diambil saksi dalam lapangan kesaksian dengan orang yang berperkara, sebab kebanyakan saksi yang mempunyai rasa permusuhan dengan orang yang berperkara, tidak akn mungkin memberi kesaksian dengan sejujur-jujurnya.
Anak Kaidah 8 (delapan)
لاَيُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأحْكاَمِ بِتَغَيُّرِ الأزْماَن "Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum lantaran berubahnya masa".
Dalam perubahan dan perkembangan zaman, menghendaki kemaslahatan yang sesuai dengan perkembangan tersebut. Hal itu disebabkan karena mempunyai pengauh yang besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan suatu hokum yang didasarkan pada kemaslahatan itu. Tetapi perlu juga diperhatikan bahwa kaidah ini tidak berlaku dalam lapangan ibadah. Dan di antara furu' (cabang) yang termasuk dalam lingkup kaidah ini ialah sebagaimana yang telah dilakukan oleh sahabat Umar bin al-Khattab ra. dengan tidak memberi bagian harta zakat kepada para muallaf, serta tidak menjatuhkan hukum potong tangan kepada pencuri di musim paceklik dan sebagainya.
Hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, didasarkan kepada kemaslahatan pada masa itu, sedangkan masa sekarang penetapan hokum tersebut harus ditetapkan pada kemaslahatan sekarang. Sebab kemaslahatan telah berubah. Demikian pula untuk masa-masa mendatang bila kemaslahatannya telah berubah, maka berubah pula hukum yang didasarkan padanya. Memang ada ulama yang menganggap hukuman rajam bagi pezina berarti menerima nash secara ta'abbudi dan menekankan aspek jawabir. Tentunya harus kita lihat hikmahnya hukuman itu, yakni membuat kapok mereka yang bersalah tidak mengulangi pidana lagi. Sehingga dengan mengetahui illat hukumnya juga, di zaman modern, hokum rajam tentunya dengan dasar kaidah ini bias diganti hukuman lain, asalkan juga membuat kapok.
Anak Kaidah 9 (sembilan)
إسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا "Apa yang biasa diperbuat orang banyak, merupkan hujjah yang wajib diamalkan".
Kaidah ini maksudnya bahwa segala sesuatu yang telah biasa dilaksanakan oleh masyarakat, itu bisa menjadi dasar ) patokan). Untuk itulah bagi setiap anggota masyarakat dalam melaksanakan sesuatu yang telah dibiasakan itu selalu akan menyesuaikan diri dengan patokan terebut atau tidak menyalahinya. Contoh, di dalam jual beli benda-benda yang berat menurut kebiasaan yang telah berlaku dalam masyarakat yaitu bahwa transport benda-benda tersebut sampai ke rumah pembeli adalah ditanggung oleh penjual. Oleh sebab itu setiap orang yang akan mengadakan aqad jual beli terhadap benda-benda berat harus diatur sebagaimana kebiasaan tersebut.
Anak Kaidah 10 (sepuluh)
اضْطَرَدَتْ أوْغَلَبَتْ إذَا إنَّمَا تُعْتَبَرُ الْعَادَةُ "Sesungguhnya adat yang dianggap (sebagai dasar penetpan hukum) adalah apabila telah menjadi adat yang terus-menerus atau lebih banyak berlaku".
Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain, sering berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adapt untuk dapat dijadikan dasar hokum. Oleh sebab itu apabila perbuatan atau perkataan itu hanya kadang-kadang ) jarang) saja berlakunya, maka hal itu tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Selain itu juga dalam suatu perkara seimbang, antara berlaku atau tidaknya, yang demikian inipun tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum, sebab apabila dalam satu saat dapat dijadikan dasar hukum; maka tidak melakukan pada saat yang lain dapat dianggap sebagai perbuatan melawan dasar hukum tersebut.
Contoh furu'iyah yang bernaung di bawah kaidah ini di antaranya, ialah: Bagi para langganan surat kabar, pada umumnya surat kabar diantar ke tempatnya. Oleh karena itu, apabila terjadi sesuatu aqad antara seorang langganan dengan pngusaha suatu surat kabar, meskipun dalam aqad itu tidak disebutkan, bahwa surat kabar akan diantar ke tempat langganannya, maka apabila setelah aqad itu terjadi, surat kabar tidak diantar, si langganan dapat menuntut kepada pihak pengusha surat kabar tersebut.
Anak Kaidah 11(sebelas)
اَلْمَعْرُوْفُ بَيْنَ التُّجَّارِ كَالْمشْرُوْطِ "Sesuatu yang telah terkenal di kalangan para pedagang seperti syarat yang berlaku bagi mereka".
Di kalangan para pedagang ataupun yang lain yang bergerak dalam lapangan yang sejenisnya, suatu perkara yang telah terkenal dan berlaku (disitu), meskipun hal tersebut tidak dapat dibuat dan dinyatakan sebagai suatu syarat ataupun undang-undang, maka kedudukan (kekuatan) hukumnya sama dengan suatu syarat yang memang sengaja diadakan oleh mereka. Contoh apabila seorang wakil yang disuruh untuk menjual barang orang yang mewakilkan, baik dengan secara kontan atupun ditunda pembayarnnya dalam batas waktu yang telah dikenal (terkenal) di kalangan para pedagang mengenai barang itu, maka bagi si wakil tidak boleh menjualnya dengan ditunda pembayarannya melebihi daripada waktu yang telah terkenal di antara mereka atau dengan kata lain si wakil tidak boleh menjual barang menyimpang dari adat kebiasaan yang telah berlaku.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah di atas dapat penulis ambil beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Kaidah-kaidah fiqh itu terdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya (bagian-bagiannya).
2. Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
3. Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu: 1. Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. 2. Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
B. Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama. 1989. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Semarang: Toha Putera.
Djazuli, HA. 2006. Kaidah-kaidah fiqh. Jakarta: Kencana
Mujib, Abdul. 1978. Al-Qawaidul Fiqhiyah. Malang: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
Rasjid, Sulaiman. 2003. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Usman, Muslih. 1999. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Rajawali Pers.
Sabtu, 03 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar