Sabtu, 03 September 2011

SEJARAH SINGKAT TOKOH FILSAFAT ISLAM AL-FARABI DAN ASPEK-ASPEK PEMIKIRAN PENDIDIKANNYA

MAKALAH
Disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Semester
Mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam Semester IV B.

Disusun oleh :
KELOMPOK V :
1. NURKHOLIS
2. NITA KAMALASARI
3. RAHMAWATI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG ( UMT )
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Sekretariat : Jl. Perintis Kemerdekaan I / 33 Cikokol - Kota Tangerang Banten 15118

2011M / 1432 H



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat-Nya kepada kita semua selaku para hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita menuju terangnya Iman dan Islam, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.

Alasan penulis memilih judul: “SEJARAH SINGKAT TOKOH FILSAFAT ISLAM AL-FARABI DAN ASPEK-ASPEK PEMIKIRAN PENDIDIKANNYA” adalah agar penulis lebih memahami tentang sejarah hidup beliau dan aspek-aspek pemikiran pendidikannya,, dan sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Ujian Akhir semester IV B fakultas Agama Islam pada mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam.

Dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Bapak H. Ahmad Badawi S.Pd, M.M selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang.
2. Bapak Baihaqi, MA selaku dosen pembimbing mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam.
3. Rekan-rekan seperjuangan dalam menuntut ilmu di Kampus Universitas Muhammadiyah.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan rekan-rekan mahasiswa. Saya menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu segala kritik dan saran yang membangun akan saya terima demi kesempurnaan diskusi atau pun ilmu pengetahuan saya selanjutnya dimasa yang akan datang.

Tangerang, 24 Maret 2011 M
20 Rabbiul Akhir 1432 H


Penulis










DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR ………………………………………………………………….i
DAFTARISI …………………………………………………………………………...ii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………..1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………….2
C. Tujuan Penulisan …………………………………………………………………...2
D. Sistematika Penulisan ………………………………………………………………3

BAB II SEJARAH SINGKAT AL-FARABI DAN ASPEK-ASPEK PEMIKIRAN PENDIDIKANNYA ………………………………………………………………….4
A. Riwayat Hidup Al-Farabi dan Karyanya …………………………………………...4
B. Al-Farabi dan Konsep Pendidikan Jiwa ( Analisis Pendidikan Dalam Konsep Pendidikan Jiwa ) …………………………………………………………………….5

BAB III PENUTUP …………………………………………………………………6
A. Kesimpulan ……………………………………………………………………….6
B. Saran ……………………………………………………………………………..7

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….8

















BAB I
PENDAHULUAN

A . Latar Belakang
Al-Farabi merupakan sosok pendidik psikho-falsafi yang amat brillian pada masanya. Hasil karyanya sangat monumental dan membumi hingga saat ini. Ide-idenya banyak menyedot perhatian dikalangan dunia pemikir dan kaum terpelajarkhususnya di kalangan pendidik Islam, karena memilki kekhasan tersendiri dibanding dengan tokoh-tokoh yang lain.Adapun kekhasan berfikirnya dapat mewarnai sebuah masyarakat untuk lebih berfikir kritis, logis dan harmonis demi membangun suatu tatanan bangsa yang lebih anggun dan terdidik. Menurutnya, seorang raja adalah seorang guru bagi suatu bangsa. Kebijakan seorang guru sangat utama dalam mewarnai system di masyarakat, karenanya pemerintah harus memperhatikan pendidikan demi mewujudkan suatu bangsa yang sehat mentalnya menuju keutamaan. Bila seorang pendidik diberi porsi yang baik, maka tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara akan lebih cemerlang dan tercerahkan, karena kesehatan mental yang membuahkan budi dan pekerti akan lebih menjadi panglima dalam mengantar masyarakat tinimbang dengan jiwa yang direcoki dengan nafsu materi.

Begitulah salah satu refleksi berfikir sosok al-Farabi, yang bermuatan pendidikan psikologi yang berpijak pada nilai-nilai ilmu, iman dan amal saleh. Dari sanalah jiwa menjadi kekuatan dalam mejelajahi hidup yang lebih bermakna dalam kehidupan. Berdasarkan konsep ini, kami mencoba mengeksplorasikan pemikirannya yang bermuatan psikologi dengan karya-karya beliau yang membawa masyarakatnya untuk dapat mengubah pola berprilaku dan bersikap, pada waktu itu, untuk lebih membumi dan menzaman.

B . Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang dapat penulis rumuskan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Riwayat Hidup Al-Farabi dan Karyanya?
2. Bagaimana Al-Farabi dan Konsep Pendidikan Jiwanya ( Analisis Pendidikan Dalam Konsep Pendidikan Jiwa ) ?

C . Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Riwayat Hidup Al-Farabi dan Karyanya.
2. Untuk mengetahui tentang Al-Farabi dan Konsep Pendidikan Jiwanya (Analisis Pendidikan Dalam Konsep Pendidikan Jiwa(.
3. D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini dibagi menjadi 3 bab, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II SEJARAH SINGKAT AL-FARABI DAN ASPEK-ASPEK PEMIKIRAN PENDIDIKANNYA
Sejarah singkat AL-FARABI dan aspek-aspek pemikiran pendidikannya berisi uraian tentang Riwayat Hidup Al-Farabi dan Karyanya Al-Farabi, dan Konsep Pendidikan Jiwa (Analisis Pendidikan Dalam Konsep Pendidikan Jiwa).

BAB III PENUTUP
Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka berisi referensi penulis dalam menyusun makalah ini.






















BAB II
SEJARAH SINGKAT AL-FARABI DAN ASPEK-ASPEK PEMIKIRAN PENDIDIKANNYA

A. Riwayat Hidup Al-Farabi dan Karyanya.
Al-Farabi yang memilki nama lengkap Abu Nasr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Turkhan. Al-Farabi hidup pada 259-339 H/ 872-950 M. Kendati ia dipandang sebagai bintang terkemuka di kalangan pemikir muslim, informasi tentang dirinya sangat terbatas. Umumnya para penulis menyatakan bahwa al-Farabi itu merupakan orang Turkey (ayah dan ibunya orang Turkey) Tabi Ibn Abi Usaibah menyebutkan bahwa ayahnya seorang jenderal adalah seorang Persia. Sejarah hidupnya kurang begitu jelas, apa yang diketahui bahwa dalam usia 40 tahun, ia meninggalkan kota kelahirannya, Farob menuju kota Bagdad, kota ilmu pengetahuan dan pusat pemerintahan waktu itu. Di kota ini, ia mulai belajar ilmu mantik pada Abu Basyar Mating Ibn Yunus, dan kemudian ia menuju ke Harran dimana ia melanjutkan studinya pada Yuhana ibn Hilan. Tampaknya sewaktu di Bagdad ia belum mahir benar bahasa Arab, sehingga ia belajar kaidah-kaidah bahasa ini pada Abu Bakar Ibn as Sarraj. Tidak lama al-Farabi menetap di Harran dan kemudian ia balik ke kota Bagdad untuk memperdalam dan menggali ilmu-ilmu hikmah. Di sini ia menghabiskan waktu selama kurang lebih tiga puluh tahun untuk menulis dan membuat ulasan tehadap buku-buku falsafah Yunani juga mengajar ( mendidik). Pada tahun 330 H./ 941 M. al-Farabi pindah ke Damaskus kemudian berkenalan dengan Gubernur Aleppo (Halab), Saifuddaulah al-Hamdani, Gubernur ini sangat terkesan dengan kealiman al-Farabi lalu diajaknya ke Aleppo kemudian ia mengangkat al-Farabi sebagai seorang ulama istana. Dalam jabatan ini, ia berada dalam kehidupan mewah karena tunjangan besar sekali. Namun sebagai seorang yang telah memilih kehidupan zuhud al-Farabi tidak tertarik dengan kekayaan itu. Ia hanya memerlukan empat dirham saja sehari untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sisa tunjangan yang diterima, dibagi-bagikan pada fakir miskin dan usaha-usaha sosial lainnya.

Al-Farabi adalah sosok pendidik yang ulet, dalam membangun keragaman ilmu demi masa depan Islam, pikiran-pikirannya penuh hikmah dan bermuatan psikologis sehingga sangat menjentuh jiwa manusia. Jiwannya dididik dengan hidup zuhud sehingga tidak terpangaruh dengan kehidupan material yang glamor. Hidupnya juga diwarnai dengan ketekunan membaca dan menulis. Diriwayatkan bahwa ia sering kelihatan pada waktu malam di bawah sinar lampu untuk membaca dan mengarang. Hampir semua ilmu pengetahuan yang berkembang di zamanya telah dikuasai dengan baik sehingga telah mampu mengklasifikasikan ilmu dengan segala cabangnya dalam bukunya yang mirip dengan ensiklopedi yang berjudul ihsha'n al 'ulum. Selain mengarang ia juga dikenal sebagai komentator buku-buku filsafat Yunani. Pada abad pertengahan ia sangat dikenal sehingga banyak orang-orang Yahudi yang mempelajari buku-bukunya dengan tekun dan kemudian menyalinnya kedalam bahasa Ibrani. Lewat bahasa ini, melahirkan revisi dan oplah yang sangat banyak dengan edisi moderennya. Al-Farabi sangat terkesan dan hormat kepada para filosof Yunani terutama Plato dan Aristoteles. Dalam kitab-kitabnya ia tidak menyebutkan Aristoteles secara langsung, tapi dipanggilnya dengan gelar Mu'alim awwal (guru pertama), karena sangat mendalam pengetahuannya tentang filsafat Aristoteles terutama komentar dan ulasan terhadap berbagai karangannya maka al-Farabi digelar orang kemudian sebagai mu'alim tsani (guru ke dua). Seolah-seolah tugas Aristoteles dalam falsafah telah selesai maka untuk selanjutnya tugas tersebut diteruskan oleh al-Farabi sehingga ia digelari tersebut.

Sebagai bukti atas pemahaman al-Farabi yang mendalam terhadap falsafah Aristoteles, ada riwayat yang menyebutkan bahwa Ibn Sina pernah membaca buku metafisika karangan Aristoteles sebanyak lebih kurang empat puluh kali. Hampir saja seluruh isi buku itu dihafalnya, namun tidak dipahaminya, kemudian ia menemukan sebuah karangan al-Farabi, Tahqiq Ghard Aristu fi Kitab ma Ba,du at-Tabi'ah yang menjelaskan tujuan dan maksud metafisika Aristoteles, ia langsung memahaminya. Ini bermakna bahwa sosok al-Farabi memilki metode khusus sehingga mudah dipahami karya-karyanya. Adapun-karya-karya al-Farabi amat banyak namun yang masih dapat ditemukan dalam bahasa Arab ada tiga puluh buah kitab dan diantaranya yang sangat terkenal antara lain:.
 Maqalah Fi Aghradhi Ma ba'da al-Thabi'ah
 Ihsha'u al-Ulum
 Kitab Ara'I Ahli al-Madinah al-Fadhilah

B. Al-Farabi dan Konsep Pendidikan Jiwa (Analisis Pendidikan Dalam Konsep Pendidikan Jiwa).
Pendidikan jiwa sebagai cabang dari psikologi5 dan merupakan spirit dari semua ilmu-ilmu lain kerena merupakan faktor penentu dalam proses berfikirnya manusia dalam kehidupan pada bingkai psikologis. Psikologi mempunyai jangkauan untuk mengurai, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku manusia, maka konsep jiwa melangkah lebih jauh, yaitu memberikan garansi yang sepatutnya dilakukan oleh seseorang agar ia memiliki kesehatan mental yang wajar, memilki ketenangan dalam hidupnya dan mampu menggunakan potensi dirinya secara optimal dalam menunaikan amanah dalam hidupnya. Sosok pemikir al-Farabi adalah salah satu tokoh Islam yang sangat spektakuler gagasan- gagasannya, namun perlu penulis tekankan, ia lebih dekenal dalam dunia Filsafat tinimbang dunia Psikologi. Pemikirannya mengenai jiwa manusia sangat ditentukan dengan kedekatannya dengan Tuhan. Karena untuk mendekati zat yang Maha bersih, manusia terlebih dahulu membersihkan jiwanya.

Konsep pendidikan jiwa al-Farabi banyak terilhami oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Menurutnya, bersifat rohani bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan yang lain. Jiwa merupakan kesempurnaan bagi benda alami yang memilki kehidupan yang potensial. Bersatunya jiwa kepada materi membuat jasad yang potensial menjadi aktual. Bersatunya jiwa dengan jasad (tubuh, materi) adalah bentuk esensial. Oleh karena itu, jika jasad hancur jiwapun hancur kecuali jiwa berfikir (an-Nafs an-Natiqah). Dengan demikian, al-Farabi membagi jiwa kedalam beberapa bagian yaitu ; 1) jiwa penggerak (al-nafs al- muharrikah), 2) Jiwa menangkap (al-nafs al-mudrikah) dan 3) jiwa berfikir (al-nafs al-natiqah). Jiwa-jiwa tersebut merupakan potensi di dalam diri manusia yang akan melahirkan daya berfikir dan tenaga yang sangat efektif dan fantastik dalam mengubah suasana prilaku dan sikap manusia dalam kehidupannya. Hal tersebut akan abadi sebagaimana abadinya dikenang kebaikan oleh manusia sepanjang sejarah. Jiwa yang abadi inilah, menurut penulis dalam perspektif kesehatan mental merupakan prilaku dan sikap dalam kehidupan yang mampu memberikan ketenangan dan kenyamanan jiwa kepada manusia, dalam istilah agamanya “ ‘amalun soleha”. Mentalitas yang dipenuhi jiwa berfikir ini merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang berasal dari akal kesepuluh yang tidak hancur dengan hancurnya jasad. Menurut al-Farabi, 8 jiwa berasal dari akal kesepuluh dalam bentuk akal aktif (aktive intellec) yang telah memberikan forma (bentuk) kepada jasad. Jiwa (an-Nafs an Natiqah) merupakan hakekat manusia.

Di lain sisi, menurut Ibn Maskawaih dalam tahzib al-akhlak adalah sesuatu yang bukan tubuh, bukan bagian dari tubuh, dan bukan pula materi. Seirama dengan itu, menurut al-Tusi, jiwa adalah bukan tubuh, bukan pula bagian dari tubuh dan bukan pula materi ('arah).10 Jiwa merupakan substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasakan sendiri bahwa ia mengontrol tubuh melalui otot-otot dan alat perasa, tetapi ia sendiri tidak dapat dirasa lewat alat-alat tubuh. Hal ini senada dengan pengertian jiwa yang terdapat dalam kamus bahasa Indonesia, menurutnya jiwa adalah ruh atau nyawa yang ada dalam tubuh yang menyebabkan manusia itu hidup .Mental yang senantiasa terkooptasi dengan jiwa ilahiyah inilah dari refleksi berfikir al- Farabi, menurut penulis yang akan menjaga dan memelihara manusia untuk senantiasa berfikir dan bersikap lebih inovatif, kreatif dan produktif dalam membangun dunia pendidikan ke depan. Dengan sehatnya mental selalu menciptakan dinamika dan kompetisi yang sehat pula dalam kehidupan .Menurut al-Farabi jiwa manusia itu mempunyai empat bagian dasar, setiap bagian mempunyai kekuatan yang mengikutinya, yakni daya memakan, marasa, berkhayal, dan daya berfikir.

Pertama, daya memakan (al-Quwwah al-Ghadziiyah) dengannya manusia tumbuh kemudian berkembang, kekuatan utama daya ini di mulut, sedangkan lainnya bersifat tambahan berada di bagian anggota-anggota dan alat-alat pencernaan, tersebar di perut besar, hati, empedu dan anggota- anggota yang berhubungan dengannya. Kedua, daya merasa (al-Quwwah al-Hassah) yaitu indera peraba, pengecap, pencium, pendengar dan penglihatan. Setiap indera mempunyai anggota yang khusus baginya yang menyerupai indera-indera tersebut dengan informan dalam kerajaan. Indera membawa berita kepada tuannya yang ada dalam hati sebagaimana informan menyampaikan berita kepada raja. Ketiga, daya imajinasi (al-Quwwah al-Mutakhayyilah) yang berfungsi menjaga benda-benda setelah berpisah dengan anggota inderawi yang menguasai daya imajinasi, yaitu dengan memisahkan satu sama lain menggabungkan satu dengan yang lainnya dengan gabungan yang beraneka ragam sama dengan yang dirasa maupun tidak Keempat, daya berfikir (al-Quwwah al-Natiqah) yaitu kepala. Daya ini merupakan pemimpin dari kekuatan-kekuatan inderawi dan kekuatan imajinasi dan mempunyai kekuatan yang cenderung menginginkan sesuatu yang membencinya. Dari situ timbulnya kemauan (affective).

Dari analisa tersebut di atas, bahwa dalam kehidupan memerlukan kecermatan dalam memenej tubuh kita baik yang bersifat materi maupun yang immateri. Bila terjadi ketidak seimbangan kebutuhan tersebut, baik materi maupun immateri maka disinilah menurut Bambang Suryadi akan terjadi gejala gangguan mental (neuroses), bahkan sakit jiwa (mental ill). Untuk mewujudkan kesimbangan dalam kehidupan menurutnya antara lain ada lima aspek yaitu ; 1) spiritual Hablun minallah, 2) Intelektual, 3) Sosial hablun min an-nas, 4) Emosi, dan 5) fisik. Karena itulah Islam sangat perhatian kepada kehidupan yang seimbang dan manusia diharapkan untuk senantisa bekerja keras untuk menemukan kenikmatan dan ketenagan yang lebih hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Hal tersebut bisa terwujud bila ia memilki kondisi jiwa yang memadai. Adapun hubungan antara proses pemikiran dan mental manusia menurut al-Farabi adalah kecenderungan seseorang terhadap suatu hal yang telah atau belum dipahami. Jika kecenderungan itu merupakan indera atau khayal maka ia disebut kemauan, ini berlaku bagi manusia dan hewan. Jika kecenderungan itu dengan pemikiran maka ia disebut pilihan (ikhtiar) dan ini khusus untuk manusia. Makanya dalam dunia pendidikan Islam, yang terlebih dahulu dibentuk adalah jiwa manusia, bila jiwa sudah terdidik maka dengan sendirinya akan memilki prilaku dan sikap berfikir yang lebih dewasa dan bersahabat pada semua lini kehidupan. Kekuatan daya berfikir manusia (natiqah) adalah sesuatu yang dahsyat dan unik karena dapat menembus hal-hal yang abstrak, membentuk pengertian-pengertian, membedakan antara yang indah dan jelek, menciptakan keterampilan dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian lahirlah sebuah motivasi (al-quwwah an-nuz-'iyyah) adalah awal proses terwujudnya kemauan. Jadi daya motivasi condongnya jiwa kepada obyek yang mendapat tanggapan dari penginderaan, penghayalan atau pemikiran. Keputusan jiwa terhadap obyek itu dapat diambil atau ditinggalkan. Daya kecondongan itu mempunyai pembantu-pembantu di tubuh yang tersebar pada otot-otot syaraf dan otot-otot di tangan, kaki dan seluruh anggota badan, serta dapat digerakkan sesuai dengan kemauan, maka lahirlah perbuatan yang diinginkan manusia atau binatang. Dari informasi resebut di atas, dapat dikatakan bahwa pencerahan jiwa manusia merupakan representasi dari daya nalar dan sikap manusia yang kreatif yang didukung dengan menatalitas yang sehat yang senantiasa mendapatkan bimbingan dan petunjuk dari Tuhan-Nya.

Pada manusia dan binatang menurut al-Farabi terdapat dua jenis syaraf. Pertama, syaraf yang punya daya penginderaan dan punya alat-alat penyerap yang masing-masing hanya menyerap satu obyek indera saja. Syaraf jenis yang pertama ini disebut, syaraf sensoris. Kedua, urat yang terdapat pada anggota badan. Dengan urat-urat ini memungkinkan seseorang mengadakan gerakan iradah-nya. Jenis kedua ini disebut syaraf-syaraf motoris. Syaraf ini yang berpusat di otak, ada pula yang berpusat di sum-sum punggung yang berhubungan dengan otak. Menurut Ibnu Sina, pengamatan indera itu terbagi ke dalam dua bagian: Indera nyata dan indera bathin; yang pertama berlaku melalui panca indera yaitu penglihatan, pendengaran,penciuman, pengecapan dan perabaan, sementara yang kedua berlaku melalui indera bathin, yaitu indera bersama, bentuk yang dihayalkan, kekuatan waham dan ingatan yang menghafal. Berkaitan dengan itu al-Farabi menjelaskan tentang kebahagiaan yaitu, kebaikan yang dicari kerena dirinya sendiri bukan sebagai jalan untuk mencari yang lain. Sebab tidak ada lagi dibaliknya sesuatu yang lebih agung yang dicapai oleh manusia. Tujuan tertinggi dari kehendak dan kebebasan memilih manusia adalah kebahagiaan berarti lepasnya jiwa dari segala yang berbau materil dan bergabungnya dengan alam yang perennial. Untuk mencapai hakekat kebahagian perennial, al-Farabi menekankan keutamaan yaitu suasana politik yang stabil. Dengan suasana demikian kebahagiaan dapat terwujud karena politik merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam kehidupan. Politik adalah sarana untuk menciptakan hubungan yang lebih komunikatif, inovatif, homanis dan harmonis sehingga tercipta suatu tatanan masyarakat yang utama.

Menurut penulis, al-Farabi terinspirasi pada teori Republika Plato, yang menggambarkan bahwa suatu negara sebagai suatu keseluruhan dari bagian-bagian yang terpadu serupa dengan organisme tubuh, tempat seluruh bagian saling bekerja sama dan masing-masing organ menjalankan fungsinya. Bila tubuh sehat maka seluruh komponen tubuh merasakan manfaatnya, begitupun sebaliknya. Demikian halnya negara utama tempat setiap individu masyarakat harus mempunyai tugas sesuai dengan kesanggupan masing-masing dan menciptakan kerjasama yang baik, sehingga tercipta suasana yang lebih harmonis, humanis dan bahagia .Karena kebahagiaan masyarakat tidak akan tercapai kecuali jika pembagian kerja diantara individu-individu tersebut sesuai dengan kemampuan masing-masing dengan dijiwai semangat bertanggung jawab dan tolong menolong. Hidup bermasyarakat dan bekerjasama itu bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan, maka negara yang baik menurut al-Farabi adalah yang bertujuan agar orang-orang yang berkumpul di dalamnya saling membantu terhadap hal-hal yang dapat memperoleh kebahagiaan hakiki, yakni negara utama. Pemimpin politik dalam filsafat kenegaraan bagaikan jantung di dalam tubuh yang merupakan sumber seluruh aktivitas, pangkal keselarasan dan keharmonisan. Tegasnya tidak hanya berkaitan dengan politik semata, melainkan juga berkaitan dengan moral, karena pemimpin negara menurut al-Farabi berperan sebagai guru (mu'allim), pembimbing, pengendali serta pembuat undang- undang dan peraturan. Untuk menjadi pemimpin negara yang utama, diperlukan kualifikasi tertentu antara lain: keturunan orang baik, anggota tubuh yang sempurna, berani, cerdas, kuat ingatan, jujur, amanah, cinta ilmu pengetahuan, pembela keadilan, mempunyai keteguhan hati, kuat cita-cita, tidak ambisius serta menjauhi kelezatan-kelezatan jasmani. Meskipun demikian al-Farabi menambahkan syarat lain yaitu pemimpin negara harus dapat naik ke derajat akal fa'al yang menjadi sumber wahyu dan ilham, dapat berkomunikasi dengan akal kesepuluh, penerima cahaya ketuhanan secara langsung dari roh tinggi dan para malaikat. Kesemua kretireia tersebut syarat dengan kesehatan mental, yang merupakan pencitraan dari jiwa yang selalu mendapat inspirasi dari Tuhan-Nya, sehingga melahirkan" amal yang utama”. Akal fa'al merupakan salah satu dari akal kesepuluh dan berpengaruh terhadap peristiwa- peristiwa yang terjadi di alam, sebagai titik yang menghubungkan antara hamba dengan Tuhan, dan sebagai sumber hukum dan undang-undang yang dibutuhkan bagi kehidupan moral dan sosial yang dibutuhkan bagi kehidupan moral dan sosial. Seorang pendidik harus memilki kecakapan dan keterampilan untuk mendapatkan kebahagiaan yang tinggi. Olehnya itu, seseorang harus mengetahui apa yang dimaksud dengan kebahagiaan itu, dan bagaimana cara untuk mencapainya sebagai tujuan hidup. Tetapi ketika individu manusia berbada, dan setiap individu tidak mengetahui rahasia kebahagiaan, maka ia membutuhkan guru untuk mendidiknya. Sebagai manusia ada yang tidak begitu membutuhkan bimbingan, tetapi sebagian besar manusia lainnya sangat membutuhkan petunjuk guru. Dengan demikian ia harus pergi untuk mendapatkan pengajaran, dan al-Farabi berpendapat, bahwa mengajar berarti menciptakan keunggulan secara umum (spekulatif) bagi negara dan bangsa, sedangkan pencontohan atau penanaman budi pekerti (ta'dib) adalah cara untuk menumbuhkan moral yang baik dan pengetahuan tentang seni. Adapun tujuan dari pengajaran adalah untuk membangun bangsa dan negara agar memiliki kecakapan dalam bidang ilmu pengetahuan. Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa yang dimaksud dengan speculative science adalah pengajaran yang dilakukan oleh raja atau pemimpin. Speculative science harus diajarkan dengan metode yang meyakinkan seperti metode logika. Seorang guru juga harus mengetahui tentang sesuatu yang diajarkan kepada penduduk yang berbeda-beda. Selanjutnya al-Farabi berbicara mengenai dua metode mengajar; pertama, untuk menimbulkan rasa kesalehan dan mengamalkan ilmu (arts) seperti metode yang meyakinkan, yaitu bahwa murid harus mengakuinya sebagai miliknya dan mengamalkannya secara spontan. Kedua, seorang guru harus menggunakan metode pemaksaan yang ditujukan untuk mereka yang tidak merasa memilki perasaan sebagai penduduk dan mereka yang tidak memilki kesadaran terhadap keberadaan dirinya.

Lebih lanjut menurut al-Farabi, bahwa raja adalah seorang guru bagi suatu bangsa dan sebagai master bagi seluruh rumah, dan guru dihadapan murid ibarat sebuah rumah. Dengan demikian ia lebih dahulu menggambarkan kualitas raja dan iman secara ketat sama halnya dengan diharapkan bagi seorang guru. Mengenai kependidikan al-Farbi mengatakan tingkah laku yang baik dangan terwujudnya pengawasan diri terus menerus sampai kekuatan jiwa bahimiyah atau hewaniyah ditaklukkan oleh kekuatan jiwa natiqah atau Insaniyah. Bila diabaikan, jiwa insaniyah akan cenderung jatuh ke dalam nafsu hewaniyah. Karena dalam diri manusia memiliki dua kekuatan jiwa yakni, kekuatan natiqah dan bahimiyah masing-masing dari keduanya memilki perangsang. Perangsang terhadap jiwa bahimiyah atau hewaniyah berupa rangsangan atau stimulus dari kelezatan yang membangkitkan nafsu, sedangkan stimulasi terhadap jiwa natiqah atau iinsaniyah ialah ransangan dari hal-hal kebajikan dan terpuji. Oleh karena itu, kewajiban bagi orang-orang yang ingin mencapai kebajikan atau kesuksesan adalah tidak lupa menjaga dirinya setiap waktu atau melengahkannya sedikitpun, bahkan di selalu mendorong mentalnya dengan rangsangan-rangsangan yang paling berguna bagi dirinya. Sebab bila mana di melengahkannya padahal jiwa itu hidup, yang hidup pasti bergerak pastilah jiwa itu meluncur keujung garis hewani. Hanya jiwa dan mental yang sehatlah yang dapat memenuhi logika persaingan dunia ke depan .Pemikirannya mengenai filsafat moral, adalah asas prilaku atau tingkah laku. Jadi orang yang tidak baik budinya, pekertinya juga tidak baik. Pekerti inilah yang harus dipelihara, dijaga dan dipupuk dengan nilai-nilai ilmu sehingga dapat survive dalam keluhuran dan kejernihan jiwa yang diperolehnya dari tasawuf. Dengan demikian begitu utamanya kesehatan mental karena dapat mempertajam jiwa manusia untuk senatiasa berfikir kreatif. Dengan jiwa manusia yang senantiasa berlatih dan kreatif berfikir, maka Ia dapat menembus aura kehidupan paling dalam sehingga tatanan kehidupan dapat diciptakan suasana yang lrbih elegan dan menyenagkan jiwa, maka manusia semakin bermartabat dan berwibawa.
















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan beberapa hal penting yaitu; pendidikan jiwa yang bermuatan jiwa ilahiyah yang ditawarkan al-Farabi bagi seorang pendidik, bermuara pada potensi mental, yang bukan saja cerdas pada aspek intelektual (kognitif) tetapi terlebih ditekankan bagaimana mengaplikasikan dan mengintegrasikan ilmu di masyarakat lebih meningkatkan amal saleh, dan didukung dengan suasana stabilitas politik yang tentram dan damai. Mentalitas manusia yang bermuatan pendidikan seyogyanya di dipelihara dan dikembangkan sehingga senantiasa menyatu dengan sang pemilik Ilmu yaitu Allah Swt. dan didukung dengan suasana politik yang anggung, elok, dan berwibawa insya Allah ilmu akan mengalir ke muara yang lebih yang kreatif, inovatif, dan produktif.

B. Saran
Setelah disampaikan kesimpulan-kesimpulan diatas, penulis merasa perlu untuk menyampaikan beberapa saran yaitu bahwa pendidikan jiwa harus dapat membawa umat manusia kearah pola pikir dan sikap mental yang lebih sejuk dan segar dengan merasakan kenikmatan, ketenangan dan kebahagiaan yang lebih abadi (perennial), yang tentunya dapat mewarnai nilai-nilai budi pekerti yang luhur dan subur dalam sejarah peradaban umat manusia sehingga ilmu Allah Swt semakin membumi dan menjaman sepanjang sejarah. Wallahu ‘alamu bissawwab
















DAFTAR PUSTAKA


Fakhri, Majid, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, (Bandung: Mizan 2001).

Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996).

Ibn Maskawaih, Tahzib al-Akhlak, Diterjemahkan oleh oleh Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung: Mizan, 199)

Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1995)

























































Tidak ada komentar:

Posting Komentar